Filep Karma

Dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun karena tindakan mengibarkan bendera Bintang Kejora, Filep Karma tidak diragukan lagi sebagai tahanan politik paling terkenal di Papua Barat. Pembebasan dia pada 19 November 2015 sangat dinantikan dan dirayakan oleh masyarakat sipil di Papua, maupun komunitas HAM nasional dan internasional.

Putra seorang politisi lokal terkenal yang berasal dari pulau Biak, Filep Karma menempuh pendidikan ilmu politik di Jawa sebelum bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Papua.

Masa tahanan pertama Filep Karma untuk makar terjadi pada minggu-minggu euforia menyusul jatuhnya rezim Soeharto, ketika rakyat di seluruh Indonesia bangkit merebut berbagai kemungkinan baru untuk mengekspresikan aspirasi mereka dan berusaha untuk memperbaiki ketidakadilan akibat kediktatoran. Human Rights Watch telah mencatat berbagai demonstrasi yang pecah di seluruh Papua, ketika rakyat Papua disemangati oleh adanya surat dari sekelompok anggota Kongres AS yang meminta Presiden Habibie untuk meninjau kembali status Papua Barat dan Timor Timur. Pada tanggal 2 Juli 1998 Filep Karma memimpin demonstrasi di Biak dimana bendera Bintang Kejora dikibarkan pada sebuah menara air di dekat pelabuhan. Meskipun telah terjadi konfrontasi dengan polisi pada hari yang sama, para demonstran berhasil mempertahankan bendera dan pelabuhan selama empat hari.

Bendera Bintang Kejora adalah simbol identitas Papua dan dipandang sebagai lambang pengkhianatan oleh negara Indonesia. Meskipun bendera tersebut diperbolehkan pemakaiannya menurut undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang berkaitan dengan tata pemerintahan Papua, hal itu kemudian dilarang penggunaannya melalui Peraturan Presiden 77/2007.

Pada pagi hari tanggal 6 Juli, militer mengambil alih pelabuhan Biak. Eben Kirksey, seorang antropolog Amerika yang kebetulan berada di Biak pada saat itu melaporkan bahwa Filep Karma ditembak di kedua kakinya tetapi selamat. Namun ia juga mencatat kesaksian dari para saksi mata yang mengatakan bahwa sejumlah truk dipenuhi dengan muatan orang-orang yang sekarat maupun yang mati, dan para peneliti lokal melaporkan bahwa sebanyak 139 mayat telah dimuat ke dalam dua kapal milik angkatan laut dan dibuang di laut. Sebanyak 32 mayat kemudian ditemukan terdampar di sepanjang pantai.

Andreas Harsono, seorang konsultan untuk Human Rights Watch mencatat dari 150 orang yang ditangkap hari itu, 19 di antaranya diproses di pengadilan, termasuk Filep Karma. Pada tanggal 25 Januari 1999 Karma dijatuhi hukuman enam setengah tahun penjara, namun ia kemudian mengajukan banding dan dibebaskan setelah menghabiskan 18 bulan dalam tahanan. Sebuah artikel di surat kabar lokal Papua Cenderawasih Pos menegaskan bahwa Ia dikenai tuntutan Makar menurut pasal 106 dari KUHP Indonesia, dan menyebutkan bahwa sekitar 2000 simpatisan menghadiri persidangannya.

Setelah Ia dibebaskan, menurut Andreas Harsono, Karma terus bekerja untuk pemerintah, serta melatih para pegawai negeri sipil baru. Pada tanggal 1 Desember 2004, hari dimana banyak orang Papua mengakuinya sebagai peringatan pemberian kemerdekaan oleh Belanda, Karma sekali lagi ditangkap karena mengorganisir pengibaran bendera. Dalam laporan mereka berjudul “Protes dan Hukuman – Tahanan Politik di Papua Barat,” Human Rights Watch mencatat bahwa Filep Karma telah mengirimkan surat kepada polisi setempat yang bermaksud untuk menyelenggarakan perayaan tersebut di Lapangan Trikora, Abepura, pada hari itu. Acara tersebut terdiri dari pidato, doa dan tarian (pidato Filep Karma hari itu dapat dilihat di Youtube), dan selama itu bendera Bintang Kejora dikibarkan. Bentrokan pecah saat polisi mencoba untuk menurunkan bendera, dan polisi melepaskan tembakan ke kerumunan massa.

Karma, bersama dengan Yusak Pakage ditangkap pada hari berikutnya. Surat kabar nasional Tempo melaporkan bahwa sebagai protes terhadap penahanannya, Karma mulai melakukan mogok makan dan juga mengikatkan kain putih di mulutnya serta menolak untuk berbicara.

Selama proses persidangan, menurut Human Rights Watch, baik Filep Karma dan Yusak Pakage menantang otoritas pengadilan untuk mengadili mereka, mengklaim bahwa mereka adalah warga Negara Papua Barat, bukan Indonesia. Para pembela juga memprotes ketidaknetralan salah satu hakim, setelah serangkaian pernyataan inflamasi (cenderung memancing kemarahan dan provokatif). Hakim tersebut rupanya mengatakan kepada polisi untuk “Pecahkan saja di kepala Filep kalau dia berulah” dan bahkan berkata kepada seorang perempuan pengunjuk rasa pro-Karma “Kamu mau mati ya?” sambil meninju dan menendang perempuan tersebut. Para pengacara pembela juga menjadi sasaran intimidasi; misalnya dengan meninggalkan kepala anjing terpenggal di teras kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua di Jayapura dengan sebuah pesan ancaman bertuliskan nama dua orang pengacara yang menangani kasus tersebut.

Demonstrasi besar publik sekali lagi digelar baik di dalam maupun di luar ruang sidang sebagai dukungan terhadap kedua terdakwa. Tekanan terhadap hal ini terjadi pada tanggal 10 Mei, ketika para pendukung yang marah memprotes tuntutan jaksa untuk menghukum lima tahun penjara bagi kedua orang ini. Laporan Human Rights Watch menunjukkan bahwa kaca jendela di ruang sidang dan beberapa kendaraan hancur, dan massa mencoba memblokade kendaraan yang berisi kedua terdakwa sehingga Filep Karma bisa mengatasi massa secara langsung. Namun, kemudian polisi melawan dan setidaknya tiga belas orang termasuk dua anggota polisi terluka dalam bentrokan tersebut. Kepala kepolisian Jayapura dan sepuluh orang anggota polisi lainnya kemudian dicopot jabatannya karena pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama rangkaian protes tersebut, namun pada persidangan berikutnya, sebanyak 300 orang petugas polisi dikerahkan untuk pengamanan di sekitar pengadilan.

Pada tanggal 26 Mei 2005, Filep Karma dan Yusak Pakage dinyatakan bersalah atas tindakan makar. Hukuman untuk Filep Karma adalah 15 tahun, tiga kali lebih lama dibandingkan tuntutan jaksa yang telah memicu protes kemarahan dua minggu sebelumnya. Untuk mempertahankan keputusan hukuman yang berat itu hakim mengatakan tidak ada faktor yang bisa dipakai untuk mengurangi hukuman tersebut. Upaya banding ke Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung tidak membuahkan hasil.

Solidaritas untuk Korban Pelanggaran HAM di Papua (SKPHP) menyatakan bahwa kondisi kesehatan Filep Karma di penjara sangat memprihatinkan setidaknya sejak Agustus 2009, semenjak dia dibawa ke Rumah Sakit Dok II Jayapura karena sakit ginjal. Pihak rumah sakit menyarankan agar ia dirujuk ke Rumah Sakit Cikini di Jakarta untuk ditangani oleh spesialis bedah urologi, tetapi pihak Lembaga Pemasyarakatan menolak untuk membiayai perawatan ini, meskipun secara hukum mereka wajib melakukannya. Sebaliknya, anggota SKPHP di Jayapura dan para aktivis di Manokwari melakukan aksi turun ke jalan-jalan untuk mengumpulkan biaya pengobatan. Dengan cara ini mereka mampu membayar biaya penerbangan dan akomodasi bagi anggota keluarganya yang mendukungnya selama perjalanan. Filep Karma berada di Jakarta sejak tanggal 19-31 Juli 2010. Biaya tagihan pengobatan sebesar RP 60.800.000 sebagian besar dibayarkan oleh LSM internasional (94%), dan sisanya oleh pemerintah Provinsi Papua.

Pada saat para pendukung dikerahkan untuk mengumpulkan dana bagi pengobatannya, Filep Karma bekerja untuk mengangkat perhatian terhadap nasib para tahanan politik lainnya, terutama Ferdinand Pakage yang juga membutuhkan pengobatan untuk cedera dimatanya setelah ia dipukuli oleh petugas sipir penjara. Tabloid Jubi, sebuah surat kabar lokal melaporkan bahwa Filep Karma mengatakan dirinya menolak pergi sendiri ke Jakarta untuk menjalani pengobatan karena Ia ingin pergi bersama dengan Ferdinand Pakage, tetapi pada akhirnya ia terpaksa harus berangkat sendirian. Sebuah pesan yang diterima oleh West Papua Media dari dalam penjara bahkan menunjukkan bahwa Filep Karma memulai mogok makan pada tanggal 5 Oktober 2010, menuntut perhatian medis yang memadai untuk Ferdinand Pakage, meskipun tidak ada laporan yang diterima tentang berapa lama protes ini berlangsung.

Kesehatan Filep Karma terus bermasalah hingga tahun 2012, ketika para dokter lokal merekomendasikan agar ia harus melakukan perjalanan sekali lagi ke Jakarta untuk menjalani kolonoskopi. Siaran pers dari pihak keluarganya yang dipublikasikan oleh West Papua Media menyatakan bahwa sekali lagi negara Indonesia telah menolak untuk membayar untuk perawatan ini. Sekali lagi para pendukung Karma di seluruh Papua dan internasional harus mengumpulkan uang untuk pengobatannya.

Pada tanggal 3 Desember 2010 Filep Karma dipindahkan dari penjara LP Abepura ke tahanan Polda Papua. Hal ini terjadi setelah adanya keributan di dalam penjara, ketika para tahanan mengetahui bahwa salah seorang narapidana bernama Miron Wetipo yang baru saja melarikan diri, telah ditembak mati. Filep Karma, bersama dengan seorang tahanan politik lainnya Buchtar Tabuni beserta tiga orang rekannya dipindahkan ke Polda Papua dan dituduh sebagai pemimpin keributan tersebut. Namun, BUK Papua telah melaporkan Karma dan Tabuni hanya berusaha untuk menegosiasikan sebuah dialog dengan kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) untuk menyelidiki penembakan tersebut dan berusaha mencegah para tahanan untuk tidak merusak penjara. Laporan di surat kabar lokal Tabloid Jubi dan Bintang Papua mengungkapkan bahwa kelima orang tersebut didakwa dengan tindakan pidana pengrusakan berdasarkan Pasal 170 KUHP, dan beberapa hari setelah mereka dipindahkan, para pengacara mereka tidak dapat mengunjungi mereka. Karma sekali lagi melakukan protes dengan mogok makan. Mereka tetap ditahan di kantor polisi sampai dengan tanggal 7 Maret 2011.

Pada tahun 2011 Filep Karma adalah salah satu dari beberapa tahanan politik Papua yang ditawari remisi sebagai bagian dari perayaan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Dia menolak tawaran ini dan mengatakan bahwa dia hanya akan menerima kebebasan tanpa syarat, disertai dengan permintaan maaf kepada rakyat Papua yang telah dibunuh, atau tertindas, atau yang tanah miliknya telah diambil dari mereka. Sebuah video dari penolakan ini dapat dilihat di West Papua Media Alerts.

Karena hukuman sangat panjang yang diterimanya sebagai akibat dari upaya mengekspresikan pandangan-pandangannya secara damai dan mungkin juga tekadnya untuk tetap teguh dengan keyakinannya bahkan ketika berada balik jeruji besi, kasus Filep Karma telah menarik dukungan dari berbagai organisasi internasional dan juga menjadi fokus untuk kampanye terhadap tindakan Indonesia yang represif dalam penerapkan aturan hukum makar. Human Rights Watch telah berulang kali mencatat kasusnya, dan Amnesty International telah menggambarkan dia sebagai seorang Prisoner of conscience setidaknya sejak Februari 2005, dan juga secara konsisten berkampanye untuk pembebasannya. Pada bulan Agustus 2011, 26 anggota Kongres AS menandatangani surat kepada Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meminta pembebasannya. Sebuah badan PBB, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang juga telah mengeluarkan pendapat tingkat tinggi tentang kasus Karma, mengklaim bahwa penahanannya merupakan pelanggaran artikel 9, 10, 11 19 dan 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan menuntut bahwa ia harus segera dibebaskan dan mendapatkan kompensasi.

Ada laporan tentang keluarga Filep Karma menjadi target dan diserang secara fisik. Pada tanggal 6 Juni 2013, Andrefina Karma, putri Filep, diduga ditabrak dengan sengaja di luar rumahnya di Jayapura. Pengendara sepeda motor itu dilaporkan telah menunggu dan memantau di luar rumah ketika Andrefina sedang dalam perjalanan pulang dari kerja. Andrefina ditabrak ketika masuk ke lorong ke rumahnya. Pengendara itu diduga telah mencoba mendekati Andrefina setelah kecelakaan itu, tapi meninggal dengan cepat ketika tetangga yang prihatin datang ke lokasi kejadian.

Pada 19 November 2015, Pak Karma akhirnya dibebaskan lewat remisi dasawarsa. Walaupun Karma sudah menolak grasi atau remisi berkali-kali, akhirnya dia tidak diberikan pilihan untuk menolak, dan pada dasarnya dia langsung dikeluarkan dari penjara. Filep Karma didampingi selama pembebasannya oleh pengacara dia, yaitu Olga Hamadi dari KontraS Papua.

Sumber-sumber
Amnesty International, “Indonesia Prisoners of Conscience Action 2005,” 1 February 2005, https://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/004/2005/en/8763d4e1-d51c-11dd-8a23-d58a49c0d652/asa210042005en.html

Andreas Harsono, “Belajar Dari Filep Karma,” 24 February 2011, http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html

Bintang Papua, “Filep Karma and Buchtar Tabuni to face charges ‘for damaging public property’,” posted in translation by West Papua Media, 16 December 2011, http://westpapuamedia.info/2010/12/16/filep-karma-and-buchtar-tabuni-to-face-charges-for-damaging-public-property/

BUK Papua, “Filep Karma,” 9 August 2010, http://bukpapua.org/?p=19

BUK Papua, “Filef Karma dan Buktar Tabuni Dipindah Ke Kapolda Papua,” 5 December 2005, https://bukpapua.wordpress.com/2010/12/05/filef-karma-dan-buktar-tabuni-dipindah-ke-tahanan-kapolda-papua/

Cenderawasih Pos, “Filep Karma Divonis 6 Tahun Penjara,” 26 January 1999, http://groups.yahoo.com/group/irianjaya/message/536

Eben Kirksey, “What is Indonesia Trying to Hide in West Papua?” 17 October 2012, http://ebenkirksey.blogspot.fr/2012/10/what-is-indonesia-trying-to-hide-in.html

ETAN, “26 Members of the House of Representatives Write Indonesia President to Call for Release of Papuan Prisoner Filep Karma,” 19 August 2011, http://www.etan.org/news/2011/08filepletter.htm

Filep Karma, “Freedom for West-Papua speech,” 2004, posted on Youtube 6 April 2008,
https://www.youtube.com/watch?v=ul-wT09p9Bc

Freedom Now, “United Nations Declares Indonesia’s Detention of Filep Karma a Violation of International Law, Calls for Immediate Release,” 16 November 2011, http://www.freedom-now.org/wp-content/uploads/2011/11/Karma-Press-Release-FINAL2.pdf

Human Rights Watch, “Protest and Punishment – Political Prisoners in Papua,” February 2007, http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/papua0207webwcover.pdf

Human Rights Watch, Indonesia: Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya, 1998,
http://www.hrw.org/legacy/reports98/biak/biak.htm

Jubi, “Karma Continues His Hunger Strike,” posted in translation by West Papua Media, 11 December 2011, http://westpapuamedia.info/2010/12/11/karma-continues-his-hunger-strike-komnasham-unable-to-visit-filep-and-buchtar/

Tempointeractif.com, “Filep Karma Masih Mogok Makan dan Bicara,” 11 December 2004, http://www.tempo.co.id/hg/nusa/papua/2004/12/11/brk,20041211-15,id.html

West Papua Media Alerts,” Papuan Prisoner of Conscience Filep Karma in Jakarta for Medical Treatment,” 27 September 2012, http://westpapuamedia.info/2012/09/27/papuan-prisoner-of-conscience-filep-karma-in-jakarta-for-medical-treatment/

West Papua Media Alerts, “Filep Karma Refuses Indonesia’s Remission,” 20 August 2011, http://westpapuamedia.info/2011/08/20/filep-karma-refuses-indonesias-remission/

West Papua Media Alerts, “Emergency: Papuan Political Prisoner Filep Karma refusing to Eat,” 5 October 2010, http://westpapuamedia.info/2010/10/05/emergency-papuan-political-prisoner-filep-karma-refusing-to-eat/

Share

Orang Papua di balik Jeruji: Agustus 2013

Ringkasan

Pada akhir Agustus 2013, terdapat 55 tahanan politik di penjara Papua. Ada sejumlah penangkapan pada bulan ini yang mencerminkan upaya polisi untuk menghalangi demonstrasi damai di seluruh wilayah Papua. Mereka semua yang ditahan pada bulan Agustus telah dibebaskan dari tahanan, sebagian besar dari antaranya tanpa dakwaan. Namun di Sorong, empat tokoh masyarakat telah dibebaskan dari tahanan, tetapi tetap dikenakan tuduhan makar dan penghasutan. Di Wamena, dua orang saksi pembunuhan oleh Polisi ditahan dan kemudian dibebaskan.

Daniel Gobay dan Matan Klembiap dalam kasus penangkapan di Depapre, serta enam aktivis dalam kasus amunisi di Abepura telah dibebaskan. Ada laporan keprihatinan mengenai investigasi untuk kasus Biak 1 Mei dan persidangan Aimas 1 Mei. Aparat keamanan Indonesia menggerebek kantor Dewan Adat Papua dan sebuah gereja di Paniai. Kondisi kesehatan Filep Karma semakin memburuk karena ditolak perawatan medis yang memadai sekali lagi.

Penangkapan

Empat pemimpin masyarakat ditangkap setelah pernyataan pers mendukung Freedom Flotilla

Pada tanggal 28 Agustus 2013, sekitar pukul 18.00 waktu Papua, Polres Sorong menangkap empat tokoh masyarakat di Gereja Maranatha Lama di Sorong. Apolos Sewa, Ketua Dewan Adat Daerah (DAD), Yohanis Goram Gaman, Pengurus DAD, Amandus Mirino dan Samuel Klasjok ditangkap selepas sesi doa dan keterangan pers dalam aksi solidaritas DAD dengan ‘Freedom Flotilla’ yang sedang berlayar dari Australia ke Papua Barat untuk menyoroti situasi hak asasi manusia di Papua Barat.

Menurut laporan dari seorang aktivis setempat sebagaimana dinyatakan dalam Tabloid Jubi, sesi doa dan keterangan pers tersebut diterima dengan antusias oleh masyarakat yang hadir. Dalam langkah mendukung keterangan pers – yang menyambut kedatangan Freedom Flotilla – bendera Bintang Kejora bersama dengan bendera Aborigin lainnya dikibarkan. Tak lama setelah itu, keempat pemimpin tersebut ditangkap dan dibawa ke Polres Sorong untuk diinterogasi.

Informasi yang diterima dari sumber setempat lainnya menyatakan bahwa selepas diinterogasi selama satu malam, keempatnya dibebaskan dengan syarat. Keempat aktivis tersebut diminta memberikan  pernyataan kepada polisi untuk dapat bekerja sama dengan penyidik polisi, bersedia menghadiri proses hukum sampai ke pengadilan dan akan melapor  kepada polisi dua kali seminggu. Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menyatakan bahwa pada tanggal 2 September, keempatnya melapor ke Polres Sorong untuk pertama kali sejak dibebaskan pada 29 Agustus.  ALDP juga melaporkan bahwa para pengacara HAM akan berkoordinasi dengan polres Sorong untuk mengatur akses ke pengacara hukum untuk keempatnya. Laporan di media Papua menyatakan bahwa mereka telah dituduh dengan makar dan penghasutan sebagaimana Pasal 106 dan 110 KUHP.

Penangkapan dan intimidasi terhadap warga sipil dan aktivis yang berpartisipasi dalam Parade Budaya Papua

Menurut laporan dari sumber HAM setempat, aparat keamanan Indonesia berusaha menghalangi terjadinya demonstrasi dalam bentuk Parade Budaya Papua pada 15 Agustus 2013 di berbagai kota di Papua. Parade Budaya diadakan untuk memperingati perjanjian New York tahun 1962, yang mengakibatkan Papua Barat diserahkan kepada Indonesia, dan untuk mendukung pembukaan kantor Kampanye Free West Papua di Belanda.

Waena

Sebuah laporan yang diterima melalui email dari seorang aktivis setempat di Jayapura menyatakan bahwa empat KNPB (Komite Nasional Papua Barat) aktivis Agus Kosai, Toni Kobak, Wim Rocky Medlama dan 13 anggota KNPB lainnya yang tidak dinama ditangkap pada 14 Agustus sementara mereka sedang membuat persiapan untuk Parade Budaya. Para aktivis telah merencanakan untuk melakukan kegiatan dari Waena ke makam pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay di pinggiran kota Sentani pada 15 Agustus, namun ditangkap oleh polres Jayapura. Setelah diinterogasi selama beberapa jam, mereka dibebaskan namun polisi menyita barang yang akan digunakan pada Parade Budaya, termasuk spanduk, generator, mikrofon dan megafon. Sebuah artikel oleh situs berita Warta Papua Barat melaporkan bahwa di Jayapura, sekitar 800 personil kepolisian diturunkan untuk mengamankan Parade Budaya yang bergerak dari Jayapura ke Waena. Dalam artikel ini, seorang aktivis hak asasi manusia telah mengkritik tindakan ini, menyatakan bahwa kehadiran polisi yang banyak itu berlebihan untuk sebuah demonstrasi damai.

Di Waena, ratusan warga sipil dilaporkan ‘dihadang’ oleh polisi bersenjata lengkap di Terminal Abe-Sentani. Menurut seorang aktivis yang diwawancarai dalam laporan tersebut di atas itu, empat truk polisi, satu panser mobil gas air mata dan satu tangki dikerahkan untuk mengendalikan Parade Budaya tersebut.

Wamena

Laporan yang sama diterima dari aktivis setempat yang menyatakan bahwa polisi bandara di kota Wamena menyita lima spanduk yang dikirim dari Jayapura untuk digunakan di Parade Budaya pada 15 Agustus. Ketika aktivis KNPB meminta penjelasan dari pihak berwenang, mereka diberitahu bahwa spanduk-spanduk tersebut diduga mengandung pesan separatisme yang dilarang dan  akan ‘mengganggu’ Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Sebuah unit TNI, Kodim serta Brimob diduga menguasai ruang di mana para aktivis berniat untuk parade, menghambat kemampuan mereka untuk berkumpul.

Fak-Fak                                                                                                   

Laporan lainnya yang dikirim oleh Dewan Adat Papua (DAP) menyoroti taktik banyaknya polisi menjelang perayaan Parade Budaya pada tanggal 15 Agustus di Fak-Fak. Pada 8 Agustus, polres Fak-Fak membawa sebuah konvoi kendaraan ke kampung Sakartemin dan mengeluarkan pernyataan melarang masyarakat melaksanakan Parade. Pada tanggal 10 Agustus, polisi menyita tas milik masyarakat sipil bernama Firmansyah Iribaram di pelabuhan Fak-Fak, karena bendera Bintang Kejora tercetak di atasnya. Ketika  diminta penjelasan, polisi menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk menyita tas itu. Pada tanggal 12 Agustus, Kapolres Fak-Fak Drs. M. Yusuh memimpin sebuah konvoi kendaraan kepolisian ke Distrik Kramonggea dimana mereka mengeluarkan pernyataan serupa melarang setiap tindakan merayakan Parade Budaya .

Pada tanggal 13 Agustus, sembilan anggota KNPB ditangkap oleh polres Fak-Fak di kampung Brongkendik di Distrik Fak-Fak Tengah. Aktivis setempat melaporkan bahwa sembilan aktivis – Arnoldus Kocu, Lahamis Weripang (Ketua KNPB Fak-Fak ), Daniel Kaninggal, Susana Kramandodon, Tobias Hegemur, Salimin Renwarin, Alex Hindon, Matias Bahamba dan Yahya Bahamba – ditangkap oleh polisi bersenjata lengkap. Organisasi hak asasi manusia Elsham Papua melaporkan bahwa kesembilannya dibebaskan beberapa jam kemudian setelah diinterogasi.

Laporan DAP yang sama juga menyatakan bahwa pada tanggal 13 Agustus, Polres Fak-Fakmengeluarkan balasan bahwa mereka tidak dapat memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) Aksi Damai bagi Solidaritas Aksi Kaum Pribumi untuk HAM Dan Demokrasi  (SKPHD ) untuk melaksanakan Parade Budaya pada 15 Agustus. Pada 14 Agustus sekitar pukul 13.30 waktu Papua, sebuah aparat gabungan TNI dan Polri melakukan penangkapan massal di beberapa kampung ditengah kota Fak-Fak. Sekitar 150 warga sipil ditangkap , termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, dan dibawa ke Polres Fak-Fak. Setelah mendengar tentang penangkapan massal itu, tiga para koordinator Parade Budaya, Roy Mury , Samuel Rohrohmana dan Dany Hegumur menuju ke kantor polisi untuk bernegosiasi untuk pembebasan mereka. Ketiga aktivis itu ditahan dan diinterogasi selama beberapa jam sebelum dibebaskan. Ketiga aktivis tersebut menegosiasikan pembebasan 150 warga sipil itu, yang kemudian dibebaskan setelah ditahan selama tiga jam.

Laporan ini juga menyoroti kejadian di Polres Fak-Fak di mana semasa penggeledahan,wanita-wanita yang ditahan diduga ditelanjangi hingga hanya memakai celana dalam. Ini dilaporkan dilakukan oleh dua polisi wanita di kamar mandi perempuan. Seorang gadis berusia 16 tahun yang memberikan kesaksian kepada Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum di Manokwari (LP3BH) mengatakan bahwa ia diperintahkan oleh salah satu dari dua polwan itu untuk memasuki kamar mandi di mana ia ditelenjangi dan diinterogasi tentang alasannya  datang ke kota. Sebuah pernyataan pers dari LP3BH mengutuk keras tindakan dua polwan itu, dengan argumen bahwa mereka telah melanggar Pasal 5 dan Pasal 32 UU 8/1981tentang Hukum Acara Pidana dan melanggar prinsip praduga tak bersalah. Polres Fak-Fak telah mengeluarkan permintaan maaf kepada para wanita tersebut.

Pada tanggal 15 Agustus,sekitar pukul 09:30 waktu Papua, demonstran yang menuju ke Parade Budaya dari kabupaten Teluk Patipi dihentikan  oleh polisi dan dibawa ke Polres Fak-Fak. Salah satu koordinator Parade Budaya menjadi jaminan  polres untuk cepat membebaskan mereka setelah diinterogasi. Selama Parade tersebut, aparat keamanan Indonesia melakukan pencegatan dan pengeledahan terhadap kelompok-kelompok  yang berbedah  yang menuju ke tempat berkumpul untuk Parade di lapangan parkir Pasar Thumburuni di Fak-Fak. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa ada dugaan warga sipil  menerima ancaman bahwa mereka akan ditembak jika mereka mengambil bagian dalam Parade itu. Seorang pria bernama Yosua diduga dipukuli hingga mengalami gangguan pencernaan. Pengendara motor dan pejalan kaki sama sekali dihentikan dan digeladahkan sepanjang hari, diduga tanpa adanya surat izin.

Timika dan Nabire

Aktivis setempat melaporkan bahwa ada juga upaya kepolisian untuk membubarkan Parade Budaya di Timika, namun Parade berlangsung dengan aman. Ada laporan serupa tentang aktivitas Parade Budaya berjalan damai di Nabire.

Wartawan dipukuli di Paniai

Menurut sumber dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura seperti dilansir oleh ALDP, pada tanggal 15 Agustus 2013, sekitar pukul 16:20 waktu Papua, Andreas Badii, seorang wartawan berita Papua dari Bintang Papua dihentikan dengan motornya dan dipukuli oleh tiga anggota polres Paniai. Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Asia (Asian Human Rights Commission, AHRC), Badii menderita bibir robek dan hidung berdarah sebagai akibat dari pemukulan itu. Ia dibawa ke Polres Paniai sekitar 500 meter dari tempat kejadian. Ia dibebaskan setelah 30 menit.

Ia kurang jelas apakah penganiayaan dan penahanan sewenang-wenang ini timbul karena pekerjaan Badii sebagai seorang wartawan, atau sebagai bagian dari penangkapan umum sembarangan dan pelecehan terhadap warga sipil di Paniai, yang bukan tidak biasa. Papuans Behind Bars telah mencatat 13 penangkapan sewenang-wenang terhadap warga sipil di Paniai tahun ini, semuanya kemudian telah dibebaskan tanpa dakwaan.

Saksi pembunuhan oleh polisi ditahan di Wamena

Sebuah laporan yang diterima dari seorang aktivis HAM setempat menyatakan bahwa pada tanggal 8 Agustus 2013, sekitar pukul 10.30 waktu Papua, dua saksi mata kepada pembunuhan warga sipil oleh seorang polisi – ‘AW’ dan ‘BK’ – ditangkap oleh polres Jayawijaya di Wamena. Brigadir Polisi Lusman Lua diduga melepaskan dua tembakan peringatan ketika terjadi perdebatan antara dia dan Irwan Wenda, seorang warga sipil. AW dan BK mengimbau Lua untuk tidak menembak Wenda karena ia menderita penyakit mental. Laporan tersebut menyatakan bahwa Lua bereaksi dengan menembak Wenda di kaki, perut, kepala dan lengan kiri, terus membunuhnya di tempat. Penembakan fatal terjadi di hadapan empat anggota polres Jayawijaya lainnya dan dua saksi mata tersebut.

Kelima anggota polres itu kemudian dilaporkan memukuli kedua saksi mata tanpa sebab dan membawa mereka ke Polres Jayawijaya untuk diinterogasi. AHRC melaporkan bahwa keduanya menjadi sasaran penganiayaan. Dengan himbauan dari keluarga mereka, mereka dibebaskan dari tahanan beberapa jam kemudian. Belum diketahui apakah Lua telah dihukum atau jika tindakan telah diambil terhadapnya.

Pembebasan

Daniel Gobay dan Matan Klembiap dibebaskan

Menurut sumber setempat, dua aktivis yang ditahan sejak 15 Februari 2013 karena penyelidikan atas keberadaan dua aktivis pro-kemerdekaan telah dibebaskan. Pada bulan Agustus, Daniel Gobay dan Matan Klembiap dijatuhi hukuman 6 bulan 15 hari dan 6 bulan 10 hari masing-masing dikurangi masa tahanan, untuk penghasutan dan kepemilikan senjata. Klembiap dibebaskan pada 25 Agustus 2013 sedangkan Gobay dibebaskan lima hari kemudian pada 30 Agustus. Keduanya disiksa pada saat penangkapan dan semasa penahanan. Keluarga Matan Klembiap juga diduga telah menjadi target upaya pembunuhan.

Enam aktivis dalam kasus amunisi Abepura dibebaskan

Informasi yang diterima dari sumber setempat melaporkan pembebasam Denny Immanuel Hisage, Anike Kogoyo (wanita), Jhon Pekey, Rendy Wetapo, Jimmy Wea dan Oliken Giay dari LP Abepura pada bulan Agustus 2013. Keenam aktivis dijatuhi hukuman penjara sepuluh bulan berdasarkan UU Darurat No 12/1951 dan Pasal 55 KUHP Indonesia. Seperti dilaporkan di Update Juli, dalam sebuah wawancara dengan sumber setempat, Hisage menyatakan bahwa peluru ditanam di akomodasinya dalam rangka  bukti untuk memberatkan mereka.

Pengadilan bernuansa politik dan penilaian tentang kasus

Persidangan enam tahanan dalam kasus Biak 1 Mei

Informasi yang baru diterima dari pekerja HAM setempat telah menjelaskan identitas enam orang yang ditahan dalam kasus pengibaran bendera di Biak. Mereka dikenal sebagai Oktovianus Warnares, Yoseph Arwakon, Yohanes Boseren, Markus Sawias, George Syors Simyapen dan Jantje Wamaer.

Pada tanggal 1 Mei 2013, enam aktivis ditangkap setelah polisi melepaskan tembakan ke sebuah kelompok 50 orang yang berkumpul untuk upacara pengibaran bendera untuk memperingati 1 Mei yang menandai beralihnya administrasi Papua Barat ke Indonesia. Keenam mereka menghadapi tuduhan makar dan kepemilikan senjata berdasarkan Pasal 106, 53, 55 dan 56 KUHP dan Pasal 1 UU Darurat No 12/1951.

Aktivis setempat menduga bahwa selama penyelidikan, polisi mencoba menanam bukti memberatkan pada terdakwa, yang terdiri dari 49 peluru dan tiga karton bom rakitan. Pada tanggal 2 Juli, kasus telah diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum dan  dikembalikan ke penyelidikan polisi pada tanggal 10 Juli, dilaporkan karena laporan investigasi itu tidak lengkap dan belum mendapat status ‘P.21’, yang menunjukkan selesainya investigasi. Informasi yang diterima dari pengacara HAM setempat melaporkan bahwa pada tanggal 29 Agustus, kasus itu sudah dilimpahkan dengan sukses ke Jaksa. Pengacara-pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jayapura telah menandakan kesediaan untuk mewakili keenamnya setelah para keluarga enam aktivis mengajukan permintaan bantuan hukum. Namun, kesulitan keuangan menghambat kemampuan mereka untuk memberikan pendampingan hukum kepada keenam aktivis, yang sebagian besar di antaranya bekerja sebagai petani dan tidak mampu membayar biaya.

Saksi bukan saksi fakta yang dihadirkan dalam kasus Aimas 1 Mei

Sebuah laporan dari situs berita Papua online Tabloid Jubi menyatakan bahwa sidang untuk Aimas 1 kasus Mei (lihat Update Mei) telah dimulai. Pada tanggal 26 Agustus 2013 pemeriksaan saksi dilakukan di Pengadilan Negeri Sorong. Tiga saksi dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Laporan tersebut menyatakan bahwa hanya satu dari tiga orang saksi, Mesak Takoy, memiliki pengetahuan tentang insiden yang terjadi pada 30 April dalam peringatan tanggal 1 Mei, di mana tujuh orang – Isak Klaibin, Klemens Kodimko, Obeth Kamesrar, Antonius Safuf, Obaja Kamesrar, Yordan Magabloi dan Hengky Mangamis – ditangkap dan dituduh dengan makar di bawah Pasal 106, 108 dan 110 KUHP. Menurut sumber LP3BH yang dikutip dalam laporan, Takoy adalah tetangga lama Isak Klaibin, tetapi dia tidak punya mengetahui kegiatan politik Klaibin yang diduga dan tidak memiliki pengetahuan atau pernah bertemu enam terdakwa lainnya.

Pengacara mereka telah menolak pengajuan dua orang saksi lainnya oleh Jaksa Penuntut Umum – Kepala pemerintah Distrik Aimas dan Kepala kantor pemerintahan Kesatuan Nasional (Kesbang) di Manokwari – alasannya karena, kedua mereka tidak hadir pada saat kejadian pada tanggal 30 April 2013. Pengacara juga mempertanyakan isu tiang bendera, yang disebutkan dalam Laporan Investigasi dan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut, digunakan sebagai bukti terhadap ketujuh aktivis. Mereka berpendapat bahwa benda itu memang tidak ada pada saat kejadian tersebut. Keterangan saksi diharapkan akan terus berlanjut pada bulan September.

Kasus Timika 1 Mei dilimpahkan ke Jaksa

Seorang pengacara HAM setempat telah melaporkan bahwa kasus pengibaran bendera Timika 1 Mei (lihat Update Mei) telah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum. Sebuah sumber HAM lain telah menyatakan bahwa kelima orang – Domi Mom, Alfisu Wamang, Musa Elas, Eminus Waker dan Yacob Onawame – saat ini ditahan di Lembaga Pemasyaralatan Timika dan bahwa mereka masih  tanpa pendampingan hukum. Sumber yang sama juga melaporkan bahwa kelimanya telah disiksa dan diintimidasi oleh polisi semasa di tahanan. Sebagaimana dilaporkan dalam Update Juli kami, tiga di antaranya – Musa Elas, Yacob Onawame dan Alfisu Wamang –kesehatannya menjadi memburuk. Keluarga mereka telah meminta aparat polres Mimika untuk memberikan mereka perawatan medis yang memadai di rumah sakit, namun belum ada kemajuan yang dilaporkan.

Banding akan diajukan untuk kasus Perayaan Hari Pribumi di Yapen

Pengacara HAM telah melaporkan bahwa mereka akan mengajukan banding terhadap hukuman penjara dua tahun dan 18-bulan masing-masing atas Edison Kendi dan Yan Piet Maniamboi. Kedua mereka tidak lagi dalam tahanan karena telah menghabiskan jumlah maksimum yang diperbolehkan dalam penahanan.

Yogor Telenggen dituduh terlibat dalam penembakan Pirime 2012

Informasi yang diterima melalui email dari sumber HAM setempat telah mengungkapkan bahwa Yogor Telenggen, yang sebelumnya dilaporkan terlibat dalam penembakan 2012 di Puncak Jaya melawan aparat militer Indonesia, kini telah dituduh terlibat dalam kasus Pirime di Jayawijaya pada tahun 2012 dan penembakan terhadap para sopir di Bandara Mulia. Diperkirakan bahwa Telenggen tanpa pendapingan hukum, tapi ini belum dikonfirmasi. Dia telah ditahan di Polda Papua sejak 10 Maret 2013.

Vonis disampaikan untuk Atis Rambo Wenda

Informasi yang baru-baru ini diterima dari sumber-sumber setempat melaporkan bahwa Atis Rambo Wenda, yang ditangkap pada 4 April 2013 di Waena dan didakwa dengan tindak pidanan kekerasan berdasarkan Pasal 170 KUHP, telah dijatuhi hukuman penjara 10 bulan pada tanggal 20 Juli. Dalam Update Juni, Papuans Behind Bars melaporkan ketakutan Wenda atas potensi penganiayaan dari pihak berwenang di Abepura, mengakibatkannya menolak perawatan medis yang sangat dibutuhkan.

Kasasi diajukan untuk Bastian Mansoben

Pada tanggal 29 Agustus 2013, para pengacara HAM untuk Bastian Mansoben mengajukan banding terhadap hukuman 3 tahun penjara dan 6 bulan, yang sebelumnya dilaporkan dengan salah di Update Juni sebagai 3 tahun penjara. Mansoben disiksa pada saat penangkapan oleh kepolisian Biak dan dipukuli parah semasa dalam tahanan.

Sidang penangkapan Sarmi terus ditunda

Sebuah pemeriksaan saksi yang dijadwalkan pada tanggal 28 Agustus dalam pengadilan Alex Makabori (alias Isak Demetouw), Daniel Norotouw, Niko Sasomar dan Soleman Teno ditunda. Pengacara HAM telah menyatakan bahwa pemeriksaan saksi telah ditunda beberapa kali. Hal ini dilaporkan karena Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menghadirkan  saksi. Jaksa menyatakan bahwa personil militer yang  sebagai saksi telah dipindahkan ke Merauke, sementara saksi masyarakat  sipil tidak dapat hadir karena mereka tinggal jauh. 

Kasus-kasus yang menjadi perhatian

Anggota Dewan Adat Papua diintimidasi dan diancam dalam operasi kepolisian besar di Sentani Barat

Informasi yang diterima dari dua sumber HAM setempat melaporkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 2013, kantor Dewan Adat Papua (DAP), yang juga merupakan kediaman tahanan politik Forkorus Yaboisembut, digerebek dalam operasi polisi yang didukung oleh militer. Laporan yang diterima menyatakan bahwa kantor DAP, yang berada di kampung Sabron Yaru di wilayah Sentani Barat, dikelilingi oleh sekitar 100 aparat keamanan bersenjata yang tiba dengan 20 sepeda motor patroli, dua truk dari Polres Jayapura dan satu truk dari Batalyon 751 Sentani pembagian militer. Sebuah laporan yang diterima dari salah satu sumber setempat menyatakan bahwa pada saat itu, kantor itu hanya dihadiri oleh salah satu anggota Satgas Papua, grup keamaman bagi DAP, dan dua anggota DAP. Mereka diancam akan ditembak jika mereka tidak tetap duduk dan diam.

Kapolres Jayapura, Roicke Harry Langi, yang memimpin operasi itu dilaporkan menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menuntut bahwa organisasi keamanan DAP, Satgas Papua tidak lagi memakai pakaian seragam dan baret custom made mereka. Para aparat keamanan diduga juga menyatakan bahwa mereka diperintahkan oleh Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mengambil tindakan terhadap mereka yang tidak mematuhi aturan baru ini. Satgas Papua tidak dianggap sebagai institusi resmi yang disetujui oleh pemerintah Indonesia.

Kondisi kesehatan Filep Karma memburuk, ditolak perawatan medis

Sebuah laporan dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC Jayapura) telah mengungkapkan kekhawatiran baru bagi kesehatan Filep Karma, yang telah didiagnosis dengan penyakit jantung oleh tim medis di LP Abepura. Tim medis telah menyarankan perawatan khusus di rumah sakit pemerintah umum di Jayapura. Meskipun demikian Kalapas Abepura dilaporkan telah mengabaikan tiga surat rujukan yang dibuat oleh wakil tim medis LP Abepura yang meminta Karma diberi perawatan yang dibutuhkan.

Aparat keamanan menggeledah gereja di Paniai gereja dalam pencarian senjata

Situs berita Papua Majalah Selangkah telah melaporkan terjadi penggerebekan oleh gabungan aparat kepolisian dan militer atas Gereja Katolik St Maria Magdalena di wilayah Pugodide di Kabupaten Paniai pada tanggal 4 Agustus 2013. Menurut informasi yang diterima dari Majalah Selangkah dari seorang aktivis setempat yang berada di Paniai, penggerebekan itu dilakukan dalam mencari senjata yang diduga dimiliki oleh kelompok yang disangka militan di wilayah Pugodide.

Sebuah kronologi kejadian seperti yang dijelaskan oleh sumber Paniai setempat itu menyatakan bahwa pada tanggal 1 Agustus, masyarakat Pugodide menerima kabar mengenai distribusi ternak untuk 10 marga dari tiga kampung. Jonatan Bunai Gedeutopaa, seorang petugas militer di Jayapura meminta agar masyarakat Pugodide berkumpul di halaman Gereja St Maria Magdalena pada tanggal 4 Agustus untuk pembagian ternak di antara mereka sebelum memulai ibadah. Sementara distribusi sedang dilakukan, 15 para aparat keamanan Indonesia tiba dalam tiga kendaraan dan lanjut melakukan pencarian pada anggota masyarakat, termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua, dilaporkan pencarian senjata yang mereka mengatakan mereka percaya dimiliki oleh militan tersangka.

Pasukan keamanan juga dilaporkan secara paksa memasuki gereja, merusak pintu depan gereja. Dalam penggeledahan, aparat keamanan mencungkil tanah sekeliling gereja dan juga naik ke atas atap gereja dalam upaya pencarian senjata. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa Jonatan Bunai, dan seorang lagi petugas militer bernama Matias Bunai, yang membantu memfasilitasi distribusi ternak, tidak terlibat dalam penggeledahan itu. Tidak ada senjata yang ditemukan. Aparat keamanan menyita total  IDR 16 juta dari gereja dan beberapa handphone milik masyarakat dan membawa barang-barang yang disita ke Polres Paniai di Madi. Seperti dilaporkan dalam update-update sebelumnya, aparat militer sering melecehkan dan mengintimidasi warga sipil di Paniai dalam operasi sweeping di mana barang-barang pribadi disita tanpa surat perintah penyitaan.

Berita

Gubernur Enembe mengunjungi tahanan politik di Abepura

Tahanan politik Selpius Bobii telah mengeluarkan pernyataan sebagai balasan atas kunjungan baru-baru ini oleh Gubernur Papua  Lukas Enembe, ke Abepura pada tanggal 17 Agustus 2013. Pernyataan itu menegaskan kembali penolakan tawaran grasi oleh para tahanan politik di Abepura (yang akan membutuhkan pengakuan bersalah), dan menyoroti beberapa percakapan antara Enembe dan Filep Karma, Victor Yeimo dan Selpius Bobii. Dalam menanggapi kunjungan Gubernur, Bobii memberitahukan Gubernur bahwa sebagai tahanan politik mereka menolak grasi, dan bahwa bangsa Papua siap untuk bernegosiasi dengan Indonesia dan menolak Otonomi Khusus Plus. Enembe telah dilaporkan mengatakan kepada para tahanan untuk meninggalkan gerakan pro-kemerdekaan dan bekerja untuk mencapai kebebasan melalui kemakmuran.

Tahanan politik Papua bulan Agustus 2013

  Tahanan Tanggal Penahan Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/Penjara
1 Victor Yeimo 13 Mei 2013 160 3 tahun  (dijatuhkan pada 2009) Demo tahun 2009; Demo 13 Mei di Jayapura Tidak Ya Abepura
2 Astro Kaaba 3 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
3 Hans Arrongear Tidak diketahui Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
4 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
5 Yoseph Arwakon 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
6 Yohanes Boseren 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
7 Markus Sawias 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
8 George Syors Simyapen 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
9 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
10 Domi Mom 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
11 Alfisu Wamang 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
12 Musa Elas 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
13 Eminus Waker 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
14 Yacob Onawame 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
15 Hengky Mangamis 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
16 Yordan Magablo 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
17 Obaja Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
18 Antonius Safuf 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
19 Obeth Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
20 Klemens Kodimko 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
21 Isak Klaibin 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei; dituduh TPN/OPM Tidak Ya Polres Sorong
22 Yahya Bonay 27 April 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Tahanan polres Serui
23 Atis Rambo Wenda 4 April 2013 170 10 bulan Dituduh pidana kekerasan Ya Ya Abepura
24 Yogor Telenggen 10 Maret 2013 340, 338, 170, 251, UU Darurat 12/1951 Menunggu sidang Penembakan Pirime tahun 2012 Ya Ya Polda Papua
25 Isak Demetouw(alias Alex Makabori) 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
26 Daniel Norotouw 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
27 Niko Sasomar 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
28 Sileman Teno 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
29 Boas Gombo 28 Februari 2013 Pasal 24 dan 66 of Law 24/2009 9 bulan Bendera Indonesia perbatasan dengan PNG Tidak Ya Abepura
30 Andinus Karoba 10 Oktober 2012 365(2), UU 8/1981 Hukum Acara Pidana 1 tahun 10 bulan Aktivis Demak dituduh pencurian Ya Ya Abepura
31 Yan Piet Maniamboy 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
32 Edison Kendi 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
33 Jefri Wdanikbo 7 Juni 2012 340, 56, Law 8/1981 8 tahun Dituduh pidana kekerasan di Wamena Ya Ya Abepura
34 Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 2.5tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
35 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
36 Bastian Mansoben 21 Oktober 2012 UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus bahan peledak di Biak Possession of explosives Tidak Biak
37 Forkorus Yaboisembut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
38 Edison Waromi 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
39 Dominikus Surabut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
40 August Kraar 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
41 Selphius Bobii 20 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
42 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
43 Oskar Hilago 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
44 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
45 Obed Kosay 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
46 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
47 Dipenus Wenda 28 Maret 2004 106 14 tahun Pemboikotan Pilkada Bokondini Unclear Tidak Wamena
48 George Ariks 13 Maret 2009 106 5 tahun Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak Manokwari
49 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ya Abepura
50 Ferdindan Pakage 16 Maret 2006 214 15 tahun Kasus Abepura tahun 2006 Ya Ya Abepura
51 Jefrai Murib 12 April 2003 106 Life Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Abepura
52 Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
53 Kimanus Wenda 12 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
54 Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Life Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak
55 Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek tentang tahanan politik di Papua Barat.

Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Dana dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

Share

Yusak Pakage

Yusak Pakage, seorang tahanan politik penting dari tahun 2004 hingga 2010, kembali ditahan pada tahun 2012 saat menghadiri sidang salah satu tahanan politik lainnya, dan lalu didakwa dengan tuduhan memiliki sebuah pisau lipat.

Penahanan pertama Pakage terjadi pada tanggal 2 Desember 2004 di Abepura, setelah sebuah bendera bintang kejora dikibarkan sehari sebelumnya. Tanggal 1 Desember diperingati sebagai “hari kemerdekaan” bagi banyak warga Papua, karena pemerintah kolonial Belanda memberi warga Papua izin untuk mengibarkan bendera nasional pada tanggal tersebut pada tahun 1961.

Sebuah riwayat yang diterbitkan oleh Human Rights Watch (HRW) memberikan keterangan mendetail tentang demonstrasi dan sidang peradilan tersebut. HRW menerangkan bahwa kejadian hari tersebut diawali dengan demonstrasi dan pidato – pidato damai dan tanpa kekerasan. (Sebuah pidato dari Filep Karma, yang juga ditahan pada hari itu dapat dilihat disitus Youtube). Namun, setelah bendera bintang kejora dikibarkan, pihak kepolisian NKRI mulai menyerang kerumunan massa. HRW mengutip deskripsi kejadian dari Pakage sebagai berikut:

“Pada saat bendera Bintang Kejora dikibarkan, saya sedang memegang sebuah megafon sambil berkordinasi dengan pihak kepolisian. Saya tidak tahu siapa yang membawa bendera tersebut ataupun yang mengibarkanya. Saya berada tepat diantara polisi dan kerumunan masa saat polisi mulai menembak kerumunan massa dan massa membalas dengan melemparkan batu terhadap polisi. Saya terus mencoba meluruskan situasi tersebut dan mencoba mendinginkan suasana diantara kedua pihak.. Magafon yang saya pegang hancur terkena tembakan peluru.”

Selama persidangan, Pakage mengaku bahwa dirinya telah ditipu oleh pihak kepolisian. Karena takut temannya, Filep Karma, telah ditahan pihak kepolisian, dan lalu polisi menasihati dirinya bersama dengan 20 orang lainnya untuk pergi ke kantor polisi menanyakan informasi lanjut tentang Filep Karma. Tetapi, saat mereka sampai dikantor polisi, 17 diantara mereka langsung ditangkap dan lainnya dibebaskan, Pakage ditahan untuk disidangkan di peradilan. Bersama dengan Karma, Yusak dituntut tuduhan Makar dan konspirasi, dibawah pasal 106 dan 110 KUHP, dan penghasutan untuk melawan NKRI dibawah pasal 154. Dalam kasus Pakage, tuduhan awal mengenai tindakan kekerasan terhadap pegawai negri sipil (pasal 214) akirnya dihilangkan, tetapi hanya setelah tuduhan tersebut sudah menambahkan 40 hari hukuman penjara bagi mereka.

Selama proses pengadilan berlangsung, menurut HRW, Filep Karma dan Yusak Pakage menantang otoritas pengadilan untuk menuntut mereka, karena mereka adalah warga Papua dan bukan warga Indonesia. Pihak kuasa hukumnya juga memprotes ke-tidaknetral-an salah satu hakim, setelah banyak dilontarkannya komentar –komentar penghinaan. Sang hakim sempat berkata kepada polisi untuk “Menggebuk kepala Filep kalau nakal” dan juga berkata “Diam kamu! Mau mati kamu?” terhadap seorang pemrotes wanita setelah ditinju dan ditendang. Kuasa hukum mereka juga banyak terintimidasi; sebuah kepala anjing mati ditemukan diluar kantor Lembaga Bantuan Hukum, LBH, dengan ancaman langsung terhadap dua kuasa hukum.

Demonstrasi besar besaran terjadi diluar dan didalam ruang sidang mendukung kedua terdakwa. Kekuatan hal ini terlihat pada tanggal 10 Mei, dimana pendukung mereka yang marah memprotes tuntutan jaksa untuk 5 tahun dipenjara. Laporan HRW menunjukkan bahwa jendela – jendela ruangan sidang dan kendaraan dihancurkan, dan massa mencoba memblokir jalan yang dilalui kendaraan dimana kedua terdakwa berada agar mereka dapan berbicara dengan mereka secara langsung. Namun pihak kepolisian melawan balik, dan setidaknya 13 orang, termasuk 2 polisi, terluka dalam bentrokan tersebut. Kepala polisi Jayapura dan 10 anggota kepolisian terlibat dalam bentrokan tersebut nantinya diturunkan karena melanggar HAM selama protest tersebut, sidang untuk mereka dikawal oleh 300 anggota polisi mengelilingi ruang sidang.

Pada tanggal 26 Mei 2005, Yusak Pakage dan Filep Karma dinyatakan bersalah atas tuduhan makar. Yusak Pakage dihukum 10 tahun penjara, dua kali lebih lama daripada tuntutan awal jaksa penuntut yang telah menyebabkan kemarahan massa dua minggu sebelumnya. Terhadap beratnya hukuman tersebut, pihak kehakiman menyatakan bahwa tidak ada cara untuk meringankan hukuman tersebut. Banding terhadap Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung tidak berhasil.

Sebuah laporan Jakarta Post menunjukkan bahwa pada tanggal 24 Agustus, Pakage berhasil kabur dari penjara untuk beberapa jam, kabur saat melakukan kunjungan kerumahnya untuk mengambil sebuah buku. Beliau menggunakan waktu tersebut untuk memprotes kenyataan bahwa surat yang mengotorisasikan hukuman penjaranya yang berkepanjangan tidak ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, yang namanya ada di surat tersebut, maka surat itu secara teknis tidak sah. Namun dia ditangkap beberapa jam setelahnya diperkantoran Elsham Papua, sebuah organisasi Hak Asasi lokal.

Pakage dibebaskan dari penjara pada tanggal 7 Juli 2010. Menurut laporan dari situs Media Indonesia, Yusak diberikan grasi oleh Presiden (Keputusan Presiden 5/G tahun 2010). Kepala kementrian Hukum dan HAM sektor Papua, Nazarudin Bunas, mengatakan bahwa hal ini bersangkutan dengan kunjungan kementrian tersebut ke jayapura beberapa waktu sebelumnya. Nazarudin Bunas diberitakan mengatakan bahwa beliau berharap ini akan menjadi langkah pertama dalam mengurangi hukuman para Tahanan Politik Papua lainnya, dan lebih banyak grasi akan dikeluarkan.

Tetapi, pola penindasan terhadap rakyat papua tidak dapat dengan mudah dirubah. Yusak Pakage melanjutkan kegiatannya untuk tetap aktif dalam berpolitik, mengetuai sebuah gerakan yang disebut Parlemen Jalanan. Dua tahun setelahnya, pada tanggal 23 Juli 2012 Yusak Pakage ditahan saat menghadiri persidangan seorang tahanan politik lainnya, Buchtar Tabuni. Tabuni ditahan berhubungan dengan kerusuhan di Lembaga permasyarakatan 18 bulan sebelumnya, tetapi penangkapan tersebut dipercayai bermotivasi untuk mengintimidasi organisasi Buchtar Tabuni, Komite Nasional Papua Barat, KNPB).

Harian setempat Tabloid Jubi melaporkan dari persidangan; Marah karena melihat apa yang sedang berlangsung, Pakage menendang sebuah tong sampah. Ludah pinang dari tong sampah tersebut secara tidka sengaja mengenai seorang PNS, Yosias Fanataba. Polisi lalu datang dan menahan Pakage, dan saat memeriksa barang bawaan-nya, ditemukan bahwa dirinya memiliki sebuah pisau lipat.

Pakage ditahan beberapa minggu di kantor polisi Jayapura. Prihatin akan keselamatannya, Amnesty International mengeluarkan sebuah surat perhatian pada tanggal 24 Agustus 2012. Beberapa diantara keprihatinannya adalah kemungkinan adanya penyisaan (di Papua, keberadaan di kantor polisi dipercayai jauh lebih bahaya daripada di lembaga permasyarakatan), dan walaupun menderita sakit di perut dan tidak dapat makan, Pakage tidak diperkenankan mendapat perhatian kesehatan. Sebulan setelah penangkapannya, Pakage masih tidak diberikan kesempatan untuk memiliki kuasa hukum, dan interogasi yang diterimanya terfokus pada kegiatan aktifis politiknya dan tentang pendukungan dirinya terhadap tahanan politik lainnya, daripada dakwaan dimana dirinya sebenarnya ditangkap, yaitu melanggar UU Darurat 12/1951 mengenai senjata tajam. Amnesti juga melaporkan bahwa Pakage telah di tahan tiga hari sebelum persidangan tersebut karena menjadi bagian dari 20 orang yang mengumpulkan amal dijalanan untuk para tahanan politik yang sedang sakit.

Dalam wawancara dengan situs media lokal suarapapua.com, Pakage mengatakan bahwa dirinya percaya bahwa telah ditahan karena latar belakangnya sebagai tahanan politik. Beliau menerangkan bahwa Yosias Fonataba datang ke kantor polisi tidak lama setelah penangkapan dan mengatakan bahwa dia tidak mau ada permasalahan berkelanjutan dan memaafkan Yusak atas kejadian tersebut. Keduanya menandatangani sebuah kesepakatan damai, yang nantinya di batalkan oleh Kepala Polisi Abepura, yang mengatakan bahwa dia mendapat perintah baru dari petingginya.

Menurut Suara Papua, Pakage di hukum 7 bulan penjara pada tanggal 13 Desember 2012.

Sources

Amnesty International, Urgent Action 251/12, 24 August 2012, https://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/032/2012/en/1506e780-3c71-46f0-9057-94f41d8016ba/asa210322012en.html

Human Rights Watch, Protest and Punishment – Political Prisoners in Papua, February 2007, http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/papua0207webwcover.pdf

Jakarta Post, Papuan Leader Back Behind Bars, 25 August 2005, http://www.thejakartapost.com/news/2005/08/25/papuan-leader-back-behind-bars.html

Media Indonesia, Yusak Pakage Terima Grasi, 8 July 2010, http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/07/154234/130/101/Yusak-Pakage-Terima-Grasi

Suara Papua, Yusak Pakage saya ditahan karena latar belakang tapol, 5 December 2012, http://suarapapua.com/2012/12/yusak-pakage-saya-ditahan-karena-latar-belakang-tapol/

Suara Papua, Yusak Pakage Di Vonis 7 Bulan Tahanan, 14 December 2012, http://suarapapua.com/2012/12/yusak-pakage-divonis-7-bulan-tahanan/

Tabloid Jubi, Yusak Pakage diringkus di Polsek Abepura, 23 July 2012, http://z.tabloidjubi.com/index.php/2012-10-15-06-23-41/jayapura/19720-yusak-pakage-diringkus-ke-polsek-abepura

Youtube, Filep Karma, “Freedom for West-Papua speech,” 2004, posted 6 April 2008,
https://www.youtube.com/watch?v=ul-wT09p9Bc

Share

Ferdinand Pakage

Ferdinand Pakage adalah petugas parkir di Abepura sebelum ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun sebagai akibat dari kekerasan yang terjadi seputar peristiwa 16 Maret 2006 di Jayapura, Papua Barat. Aksi pemogokan dimulai sehari sebelumnya, menuntut penutupan tambang Freeport di Tembagapura, Timika, dan penarikan polisi serta militer dari wilayah tersebut. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) kemudian menerbitkan kronologi rinci harian tentang peristiwa yang berlangsung, yang kemudian disusun dalam sebuah buku “Memoria Passionis di Papua.” Mereka mencatat bahwa bentrokan dimulai pukul 12:15 pada 16 Maret saat beberapa demonstran melemparkan batu dan botol ke polisi. Konfrontasi intensif mulai terjadi ketika polisi mencoba menyerbu blokade, dan tiga anggota polisi dan satu perwira petugas intelijen Angkatan Udara tewas dalam bentrokan tersebut. Seorang anggota polisi lainnya tewas akibat luka-lukanya beberapa hari kemudian pada tanggal 22 Maret.

Setelah bentrokan, SKP melaporkan bahwa Brimob melakukan operasi sweeping di sepanjang jalan dan menuju ke arah gunung-gunung, memasuki rumah-rumah dan asrama-asrama. Setiap orang Papua yang ditemukan dipukuli dan dibawa ke markas Polda Papua di Kota Jayapura. Hari berikutnya sweeping diteruskan, dimulai pukul 08:00 dengan penembakan membabi buta oleh polisi. Pada penghujung hari, sebanyak 73 orang ditangkap. Berbagai laporan yang diterbitkan kemudian oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia mengklaim bahwa satu atau dua warga sipil telah tewas dalam sweeping tersebut disamping banyak pula yang mengalami cedera.

Sebuah laporan yang telah dikeluarkan oleh Human Rights Watch (HRW) memprofilkan kasus Pakage, dan konsultan HRW Andreas Harsono juga menuliskan tentang pertemuannya dengan Pakage di blog-nya. Kedua laporan tersebut menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Pakage dimulai ketika temannya, Luis Gedi, disiksa dan dipaksa oleh Polisi untuk memberikan sebuah nama. Pakage dituduh telah membunuh polisi Rahman Arizona, meskipun dirinya dan keluarganya menyatakan bahwa ia tidak berpartisipasi dalam kerusuhan tersebut.

Dalam catatan di blog Andreas Harsono, Pakage menjelaskan bahwa ketika itu dia sedang dalam keadaan dipukuli oleh dua puluh orang anggota polisi sehingga ia pun terpaksa harus mengakui bahwa dirinya telah membuang pisau yang dituduhkan sebagai alat untuk membunuh di luar kampus. Polisi kemudian membawanya ke sana untuk mencari pisau tersebut namun tidak dapat ditemukan. Kemudian mereka menembaknya di kaki, pada saat ia mengubah cerita dan mengatakan bahwa pisau itu ada di rumahnya. Polisi kemudian pergi ke rumahnya dan menyita pisau sayur milik ibunya.

Berdasarkan laporan tahun 2008 tentang penyiksaan yang disiapkan oleh Kelompok Kerja Indonesia untuk Advokasi Menentang Penyiksaan, seorang anggota Polisi yang menembak Pakage di kaki, diduga saat itu telah menjadi Wakil Kepala Kepolisian Resort Jayapura (Wakapolresta), yaitu Ajun Komisaris Besar Aris Purbaya.

Kelompok Kerja Indonesia untuk Advokasi Menentang Penyiksaan merincikan penyiksaan terhadap Pakage yang telah terjadi pada tanggal 16 dan 17 April. Selain penembakan, Pakage diduga telah ditampar, dipukul, ditendang dan dipukul dengan laras senapan, serta ditinggalkan dalam keadaan luka di kepala. Laporan HRW juga menyebutkan bahwa air mendidih telah dilemparkan kepadanya. Tidak ada pengacara atau penasihat hukum yang diijinkan untuk mendampingi selama proses interogasi Pakage, dan keluarganya juga dilarang untuk mengunjunginya.

Dalam kronologi yang dikeluarkan oleh SKP dituliskan bahwa pada tanggal 20 Maret Paulus Waterpauw, Direktur Reserse Kriminal Polda Papua (Reskrim Polda Papua), mengumumkan bahwa tersangka Luis Gedi dan Ferdinand Pakage telah mengaku menyerang polisi.

Berdasarkan update kasus ini yang diterbitkan oleh SKP pada 12 Juni 2006, sebanyak 23 orang didakwa sehubungan dengan kasus ini, akan tetapi Pakage dan Gedi dikenai tuduhan terberat dari semua terdakwa. Mereka didakwa dengan pasal 212 dalam hubungannya dengan pasal 214, ayat 2, yang menunjuk pada melawan aparat keamanan dalam melaksanakan tugasnya, serta mengakibatkan hilangnya nyawa anggota pasukan keamanan.

Setelah persidangan, ‘Tim Advokasi untuk bentrokan Abepura 16 Maret 2006’ telah menerbitkan sebuah laporan mengenai persidangan. Laporan tim menyebutkan bahwa jaksa dan hakim hanya terfokus pada upaya mencapai hasil persidangan agar sesuai dengan apa yang sebenarnya sudah diputuskan. Dilaporkan juga bahwa para jaksa dan hakim telah mendasarkan argumen-argumen mereka pada Berita Acara Pemeriksaan, dan mengabaikan fakta bahwa sebagian besar dari para terdakwa membantah isi berkas tersebut karena pernyataan-pernyataan yang termuat dalam BAP tersebut mereka nyatakan dalam situasi di bawah penyiksaan. Suasana selama persidangan dikatakan mengintimidasi, dengan hadirnya polisi berseragam dan para petugas intelijen yang hadir di setiap sesi. Pada dua sesi tanggal 17 dan 24 Mei, terdakwa terluka atau menerima ancaman kematian dari anggota Brimob, setelah mereka menolak dakwaan. Pada tanggal 12 Juli, para anggota unit Brimob membawa anggota keluarga dari kedua orang anggota polisi yang tewas dalam insiden itu ke ruang tahanan dimana mereka membawa pisau dan mengancam para terdakwa untuk mengakui telah membunuh kerabat mereka.

Sebuah tinjauan yang dikeluarkan oleh Amnesty International menyebutkan bahwa empat orang pengacara dari tim penasehat hukum yang terlibat dalam pembelaan kasus ini serta tiga orang pekerja hak asasi manusia, anggota dari kelompok hak asasi manusia yang bekerja pada kasus ini diikuti dan menerima berbagai pesan intimidasi melalui SMS, termasuk juga ancaman kematian.

Laporan Tim Advokasi juga mencatat bahwa hukuman 15 tahun penjara yang ditetapkan bagi Ferdinand Pakage adalah tiga tahun melebihi tuntutan Jaksa yaitu 12 tahun.

Seperti yang tertulis didalam laporan profil HRW, Pakage dianiaya lagi pada September 2008, kali ini oleh para petugas sipir penjara. Salah seorang petugas sipir diduga telah memukulnya sebanyak enam kali dengan karet mati, sementara para petugas sipir lainnya memukul dan menendangnya. Salah satu petugas sipir meninjunya sambil memegang gembok dan kunci sehingga menusuk bola mata Pakage. Setelah itu, selama beberapa jam dia tidak dilarikan segera ke rumah sakit, karena pada saat itu rumah sakit telah tutup, dan ketika keesokan harinya ia dibawa ke rumah sakit, keadaan sudah terlalu terlambat untuk menyelamatkan penglihatannya.

Meskipun hal ini adalah tanggung jawab dari penjara (Lembaga Pemasyarakatan) untuk menyediakan kebutuhan kesehatan bagi para tahanan, dalam kasus Pakage mereka sejauh ini telah gagal untuk melakukan hal ini, seperti juga terhadap para tahanan politik dan tahanan lainnya. Seperti yang sering terjadi di Papua Barat, kebutuhan ini malah dipenuhi oleh masyarakat sipil. Menurut situs berita Warta Papua Barat, sebuah kelompok yang disebut Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) telah memulai mengumpulkan uang untuk kebutuhan medis Pakage, sebagai akibat dari cedera di matanya.

Artikel di surat kabar lokal Tabloid Jubi selama tahun 2011 menyatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan oleh Pakage tidak tersedia di Papua, berarti dia perlu dirujuk ke Jakarta. Namun pihak Lembaga Pemasyarakatan (LP) menolak memberikan izin untuk pergi bersama dengan sesama tahanan politik Filep Karma, yang juga membutuhkan perhatian medis yang mendesak. Karma, yang biaya medis untuk operasi di Jakarta juga digalang oleh SKPHP, mengatakan bahwa ia bermaksud menolak untuk pergi kecuali Pakage ikut bersamanya, akan tetapi dirinya dipaksa oleh para petugas penjara/LP dan pejabat dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia untuk harus melakukannya.

Pada tanggal 16 Juni, Pakage dibebaskan dari LP Abepura.

Sumber-sumber
Advocacy team for the Abepura clash of 16 March 2006, “The report of the hearing of the case relating to the clash in Abepura on 16 March 2006 in the Abepura state court,” 21 August 2006, http://www.faithbasednetworkonwestpapua.org/userfiles/files/FurtherReading/GFSR(1).pdf

Amnesty International, ASA 21/015/2006, 5 September 2006, http://amnesty.org/en/library/asset/ASA21/015/2006/en/ada1adfd-f9d4-11dd-b1b0-c961f7df9c35/asa210152006en.pdf

Andreas Harsono, “Belajar Dari Filep Karma,” 24 February 2011, http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html

Human Rights Watch, “Prosecuting Political Ambitions,” 22 June 2010 http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0610webwcover_0.pdf

Indonesian Working Group on Advocacy against Torture, “Annex-Shadow Report,” May 2008, http://www.elsam.or.id/downloads/1266673146_Annex_Shadow_Report_CAT.pdf

SKP Jayapura, Imparsial et al, “The practice of torture in Aceh and Papua 1998-2007,” February 2008, http://www.hampapua.org/skp/skp06/var-22e.pdf

SKP Jayapura, “Memoria Passionis di Papua 2006,” 2008, http://www.papuaweb.org/dlib/baru/skp-2008-mp2006.pdf

SKP Jayapura, “Civil rights of Abepura 16 March 2006 suspects
threatened,” 12 June 2006, http://lists.topica.com/lists/indonesia-act@igc.topica.com/read/message.html?sort=d&mid=812195950&start=28650

Tabloid Jubi, “SKPHP: Ferdinand Pakage Harus Berobat,” 16 February 2011, http://tabloidjubi.com/index.php/modules-menu/jayapura/11037-skphp-ferdinand-pakage-harus-berobat

Tabloid Jubi, “Filep Karma Sesali Pengobatan Ferdinand Pakage,” 1 May 2011, http://tabloidjubi.com/index.php/daily-news/jayapura/12025-filep-karma-sesali-pengobatan-ferdinand-pakage.html

Warta Papua Barat, “Pemerintah tidak peduli membiayai pengobatan tahanan politik Filep Karma dan Ferdinand Pakage,” 10 March 2010, http://www.wartapapuabarat.org/index.php/human-rights/154-human-rights/101-pemerintah-tidak-peduli-membiayai-pengobatan-tahanan-politik-filep-karma-dan-ferdinand-pakage

Share

Orang Papua di Balik Jeruji: April 2013

Ringkasan

Pada akhir April 2013, setidaknya terdapat 40 orang tahanan politik di penjara. Sepanjang April, dilaporkan 9 orang mengalami penangkapan, termasuk penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap masyarakat oleh polisi. Peristiwa ini banyak terjadi di wilayah Puncak Jaya, dimana pelecehan dan intimidasi berlangsung secara meluas setelah penembakan di bulan Februari. Terdapat penangkapan bernuansa politik di pulau Yapen Tambrauw dan di perbatasan Papua Nugini.

Markus Yenu dilepaskan tanpa tuntutan pada Maret 2013. Kasus Perayaan Masyarakat Adat Yapen, Kasus makar dan peledakan Timika serta kasus amunisi di Abepura masih terus berlangsung. Putusan pengadilan terhadap kasus ‘kamp Serui’ sedang menjalani upaya banding, sedangkan putusan terhadap kasus demonstrasi dan pengibaran bendera 1 Mei 2012 telah dikuatkan oleh Pengadilan tinggi Jayapura dan tidak ada upaya banding yang diajukan. Pengadilan terhadap

Kasus Penyiksaan Depapre  telah dimulai bulan ini terhadap satu dari dua orang laki-laki yang dituduh.

Penangkapan

Penangkapan dan dugaan penyiksaan terhadap aktivitas nir-kekerasan di pulau Yapen dalam kaitannya dengan kematian polisi

Pada 27 April 2013, Yahya Bonay, aktivis dari Serui, pulau Yapen telah ditangkap dan diduga  disiksa oleh polisi Yapen. Sumber dari aktivis HAM lokal melaporkan bahwa  polisi telah menggerebek rumah Bonay di desa Paseni dan menyiksanya selama penangkapan, memukulinya serta menyeretnya keluar rumah. Saat ini Bonay ditahan di tahanan polisi dan dilaporkan polisi menolak kunjungan dari keluarga dan kawan-kawannya. Penangkapannya diduga berhubungan dengan serangan fatal  terhadap anggota polisi Jefri Sesa sebelumnya di hari yang sama. Sumber lokal menyebutkan bahwa Bonay diduga menghadapi penyiksaan di dalam tahanan. Pada saat penulisan laporan ini, belum jelas apakah dia sudah mendapatkan perwakilan hukum atau apa tuduhan yang diberikan padanya.

Aktivis di Tambrauw ditahan karena melaporkan pembunuhan masyarakat

Asian Human Rights Commission (AHRC) telah melaporkan penahanan sewenang-wenang dan intimidasi kepada dua orang aktivis pada 8 April, dimana mereka telah diambil dari rumahnya dan diinterogasi oleh Polsek Sausapor. Mereka ditangkap dalam hubungannya dengan laporan atas kematian penduduk desa di Kabupaten Tambrauw  sejak November 2012 hingga Maret 2013 karena tidak mendapatkan pelayanan medis atas berbagai penyakit, termasuk diare dan kekurangan gizi.

Yohanis diinterogasi berkenaan dengan penyelidikan yang dilakukan oleh ayahnya, aktivis lain dan dia sendiri tentang kematian di Kabupaten Tambraouw. Dua orang polisi menginterogasinya tentang organisasi di Papua yang diduga melawan pemerintah Indonesia dan nama organisasi dimana ia bekerja. Hans diinterogasi oleh empat orang polisi tak berseragam dan ditanya tentang penyelidikan yang dilaporkannya, pekerjaan aktivis lainnya dan jurnalis atau LSM yang menjadi jaringannya. Dia juga ditanyai tentang dana yang didapatnya untuk membiayai aktivitas ini. Di hari yang sama, baik Yohanis dan Hans dibebaskan tanpa tuduhan. Sebelumnya di bulan ini, Yohanis dan Hans Mambrasar dan aktivis lainnya menyelidiki kematian di Kabupaten Tambrauw yang diikuti oleh ancaman dan gangguan oleh polisi terhadap mereka.

Penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat di bawah tuduhan yang salah di wilayah Puncak Jaya

Pada 5 April 2013, aktivis HAM lokal melaporkan penangkapan sewenang-wenang di Puncak Jaya, Tolikara dan Paniai selama bulan Maret dan awal April. Pada Maret 2013, gabungan satuan tugas aparat tentara dan polisi menangkap 3 orang masyarakat di Pasar Lama, Mulia, Puncak Jaya  diduga untuk mengisi kuota jumlah penangkapan, sebagai bagian dari penumpasan bagi masyarakat sipil yang terus dianggap menyembunyikan aktivis pro kemerdekaan. Berdasarkan wawancara saksi dari aktivis HAM lokal, Nonggop Tabuni, Delemu Enumby dan Jelek Enembe ditangkap berdasarkan dugaan yang salah. Saat ini, tak banyak yang mengetahui dimana mereka ditahan dan apa tuduhan yang akan mereka hadapi. Pada saat penulisan laporan ini, tidak jelas apakah mereka mendapatkan pendampingan hukum.

Investigator lokal juga melaporkan penangkapan di Tolikara di bawah situasi yang sama atas tuduhan yang salah. Pada 1 April, Yosia Karoba, seorang petani telah ditangkap di depan sisi jalan kios oleh 4 orang aparat polisi Tolikara setelah gagal memperlihatkan KTP dan menyampaikan kepada polisi bahwa mereka dari Puncak Jaya. Saat ini ia ditahan di Polres Tolikoro dan keluarganya tidak mendapatkan informasi tentang alasan penangkapan, meskipun dilaporkan  adanya kekhawatiran atas keamanan dan bebas dari penyiksaan.

Laporan bersama dari Gereja Kingmi, GKI dan Baptis di Paniai mengungkapkan bahwa pada 6 Maret 2013, Silwanus Kudiay, seorang masyarakat sipil dari Paniai ditangkap oleh polisi ketika dia berada di kantor Pekerjaan Umum Paniai. Dia ditangkap setelah polisi melakukan pencarian melalui telepon genggam dan menemukan simbol Bintang Kejora dalam data teleponnya. Dia ditahan selama 4 malam di Polres Paniai sebelum dibebaskan.

Ketika penangkapan diduga terjadi pada bulan Maret, tempat-tempat itu saat ini berada di wilayah, atau dekat dengan operasi militer di Papua Barat. Sangat sulit dan beresiko bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi atau bagi pekerja HAM untuk menginvestigasi atau memverifikasi informasi. Kerentanan wartawan lokal dan nasional yang bekerja di wilayah itu diperburuk oleh pembatasan kepada wartawan internasional dan pekerja hak asasi manusia yang ingin masuk ke Papua Barat.

Seperti dilaporkan pada perkembangan bulan Maret, setelah penembakan Puncak Jaya di bulan Februari, terdapat peningkatan keberadaan aparat keamanan di wilayah Puncak Jaya. Sumber lokal melaporkan  penangkapan sewenang-wenang kepada masyarakat biasa dimana mereka menderita karena perlakuan yang tidak manusiawi atau penyiksaan dan kemudian dibebaskan tanpa tuduhan. Pada perkembangan di bulan Maret, ‘Orang di Balik Jeruji’ mendokumentasikan penangkapan dan pembebasan terhadap 11 orang masyarakat di Paniai, 9 orang diantaranya disiksa dan diperlakukan secara tidak manusiawi selama masa penahanan.

Pemuda ditangkap di perbatasan Indonesia – Papua Nugini karena insiden pelemparan bendera

Aktivis HAM lokal melaporkan bahwa seorang pemuda ditangkap pada 28 Februari 2013 karena menurunkan dan menginjak bendera Indonesia di imigrasi perbatasan Indonesia dan Papua Nugini, dan saat ini ditahan di LP Abepura. Boas Gombo dilaporkan menurunkan bendera, melemparnya ke tanah dan menginjak bendera tersebut sambil berteriak ‘Merdeka’ di kantor imigrasi. Ia pertama kali dibawa ke tahanan polisi sebelum diserahkan ke penuntut umum dan kemudian diserahkan ke LP Abepura, pada 8 April. Aktivis lokal melaporkan bahwa Gombo tidak mendapatkan akses bantuan hukum. Saat penulisan laporan ini, belum jelas tuduhan yang dihadapi.

Pembebasan

Markus Yenu dibebaskan

Berdasarkan informasi terkini yang didapatkan dari sumber lokal, Markus Yenu telah dibebaskan pada 6 March 2013, di hari yang sama saat ia ditangkap dan dituduh oleh polisi Manokwari melakukan makar dalam demonstrasi damai 17 Januari 2013. Polisi saat ini memutuskan untuk tidak melakukan upaya lebih lanjut terhadapnya, dimana sebelumnya mereka telah mengklaim memperoleh bukti yang cukup untuk membuktikan keterlibatan Yenu dalam tindakan memprovokasi pembakaran dan perusakan. Sumber aktivis HAM lokal melaporkan bahwa mereka memperbarui upaya untuk menangkap Yenu. Pada 29 April 2013, polisi Jayapura menggerebek asrama mahasiswa di Mamberamo, diduga dengan maksud untuk menangkap Yenu, tetapi tidak melakukan penangkapan karena kekurangan bukti yang memberatkan.

Kasus yang menjadi perhatian

Polisi menggeledah rumah aktivis HAM dalam pencarian pemimpin KNPB

Pada tanggal 3 April 2013, pasukan gabungan polisi berpakaian preman dilaporkan menggeledah rumah aktivis hak asasi manusia Iche Morip, anggota dari Pemudi Baptis Papua untuk mencari Danny Wenda, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Polisi Jayapura tiba sekitar pukul 15.00 WIT ketika Morip, ibunya, adik berusia 9 tahun dan saudarinya berada di rumah, menyebabkan mereka panik dan trauma karena perilaku mereka yang dilaporkan agresif. Polisi menginterogasi ibu Iche Morip tentang keberadaan Danny Wenda dan ketika gagal memperolehi informasi, polisi mulai mencari seluruh rumah secara agresif. Morip mengatakan kepada situs berita independen Papua, Tabloid Jubi, bahwa seorang polisi menodong senjata dan keluarganya selama waktu penggeledahan. Setelah penggeledahan tersebut, polisi diduga mencari di rumah-rumah lain di kompleks sekitarnya , menendang pintu dan menginterogasi warga lain tentang Danny Wenda.

Tinjauan persidangan-persidangan dan kasus-kasus bernuansa politik

Sementara beberapa persidangan kasus bernuansa politik yang sedang berlangsung dilihat sebagai ‘semata-mata’ kasus politik, sementara persidangan lainnya dianggap melibatkan unsur-unsur kriminal dan juga elemen politik. Oleh karena kasus ini begitu rumit, Orang Papua di Balik Jeruji tidak dapat menentukan apakah para tersangka adalah tahanan politik sampai proses persidangan diketahui. Meskipun demikian, kami prihatin bahwa mereka memiliki resiko karena tidak menerima pendampingan hukum yang memadai atau mendapatkan persidangan yang wajar karena  disebabkan oleh persidangan yang jelas bersifat politis dan stigma yang melekat pada diri mereka.

Persidangan Edison Kendi dan Yan Piet Maniamboi dalam kasus Perayaan Hari Masyarakat Adat di Yapen berlangsung

Pada tanggal 9 April, saksi meberikan bukti di persidangan kasus Edison Kendi, Gubernur Wilayah Sireri dari Federasi Nasional Repulik Papua Barat dan Yan Piet Maniamboi, seorang aktivis yang terlibat dengan Otoritas Nasional Papua Barat, yang ditangkap pada 9 Agustus 2012 karena keterlibatan mereka dalam aksi damai memperingati Perayaan Hari Masyarakat Adat di pulau Yapen.

Menurut media Papua Barat, pengamat independen yang hadir pada sidang tersebut melaporkan, empat saksi mengatakan di pengadilan bahwa mereka mengalami penyiksaan oleh polisi Yapen dan dipaksa untuk mengakui di masa penahanan mereka. Jaksa Penuntut Umum Matius Matulesi diduga mengancam dua saksi yang memberi bukti tentang penganiayaan mereka saat di tahanan. Sementara persidangan pada tanggal 23 April dijadwalkan untuk mendatangkan dua saksi dari pihak polisi, namun dengan ketidakhadiran mereka, Jaksa Matulesi memanggil mantan tahanan politik Jon Nuntian, dan Jamal Omrik Manitori, yang saat ini diproses hukum untuk kasus Kamp TPN di Serui, sebagai saksi dalam sidang Edison Kendi dan Yan Piet Maniamboi. Sumber HAM setempat melaporkan bahwa Jamal Manitori telah menolak pemanggilan itu dan menampik untuk bersumpah untuk bersaksi. Upaya untuk mendapatkan tahanan politik untuk bersaksi terhadap satu sama lain sering dilaporkan di Papua. Dalam kasus demonstrasi Anti-Freeport di Abepura pada tahun 2006, polisi menyiksa para tahanan untuk memaksa mereka bersaksi satu sama lain apabila kurang mendapatkan saksi.

Keduanya Edison Kendi dan Yan Piet Maniamboi dilaporkan mengalami pemukulan saat penangkapan mereka dan tidak diberi akses makanan dalam penahanan. Kendi telah pernah bersaksi tentang penyiksaannya dan Maniamboi menderita dalam tahanan di kantor polisi Yapen dan di penjara Serui di mana mereka dipukuli secara parah dengan batang kayu dan tidak diberi akses perawatan medis untuk luka yang mereka derita. Kendi dilaporkan telah menyatakan bahwa permohonan yang telah diajukan berulang-ulang untuk pengobatan di luar penjara ditolak oleh Matulesi, sementara Berita Papua Barat melaporkan bahwa Matulesi juga diduga mencegah Kendi untuk menghadiri pemakaman ayahnya, hak dasar yang secara rutin diberikan kepada para tahanan Indonesia lain.

Pekerja HAM setempat melaporkan bahwa Edison Kendi belum diberikan ijin untuk mengunjungi istrinya yang menderita sakit HB dan anaknya yang sakit malaria. Menurut sebuah laporan baru yang diterbitkan oleh TAPOL, para istri dan anak-anak tahanan politik di Papua sering mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, dan menghadapi kesulitan ekonomi saat pencari utama nafkah berada di balik jeruji.

Kasus makar dan bahan peledak Timika

Persidangan enam aktivis KNPB yang dituduh memiliki bahan peledak dilanjutkan pada tanggal 16 April 2013. Jaksa Penuntut Umum, Andita Rizkianto menuntut hukuman satu tahun penjara (dikurangi masa penahanan) untuk Steven Itlay, Romario Yatipai, Paulus Marsyom, Jack Womsiwor, Alfret Marsyom dan Yantho Awerkion. Sementara Jaksa Penuntut Umum sebelumnya telah menyatakan Itlay, Yatipai, Marsyom, Womsiwor dan Marsyom didakwa dengan UU Darurat No 12/1951. Tim pembela hukum telah melaporkan bahwa selama persidangan Rizkianto sebaliknya telah berpendapat untuk kelima aktivis untuk didakwa dengan Pasal 106 untuk makar, yang membawa hukuman penjara seumur hidup atau pidana maksimal 20 tahun. Pengacara mereka juga menyatakan bahwa Yantho Awerkion juga telah didakwa dengan Pasal 106, di samping UU Darurat No 12/1951 karena memiliki bahan peledak.

Dalam mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan, Jaksa menyatakan bahwa tindakan dari enam aktivis berpotensi mengganggu stabilitas negara tetapi bahwa mereka juga hanya berpartisipasi dalam demonstrasi damai di bawah perintah dari pimpinan KNPB. Para penasehat hukum menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang telah disajikan tidak menunjukkan makar dan bahwa kegiatan para aktivis adalah tindakan sah yang dilindungi oleh hukum. Gustaf Kawer, pengacara para aktivis, juga menyatakan bahwa selama persidangan tidak ada saksi mata mengkonfirmasikan kepemilikan Yantho Awerkion atas bahan peledak, sebagaimana dinyatakan dalam tuntutan oleh jaksa, tapi bahwa polisi telah memaksa Awerkion untuk mengakui kepemilikan tersebut. Kawer menambahkan bahwa bahan peledak muncul setelah penangkapan mereka ketika mereka berada di tahanan di kantor polisi Mimika, dan ini kemudian digunakan sebagai bukti untuk menuntut mereka. Selain itu, ia menyatakan bahwa enam terdakwa harus segera dibebaskan karena tidak ada bukti yang membuktikan kesalahan mereka.

Ivonia Tetjuari, seorang pengacara lain untuk para aktivis, berpendapat bahwa dakwaan terhadap kelima aktivis (kecuali Yantho Awerkion) yang beralih dari kepemelikan senjata tajam kepada makar, yang membawa hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 tahun, adalah aneh. Tim pembela telah mengajukan banding pada tanggal 30 April, dengan permintaan keenamnya dibebaskan karena kurangnya bukti. Sidang berikutnya telah dijadwalkan untuk Mei 7, di mana jaksa akan menanggapi banding yang diajukan oleh pembela. Dari tahanan mereka di penjara Timika, keenam aktivis telah menyerukan dukungan internasional dan advokasi untuk kasus mereka.

Sidang berlanjut untuk kasus aminisi Abepura

Pada tanggal 16 April, persidangan untuk enam aktivis KNPB yang ditangkap pada 30 Oktober 2012 dalam kasus amunisi Abepura berlanjut di pengadilan negara Abepura. Denny Imanuel Hisage, Anike Kogoya (perempuan), Jhon Pekey, Rendy Wetapo, Jimmy Wea dan Oliken Giay didakwa dengan kepemilikan amunisi di bawah UU Darurat No 12/1951 dan Pasal 56 KUHP. Keenam aktivis diduga ditangkap di sebuah rumah sewa yang berisi amunisi. Para aktivis didampingi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Papua.

Semasa persidangan, Bripka Yahones Rumainus dipanggil untuk bersaksi dan ditanyai mengenai penangkapan enam aktivis. Deskripsi Rumainus dilaporkan tidak cocok dengan informasi yang diberikan dalam laporan penyelidikan polisi. Dia menyatakan bahwa ia sendiri tidak pernah melihat amunisi diambil dari rumah sewa di mana enam aktivis ditangkap dan bahwa dia hanya menerima informasi tentang kepemilikan amunisi dari foto dan apa yang didengar dari polisi. Denny Hisage memberitahu sumber media setempat bahwa dia dan lima aktivis lainnya tidak betermu dengan Tumainus pada saat penangkapan mereka dan menambahkan bahwa Polri tidak memiliki surat perintah penangkapan mereka dan memukuli mereka secara parah saat penangkapan itu.

Kasus Demonstrasi dan pengibaran bendera 1 Mei 2012

Peneliti HAM setempat telah melaporkan bahwa banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Jayapura atas nama Darius Kogoya dan Timur Wakerkwa, telah ditolak. Keduanya didakwa melakukan makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora pada demonstrasi pada tanggal 1 Mei 2012 yang meminta perlindungan HAM dan masing-masing dihukum dengan tiga dan dua setengah  tahun penjara. Pengacara mereka belum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Sidang kasus penyiksaan di Depapre bermulai untuk Matan Klembiap

Kedua orang yang ditangkap pada 15 Februari 2013 dikatakan punya hubungan dengan aktivis pro-kemerdekaan Terianus Satto dan Sebby Sambom, dan masih ditahan, menerima pendampingan hukum dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) atas permintaan dari keluarga mereka. Matan Klembiap dan Daniel Gobay didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No 12/1951 karena pemilikian senjata tajam. Ketujuh orang yang ditangkap diduga mengalami penyiksaan, intimidasi dan perlakuan yang merendahkan martabat selama penahanan mereka di Polres Jayapura. Cory Silpa, pengacara ALDP yang mendampingi keduanya, menyatakan pada 23 April bahwa Matan Klembiap telah dipindahkan ke penjara Abepura dan bahwa kasusnya telah dirujuk ke Jaksa Penuntut Umum.

Jaksa akan mengajukan banding terhadap putusan kasus kamp TPN di Serui

Seorang wakil dari Otoritas Nasional Papua Barat telah melaporkan bahwa Jamal Omrik Manitori, yang didakwa melakukan makar dalam kasus kamp latihan TPN di Serui telah dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Namun akan mengajukan banding Jaksa yang telah menuntut hukuman empat tahun penjara.

Berita

Larangan demonstrasi 1 Mei melanggar kebebasan berkespresi

Pada 25 April 2013, Kapolda Papua Tito Karnavian mengeluarkan pernyataan yang didukung oleh Gubernur Papua baru Lukas Enembe, melarang demonstrasi dalam rangka memperingati aneksasi Papua pada tanggal 1 Mei, sebuah tindakan represif yang  melanggar hak-hak dasar kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam Konstitusi Indonesia. Terdapat laporan yang belum dikonfirmasi atas penggeledahan di asrama mahasiswa pada 30 April dan penangkapan sewenang-wenang serta penahanan aktivis di Timika. Orang Papua di Balik Jeruji akan memantau setiap penangkapan terkait dengan peringatan 1 Mei, dan memberikan laporan yang komprehensif pada Update kami yang berikutnya.

Dorongan global untuk mengatasi situasi tahanan politik di Papua

Setelah peluncuran website kami, Orang Papua di Balik Jeruji telah menerima banyak pesan dukungan dan solidaritas dari aktivis hak asasi manusia di sekitar dunia. Bulan ini telah melihat peningkatan dalam dukungan publik nasional dan internasional mendorong pemerintah Indonesia untuk membebaskan tahanan politik Papua. Aktivis Marni Gilbert dan Maire Leadbeater dari West Papua Action Auckland telah menyuarakan dukungan mereka untuk Orang Papua di Balik Jeruji dan berencana untuk membuat masalah ini menjadi kampanye prioritas. Stasiun radio di Auckland, 95Bfm juga telah mewawancarai Septer Manufandu, Direktur Jaringan Masyarakat Adat Papua, mengenai situasi para tahanan politik di Papua dan menyoroti hukuman berat diberikan kepada mereka yang ditahan hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora. Pacific Media Watch telah menerbitkan sebuah wawancara mendalam dengan Paul Mambrasar menyusul peluncuran situs Orang Papua di Balik Jeruji. TAPOL juga telah merilis laporan baru, yang memberikan analisis situasi tahanan politik Papua, serta keluarga dan pengacara mereka, menampilkan wawancara dengan dan cerita dari orang-orang yang telah dipengaruhi karena penangkapan sewenang-wenang dan pelanggaran yang sedang berlangsung di Papua.

Kampanye baru “Bebaskan Tapol Papua Barat” yang dipimpin oleh mantan tapol Herman Wainggai, yang saat ini berbasis di Washington DC, bertingkat dalam momentum. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu Papua Barat dan memperoleh dukungan bagi pembebasan para tahanan politik. Nasional Papua Solidaritas – NAPAS – sebuah koalisi kelompok HAM dari Papua dan Indonesia, juga menyoroti nasib tahanan politik di Papua dalam workshop dan konferensi perdana mereka (lihat di bawah).

Lokakarya dan konferensi NAPAS menyoroti nasib tahanan politik dan keadaan kebebasan berekspresi di Papua

Nasional Papua Solidaritas (NAPAS) menyelenggarakan lokakarya dan konferensi pada tanggal 22-23 Maret, yang diadakan di Wahid Institute di Jakarta dan didukung oleh sekitar 30 organisasi dan individu dari Indonesia dan Papua termasuk Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), Forum Kerja Sama (FOKER) LSM Papua, KontraS, serta Budi Hernawan, Socratez Sofyan Yoman dan lain-lain.

Aktivis hak asasi manusia berbicara pada acara tersebut, menyoroti  tantangan HAM yang banyak yang dihadapi Papua. Herman Katmo, seorang aktivis dari Gerakan Demokrasi untuk Papua berbicara tentang penyusutan ruang demokrasi di Papua dan peningkatan tindakan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Aktivis Usman Hamid menyoroti fakta bahwa tidak ada dasar hukum untuk penahanan tahanan politik dan bahwa amnesti atau pembebasan tahanan politik dijamin dalam Pasal 14 UUD 1945. Ia membahas bahwa sejarah Indonesia di mana amnesti presiden sudah diberikan menunjukkan bahwa bagi pemerintahan SBY tidak ada alasan untuk tidak membebaskan para tahanan politik yang ditahan karena mengekspresikan pandangan-pandangan politik mereka secara damai. Sylvana Yolanda dari Komnas Perempuan berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan di Papua dan membahas bahwa perlu ada perubahan dalam perspektif dan perilaku terhadap masalah di Papua, stigmatisasi aktivis Papua sebagai ‘separatis’ dan ‘makar,’ serta kebutuhan Negara dan masyarakat untuk melakukan dialog yang sejati dan tulus dalam bingkai budaya adat dan tradisi Papua.

Laporan lengkap dari konferensi dapat dibaca secara online. Konferensi ini menghasilkan sepuluh tujuan program yang membentuk mandat NAPAS, termasuk jaminan hak atas kebebasan berekspresi seperti tercantum dalam Konstitusi, mengadili pelaku pelanggaran HAM melalui mekanisme hukum nasional dan internasional dan pembebasan tanpa syarat politik tahanan di Papua sebagai salah satu fondasi untuk membangun dialog dan kepercayaan rakyat Papua.

‘Papua – Pulau Penjara’ opini yang menggambarkan situasi tahanan politik Papua

Seorang kontributor Orang Papua di Balik Jeruji telah menerbitkan sebuah laporan analisis berjudul “Papua – Pulau Penjara,” berfokus pada masalah mantan tahanan politik dan tahanan politik yang sekarang masih ditahan. Diantara beberapa masalah yang dibahas, laporan tersebut menganalisis yang masih berlanjut terhadap mantan tahanan politik, seperti Buchtar Tabuni dan Yusak Pakage, kurangnya akses pelayanan kesehatan yang tepat seperti yang dilihat dengan kasus arsenal senjata Wamena, situasi di Wamena, di mana sangat sulit memperoleh informasi yang akurat sangat sulit, dan penangkapan mengikuti pengibaran bendera bintang Kejora.

Para tahanan politik Edison Waromi dan Selpius Bobii mempublikasikan artikel sebelum Peringatan 1 Mei

Tahanan politik Edison Waromi, pengacara dan Presiden Eksekutif Otoritas Nasional Papua Barat telah menerbitkan sebuah artikel sebelum Peringatan 1 Mei yang menandai 50 tahun aneksasi Papua Barat, menyerukan untuk persatuan di antara orang Papua. Dia menyatakan bahwa deklarasi Federasi Republik Papua Barat dalam Kongres Papua Ketiga pada tanggal 19 Oktober 2011, yang menyebabkan penangkapannya bersama Forkorus Yaboisembut, Agustus Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Gat Wenda serta Selpius Bobii, memberi orang Papua posisi tawar yang diperlukan untuk diterima sebagai anggota Grup Pelopor Melanesia (Melanesia Spearhead Group, MSG). Menurutnya, hal ini akan memberikan Papua Barat akses kepada mekanisme regional Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang akan memberikan cara untuk membawa kasus Papua ke PBB. Selpius Bobii juga telah menerbitkan sebuah artikel memperingati tanggal 1 Mei, di mana ia meneliti sejarah, masalah hukum dan politik yang memutar aneksasi Indonesia atas Papua. Dia membahas diskriminasi dan penindasan yang dihadapi oleh rakyat Papua, dan menyerukan dukungan dan solidaritas internasional serta dialog damai yang akan mengakibatkan kemerdekaan Papua.

Dari penjara Abepura, Dominikus Surabut berbicara mengenai kondisi penjara yang tidak dapat diterima dan kebutuhan dasar hak-hak politik

Para tahanan politik, pembuat film dan penulis Dominikus Surabut berbicara dalam sebuah video pendek yang diproduksi oleh Papuan Voices Jayapura dan diterbitkan oleh Engage Media. Surabut menggambarkan kondisi akses perawatan medis yang tidak cukup yang dihadapi oleh para tahanan politik di penjara Abepura, dan menyoroti tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban ini. Dia juga berbicara tentang kebutuhan dasar bagi adanya hak-hak politik, mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pada bulan Oktober 2011, Surabut, bersama Forkorus Yaboisembut, Edison Waromi, August Kraar, Gat Wenda dan Selpius Bobii ditangkap karena keterlibatan mereka dengan Kongres Ketiga Rakyat Papua, dihukum melakukan makar dan masih berada dalam penahanan di penjara Abepura.

17 orang ditangkap di Maluku karena mengibarkan bendera Perancis dan penolakan mantan bendera GAM di Aceh menunjukkan dengan jelas hukum Indonesia terhadap separatisme

Pada tanggal 28 Maret 2013, 17 buruh tambang ditangkap di Pulau Buru, Ambon, Maluku, ketika polisi salah mengidentifikasi bendera Prancis yang diangkat oleh salah seorang dari mereka dalam mendukung tim nasional bola sepak Perancis sebagai bendera Republik Maluku Selatan (RMS), sebuah kelompok separatis yang terkenal. Para penambang ditahan selama satu malam dan dibebaskan hari berikutnya. Dalam perkembangan terpisah berkaitan dengan hukum Indonesia yang melarang bendera dan simbol organisasi yang tidak sah atau gerakan separatis,  pemerintah Indonesia telah menuntut pembatalan peraturan yang disahkan oleh badan legislatif Aceh yang menyatakan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah bendera dan lambang provinsi yang resmi. Sementara dialog antara kedua belah pihak berlanjut, batas tanggal 16 April untuk pembatalan peraturan tersebut diperpanjang selama 60 hari. Di bawah pemerintahan Megawati, terjadi situasi yang sama pada tahun 2000 di Papua, yang menyebabkan bentrokan kekerasan semasa penurunan bendera secara paksa di Wamena, sebuah peristiwa secara luas disebut sebagai ‘Wamena Berdarah.’ Sengketa sebelumnya karena simbol-simbol dan bendera separatis menyebabkan dugaan terjadinya penyiksaan terhadap 12 orang di Maluku yang ditemukan dalam kepemilikan bendera RMS pada tahun 2010 dan dugaan penyiksaan terhadap 22 aktivis pada tahun 2007 karena mengibarkan bendera RMS.

Di Papua sekurangnya tujuh orang sedang dalam tahanan karena mengibarkan atau bawa bendera Bintang Kejora. Filep Karma adalah korban paling terkenal mendapatkan hukuman represif Indonesia terhadap simbol-simbol separatis. Meki Elosak, Wiki Meage, Oskar Hilago dan Obed Kosay dijatuhi hukuman delapan tahun penjara dalam kasus pengibaran bendera Yalengga tahun 2010, sementara Darius Kogoya dan Timur Wakerkwa dijatuhi hukuman masing-masing 3 dan 2,5 tahun masing-masing dalam kasus demonstrasi 1 Mei 2012 dan pengibaran bendera di Abepura.

Informasi tentang penangkapan Sarmi seperti yang dilaporkan dalam Update Maret 2013

Dalam Update Maret, Orang Papua di Balik Jeruji melaporkan penangkapan Isak Demetouw (alias Alex Makabori) dan Daniel Norotouw dari Jayapura, dan Niko Sasomar dan Sileman Teno dari Sarmi pada tanggal 3 Maret 2013. Informasi baru dari sumber HAM setempat menunjukkan bahwa tidak cukup informasi untuk mengkonfirmasi jika mereka dapat diklasifikasikan sebagai tahanan politik – sehingga keempatnya telah diambil dari daftar tahanan politik pada bulan April 2013. Namun, karena unsur politis kasus ini, kami akan terus melaporkan kemajuan persidangan ini dan pelanggaran yang mungkin terjadi. 

Tahanan politik Papua bulan April 2013

 

Tahanan Tanggal Penahanan Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/Penjara
Yahya Bonay 27 April 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Tertunda Tahanan polres Serui
Yosia Karoba 1 April 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Penangkapan warga sipil di Paniai Tidak Tertunda Polres Tolikara
Nonggop Tabuni 9 Maret 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Penangkapan warga sipil di Paniai Tidak Tertunda Tidak diketahui
Delemu Enumby 9 Maret 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Penangkapan warga sipil di Paniai Tidak Tertunda Tidak diketahui
Jelek Enembe 9 Maret 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Penangkapan warga sipil di Paniai Tidak Tertunda Tidak diketahui
Boas Gombo 28 Februari 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Bendera Indonesia perbatasan dengan PNG Tidak Tertunda Abepura
Matan Klembiap 15 Februari 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/195112/1951 Dalam persidangan Afiliasi dengan Terianus Satto dan Sebby Sambom Tidak Ada Tahanan polisi, Jayapura
Daniel Gobay 15 Februari 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Afiliasi dengan Terianus Satto dan Sebby Sambom Tidak Ada Tahanan polisi, Jayapura
Alfret Marsyom 19 Oktober 2012 106, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus Bahan Peledak di Timika Kepemilikan bahan peledak Ada Timika
Jack Wansior 19 Oktober 2012 106, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus Bahan Peledak di Timika Kepemilikan bahan peledak Ada Timika
Yantho Awerkion 19 Oktober 2012 106, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus Bahan Peledak di Timika Kepemilikan bahan peledak Ada Timika
Paulus Marsyom 19 Oktober 2012 106, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus Bahan Peledak di Timika Kepemilikan bahan peledak Ada Timika
Romario Yatipai 19 Oktober 2012 106, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus Bahan Peledak di Timika Kepemilikan bahan peledak Ada Timika
Stephen Itlay 19 Oktober 2012 106, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus Bahan Peledak di Timika Kepemilikan bahan peledak Ada Timika
Yan Piet Maniamboy 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ada Serui
Edison Kendi 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ada Serui
Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera Tidak Tidak Abepura
Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera Tidak Tidak Abepura
Paulus Alua 21 Oktober 2012 UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus bahan peledak di Biak Kepemilikan bahan peledak Ada Biak
Bastian Mansoben 21 Oktober 2012 UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus bahan peledak di Biak Kepemilikan bahan peledak Tidak Biak
Forkorus Yaboisembut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ada Abepura
Edison Waromi 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ada Abepura
Dominikus Surabut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ada Abepura
August Kraar 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ada Abepura
Selphius Bobii 20 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ada Abepura
Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 years Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ada Wamena
Oskar Hilago 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ada Wamena
Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ada Wamena
Obed Kosay 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ada Wamena
Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
Dipenus Wenda 28 Maret 2004 106 14 tahun Pemboikotan Pilkada Bokondini Tidak pasti Tidak Wamena
George Ariks 13 Maret 2009 106 5 tahun Tidak deketahui Tidak diketahui Tidak Manokwari
Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ada Abepura
Ferdinand Pakage 16 Maret 2006 214 15 tahun Kasus Abepura tahun 2006 Ya Ada Abepura
Luis Gede 16 Maret 2006 214 15 tahun Kasus Abepura tahun 2006 Ya Ada Abepura
Jefrai Murib 12 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ada Abepura
Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ada Nabire
Kimanus Wenda 12 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ada Nabire
Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ada Biak
Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ada Biak

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek tentang tahanan politik di Papua Barat. Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Anda dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

 

Share

Oktober 2014: ‘Yotefa Berdarah’: polisi menutup mata terhadap tindakan kekerasan terhadap orang asli Papua

Ringkasan

Pada akhir bulan Oktober 2014, setidaknya terdapat 69 orang tahan politik di penjara Papua.

Setidaknya ada  46 anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditangkap di Jayapura dan Merauke bulan ini karena mengambil bagian dalam demonstrasi damai. Para pendemo menuntut pemerintah Indonesia untuk membebaskan dua wartawan Perancis yang menghadapi persidangan karena melanggar undang-undang imigrasi. Dalam apa yang bisa dianggap seperti acuan kepada RUU Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas), polisi mengklaim pada saat penangkapan massal itu bahwa KNPB adalah sebuah organisasi luar hukum karena ia tidak terdaftar dengan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dan sebab itu simbol-simbol atau atribut KNPB juga di luar hukum. Juni lalu, polisi melakukan penangkapan massal di Boven Digoel dibawah alasan yang sama. Kelompok HAM Indonesia Imparsial menantang pembungkaman demonstrasi damai di Jayapura dan Merauke, menyatakan bahwa kebebasan berekspresi di Papua adalah paling buruk di Indonesia, terutama sekali ketika penanganan demonstrasi KNPB. Tindakan kriminalisasi terhadap demonstrasi-demonstrasi damai, seringkali di bawah naungan RUU Ormas, membatasi ruang demokrasi dan menstigmatisasi kelompok masyarakat sipil Papua.

Pada tanggal 27 Oktober, dua wartawan Perancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, dibebaskan selepas 11 minggu dalam penahahan. Namun, kepala suku dari Lanny Jaya Areki Wanimbo, yang ditangkap bersama kedua wartawan itu, masih menghadapi dakwaan permufakatan jahat untuk melakukan makar. Pengacara dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menyatakan bahwa proses hukum bagi Wanimbo penuh dengan penyimpangan dan kasusnya tidak ditangani secara professional. Wanimbo menghadapi dakwaan yang berbeda dari dakwaan yang pada awalnya dia dituduh, dan bukti tidak sesuai juga digunakan untuk membangun kasus terhadap dirinya. Keputusan untuk memberikan hukuman penjara dua setengah bulan masing-masing terhadap kedua wartawan itu daripada membatalkan dakwaan terhadap mereka merupakan perkembangan negative bagi kampanye untuk membuka akses ke Papua. Seperti  di catat oleh peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono, wartawan asing menghadapi sistem yang kompleks dalam aplikasi visa ke Papua, yang membutuhkan izin dari 18 badan pemerintah yang berbeda – sebuah proses yang sangat membatasi akses jurnalistik. Belum lagi jelas jika presiden Indonesia Joko Widodo akan memenuhi  janjinya untuk membuka akses ke Papua.

Dalam update pada bulanJuli kami mengangkat keprihatinan tentang kejadian yang sekarang diketahui sebagai ‘Yotefa Berdarah,’ yang terjadi pada tanggal 2 Juli di pasar Yotefa di Abepura. Laporan awal menyatakan bahwa tiga orang Papua dibunuh berikut penyisiran polisi di tempat perjudian di pasar Yotefa. Setidaknya empat orang asli Papua dari Pegunungan Tengah disiksa dan 40 orang ditangkap menurut sebuah laporan dari Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) dari Gereja Kristen Injili (GKI). Saat penyisiran polisi di pasar Yotefa, polisi menangkapa dan menyerahkan dua orang Papua, termasuk seorang anak berumur 14 tahun, kepada sekelompok orang non-Papua yang menyiksa dan memukul mereka sementara polisi berdiri menonton, kemudian berturutan sendiri dengan penyiksaan di Rumah Sakit Polisi Bhayangkara. Sementara pemukulan polisi, penyiksaan dan pembunuhan orang asli Papua bukan fenomena yang baru, keterlibatan umum kelompok-kelompok orang immigrant untuk capaian ini adalah titik rendah tertentu. Yotefa Berdarah menantang perspektif pemerintah bahwa penyiksaan dan pembunuhan dilakukan oleh polisi yang tidak mengikut undang-undang dalam sel-sel terpencil, malah menunjukkan bahwa pelanggaran sewenang-wenang ini turut menjadi acara social di mana komunitas non-asli dapat mengambil bagian. Dinamis ini mengabadikan budaya ketakutan dan dominasi di mana orang asli Papua tetap terbuka ke risiko kekerasan umum, termasuk juga di tempat yang biasanya dianggap ‘aman’ seperti rumah sakit atau kampus universitas. Diskriminasi polisi dan penggambaran orang asli Papua, terutamanya mereka yang datang dari Pegunungan Tengah, membuat mereka lebih mudah menghadapi penyiksaan umum, kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang.

Penangkapan

Penangkapan massal di Jayapura dan Merauke saat demonstrasi untuk membebaskan wartawan asal Perancis

Pada tanggal 13 Oktober sejumlah 46 anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditangkap karena mengambial bagian dalam demonstrasi di Jayapura dan Merauke yang menuntut pembebasan dua wartawan berasal Perancis, menurut laporan dari pekerja HAM independen dan media Papua.

 Di Merauke, 29 anggota KNPB ditangkap di sekitar 06:20 waktu Papua saat mereka bersiapan untuk melakukan mars ke kantor Imigrasi di Merauke. Tidak lama selepas itu, mereka dibebaskan dari Polres Merauke. Pada waktu 08:30 pada hari yang sama, polisi Merauke dilaporkan melakukan penggeledahan di kantor Sekretariat KNPB Merauke dan menyita plakat, spanduk, beberapa terbitan dan foto-foto bendera KNPB.

Di Jayapura, 17 anggota KNPB ditahan untuk beberapa jam karena mengadakan aksi damai demonstrasi diam. Sekretaris KNPB Ones Suhaniap menyatakan bahwa polisi Jayapura tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dalam menanggapi pemberitahuan niat mereka untuk melakukan demonstrasi. Polisi sebelumnya menyatakan bahwa mereka menganggap KNPB sebagai organisasi di luar hukum karena ia tidak terdaftar dengang Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).

Pembebasan

Ketua kelompok budaya dibebaskan

Pada tanggal 23 Agustus 2014, sehari selepas penangkapannya, Abner Bastian Wanma, ketua Sanggar Budaya SARAK-Sorong, kelompok budaya Papua, dibebas dari penahanan dari Polres Raja Ampat. Menurut informasi dari Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH), Sanggar Budaya SARAK-Sorong dijadwalkan untuk mempersembahkan tarian di pembukaan ‘Sail Raja Ampat’ pada hari berikutnya, sebuah acara yang bertujuan untuk mempromosikan turisme ke Raja Ampat yang dihadiri presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Munculnya bahwa penangkapan itu merupakan langkah preempative oleh polisi untuk memastikan bahwa tarian itu tidak mengandung elemen anti-Indonesia. Penangkapan sewenang-wenang ini mengunandang penangkapan 23 orang yang melakukan tarian Cakalele di sebuah acara pada tahun 2007 di  Ambon, Maluku yang juga dihadiri oleh Yudhoyono. Bendera Benang Raja, yang merupakan simbol kemerdekaan Maluku Selatan, dikibarkan pada saat acara itu.

Pengadilan bernuansa politik dan pandangan sekilas tentang kasus-kasus

Wartawan Perancis dibebaskan; Persidangan untuk Areki Wanimbo  akan diadakan di Wamena

Pada tanggal 27 Oktober 2014, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat dibebaskan dari penahanan di Kantor Imigrasi Klas 1A Jayapura. Mereka menerima hukuman penjara dua setengah bulan karena melanggar Pasal  122 UU 6/2011 tentang Imigrasi. Pada tanggal 6 Agustus, Dandois dan Bourrat ditangkap bersama lima  orang Papua di Wamena. Areki Wanimbo, seorang kepala suku dari Lanny Jaya, masih ditahan di Polda Papua di Jayapura. Pengacara dari ALDP melaporkan bahwa persidangannya  akan diadakan di Wamena. Dia menghadapi dakwaan permufakatan jahat untuk melakukan makar di bawah Pasal 106 dan 110 KUHP.

Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan pemanggilan terhadap pengacara HAM

Pada 29 Oktober, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menandatangani persetujuan dengan organisasi-organisasi HAM Papua untuk melepaskan pemanggilan terhadap pengacara HAM Gustaf Kawer. Kelompok masyarakat sipil HAM Papua seperti Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH), Forum Kerja Oikumenes Gereja-Gereja Papua (FKOGP) dan Koalisi HAM Papua campur tangan dan berkampanye untuk PTUN menjatuhkan pemanggilan terhadap Kawer. Pengacara HAM terkemuka ini menerima panggilan pertama pada tanggal 22 Agustus dan panggilan kedua tiga hari kemudian. Ini bukan kali pertama Kawer telah menghadapi ancaman penuntutan karena pekerjaannya dalam persoalan HAM. Pada tahun 2012, dia menghadapi intimidasi dari kepolisian ketika mewakili  lima tersangka dalam kasus ‘Jayapura Lima’ yang dituduh makar.

Tahanan dalam kasus Boikot Pilpres di Pisugi mungkin  akan dipaksa untuk bersaksi terhadap satu sama lain

Pengacara dengan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) melaporkan bahwa kelima tahanan dalam kasus Boikot Pilpres di Wamena mungkin akan dibutuhkan untuk bersaksi terhadap satu sama lain. Yosep SiepIbrahim MarianMarsel MarianYance Walilo dan Yosasam Serabut masih ditahan di Polres Jayawijaya sementara mereka menunggu mulainya persidangan mereka. Mereka menghadapi penyiksaan dan perlakuan kejam dan merendahkan pada saat penangkapan dan dalam tahanan. Pada tanggal 12 Juli, mereka ditangkap bersama 13 orang lain yang sudah dibebaskan, atas dugaan mengambil bagian dalam boikot terhadap Pilpres Indonesia pada tanggal 9 Juli. Namun kelima tahanan sekarang menghadapi dakwaan di bawah Pasal 187 dan 164 KUHP untuk permufakatan jahat membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, karena diduga membuat dan mengguna bahan peledak.

Stefanus Banal menerima operasi cangkok tulang

Laporan dari Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) dari Fransiskans Papua menyatakan bahwa pada tanggal 18 Oktober, Stefanus Beanal menerima operasi cangkok tulang di Rumah Sakit  Abepura. Pada tanggal 19 Mei 2013, Beanal ditangkap di bawah tuduhan keterilibatannya dalam serangan pembakaran sebuah pos polisi di Oksibil di kabupaten Pegunungan Bintang. Pekerja HAM melaporkan bahwa Beanal tidak terlibat dalam serangan tersebut. Dia ditembak pada saat penangkapan dan diberkian operasi awal di mana pen besi dipasangkan ke dalam kakinya untuk menyetel kembali tulang kakinya yang patah. Perawatan medis yang diterima di Rumah Sakit Polisi Bhayangkara dikritis oleh penyelidik HAM sebagai tidak memadaikan. Pihak LP Abepura telah menolak membayar ongkos perawatan medisnya. Beanal dihukum penjara selama satu tahun dan tujuh bulan dibawah Pasal 170 KUHP untuk kekerasan terhadap orang atau barang.

Kasus yang menjadi perhatian

Laporan mengungkapan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penangkapan masal dalam kejadian ‘Yotefa Berdarah’

Informasi tambahan diterima mengungkapan rincian mengkhawatirkan atas kejadian yang sekarang diketahui sebagai ‘Yotefa Berdarah’ yang terjadi pada tanggal 2 Juli 2014 di sekitar pasar Yotefa di Abepura, seperti dijelaskan dalam laporan dari Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) dari Gereja Kristen Injili (GKI). Seperti dilaporkan dalam update Juli kami, sebuah bentrokan terjadi di antara pemain judi dan dua anggota Polres Jayapura di tempat pejudian di pasar Yotefa yang mengakibatkan dalam kematian seorang polisi. Dalam keributan itu, sebuah senjata api  kepunyaan anggota polisi yang dibunuh itu dicuti oleh seorang penjudi yang kemudian melarikan diri. Laporan ini mengungkapkan bahwa selain dari tiga orang yang sebelumnya sudah dilaporkan dibunuh, empat orang juga disiksa dan setidaknya 40 orang ditangkap.

Dua jam selepas bentrokan tersebut terjadi, polisi Jayapura melakukan penyisiran di daerah itu. Laporan tersebut menyatakan bahwa menurut seorang juru bicara polisi, tujuan penyisiran itu adalah untuk memperoleh kembali senjata api yang dicuri itu. Menurut seorang saksi, polisi melepaskan tiga tembakan peringatan saat tiba di pasar Yotefa. Dua petani, Meki Pahabol yang berumur 14 tahun dan Abis Kabak yang berumur 20 tahun sedang menjual hasil kebunnya saat mereka mendengar penembakan tersebut. Karena panic, mereka mencoba untuk meninggal tempat itu dengan menaik bus umum yang menuju ke Koya, sebuah kota lain. Polisi dilaporkan menembak ke arah bus tersebut, membuat Pahabol keluar dari mobil itu dalam keadaan panic. Dia kemudian dikejar oleh sekelompok warga immigran non-Papua yang memukulnya dengan martelu dan balok. Pahabol juga ditikam dengan senjata tajam, oleh seorang warga immigran. Abis Kabak ditarik keluar bus itu secara paksa oleh polisi Jayapura yang kemudian menyerahkannya kepada sekolompok immigran non-Papua. Dia dikejar dan dipukul dengan senjata tajam, martelu dan balok oleh kelompok itu.

Kedua mereka dibawa ke Rumah Sakit Polisi Bhayangkara di mana mereka menghadapi penyiksaan lebih lanjut dalam tahanan polisi. Laporan KPKC juga menyatakan bahwa kedua mereka dibawa ke rumah sakit bersama dengan delapan orang  lain yang terluka, tetapi belum jelas apakah mereka juga menghadapi penyiksaan atau perlakuan kejam. Seorang polisi diduga memukul Kabak berulang kali di kepalanya dengan batang besi, mengakibatkan luka yang membutuhkan jahitan. Pahabol dan Kabak juga dipaksa untuk menghadapi dinding sementara mereka ditendang berulang kali oleh anggota polisi yang memakai sepatu laras.

Selepas menerima perawatan medis di Rumah Sakit Bhayangkara, mereka dibawa ke pos polisi local. Laporan KPKC itu menyatakan bahwa saat mereka tiba di pos polisi itu, 17 orang lain sudah ditahan selepas ditangkap berkaitan dengan bentrokan di pasar Yotefa itu. Lima hari kemudian, pada tanggal 7 Juli, Pahabol dibebas tanpa dakwaan. Ia dipercaya bahwa 17 orang lain yang ditahan itu juga dibebaskan, tetapi tidak jelas kapan tepatnya. Pada tanggal 8 Juli, Kabak dibawa ke Rumah Saki Polisi Bhayangkara untuk menerima perawatan medis lebih lanjut dan dibebaskan dari penahanan pada 11 Juli. Akibat penyiksaan yang dia menghadapi, Kabak membutuhkan operasi di rahang bawahnya yang patah. Dia juga tidak bisa mengunyah makanan keras selama empat minggu. Dia dilaporkan ditolak tamu saat di rumah sakit.

Pada tanggal 3 Juli, satu hari selepas kejadian di tempat penjudian itu, Urbanus Pahabol dan Asman Pahabol ditangkap saat penyisiran di Kilo 9 di Koya. Kedua orang itu diancam di bawah tondongan senjata dan mata mereka tertutup sebelum mereka dibawa keluar ke truk polisi. Polisi berulang kali mengintimidasi kedua orang itu dengan ancaman mati . Mereka diantar dengan mobil ke tempat yang tidak dikenal dimana mereka dibawa keluar dari truk tersebut dan dipukul dan ditendang berulang kali oleh beberapa anggota polisi. Mereka disoalkan tentang senjata api yang hilang itu dan pembunuhan anggota polisi di tempat penjudian di pasar Yotefa itu. Asman Pahabol dipukul di siku dan pergelangan tangan sampai dia terkencing karena sakit yang dia mengalami. Urbanus Pahabol ditendang dan ditikam dengan sangkur di kakinya. Mata kirinya dan punggungnya dipukul dengan balok dan dia ditendang di rusuk sebanyak empat kali oleh serorang anggota yang memakai sepatu laras. Dia juga dipukul di kepalanya dengan martelu yang diambil dari rumahnya sendiri. Urbanus Pahabol juga dipaksa merendam dalam sebuah kolam mengandung air dingin selama kurang lebih lima jam. Seterusnya dia ditarik keluar dan diperintahkan jalan lurus ke depan.

Setelah menghadapi penyiksaan itu, polisi membawa kedua orang tersebut ke pos polisi lokal. Dalam perjalanan ke pos polisi tersebut, mereka mengdapat penyiksaan lebih banyak dari polisi dengan menggunakan kabel listrik untuk memukul mereka. Luka-luka bekas pemukulan dan penyiksaan oleh polisi  terhadap Urbanus Pahabol  yang sangat parah, sehingga polisi terpaksa membawanya ke Rumah Sakit Polisi Bhayangkara. Dia menerima 12 jahitan di mukanya. Setelah itu polisi membawa  Urbanus Pahabol dan Asman Pahabol dibawa ke Polda Papua untuk ditahan. Menurut kesaksiaan dari Urbanus Pahabol, polisi mulai untuk menginterogasi mereka setelah ditahan selama  dua malam, walaupun mereka berdua pada saat itu tidak mempunyai perwakilan hukum. Mereka disoal tentang penjudian di pasar Yotefa dan jika mereka mengikut aksi pro-kemerdekaan. Ketika Asman Pahabol menjawab bahwa dia tidak mengikuti  aksi pro-kemerdekaan, namun dia  dipaksa jalan jongkok sementara polisi memukul dan menendangnya. Dia juga dipukul dan ditikam dengan pisau saat interogasi, dilaporkan untuk mendapat pengakuan bahwa dia mendukung aktivitas pro-kemerdekaan. Pada tanggal 7 Juli 2014, mereka berdua dibebaskan. Ia melaporkan  bahwa terdapat 19 orang lain yang juga ditahan di Polda Papua berkaitan dengan kejadian yang sama. Mereka juga dibebas pada hari yang sama dan tidak diberikan barang-barang  yang disita dari mereka, termasuk uang RP. 1,400,000, tiga parang dipakai untuk berkebun, serta sebuah laptop dan dua HP.

Seperti dilaporkan dalam update Juli kami, ada tiga orang asli Papua dari Pegunungan Tengah, Sabuse Kabak, Yenias Wanimbo dan Demi Kepno yang tidak terlibat dalam kejadian di tempat perjudian itu dibunuh. Laporan dari KPKC itu menyatakan bahwa menurut kesaksiaan dari seorang teman Sabuse Kabak, pada hari kejadiaan itu, Kabak sedang dalam perjalanan ke Kilo 9 di Koya saat dia ditikam di bagian dada di depan kantor cabang Bank Papua dekat pasar Yotefa. Yenias Wanimbo dipercaya dibunuh saat penysiran polisi di pasar Yotefa berikut bentrokan yang terjadi di tempat perjudian itu. Wanimbo dipukul sampai mati kira-kira sekitar 100 meter dari pasar Yotefa. Tidak jelas siapa pelaku kekerasan terhadap Kabak dan Wanimbo. Menurut kesaksiaan dari pacar Demy Kepno, Kepno dipaksa masuk ke dalam mobil berwarna abu-abu oleh beberapa orang pendatang saat penyisiran polisi sedang terjadi. Kemudian, mayatnya dibawa ke Rumah Sakit Polisi Bhayankara di mana ia ditemukan dengan luka tembak di bagian perut dan punggung, luka sayat di bahu kanan dan luka di bagian muka yang diakibatkan oleh benda tumpul.

Pada akhir bulan Oktober 2014, polisi belum lagi melakukan penyelidikan ke dalam kejadian tersebut.

Berita

Catatan tentang pelepasan empat tahanan dari daftar tahanan politik

Dalam update bulan ini ada empat orang yang dibebaskan antara lain; Apolos Sewa, Yohanis Goram Gaman, Amandus Mirino dan Samuel Klasjok dari daftar tahanan politik. Orang Papua di balik Jeruji belum menerima informasi baru tentang keempat orang  tersebut untuk lebih dari satu tahun. Sedangkan mereka masih secara teknis menghadapi dakwaan permufukatan jahat untuk melakukan makar, langkah-langkah untuk mempersidangkan mereka belum jelas sejauh ini, Karena mereka masih menghadapi resiko ditangkap kembali dan menghadapi persidangan, kami akan terus melaporkan tentang kasus mereka jika terdapat perkembangan baru.

Tahanan politik Papua bulan Oktober 2014

  Tahanan politik Ditangkap Dakwaan Vonis Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/tempat ditahan
1 Philemon Yarem 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
2 Loserek Loho 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
3 Sahayu Loho 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
4 Enos Hisage 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
5 Herman Siep 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
6 Nius Alom 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
7 Jhon Lakopa Pigai 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
8 Gad Mabel 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
9 Anton Gobay 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
10 Yos Watei 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
11 Matius Yaung 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
12 Alpi Pahabol 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
13 Areki Wanimbo 6 Agustus 2014 Pasal 106, 110 Dibawah Penyidikan Penangkapan wartawan Perancis di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polda Papua
14 Pendeta Ruten Wakerkwa 1 Agustus 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Penangkapan penyisiran militer Lanny Jaya 2014 Tidak jelas Tidak jelas Polres Lanny Jaya
15 Sudi Wetipo 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
16 Elius Elosak 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
17 Domi Wetipo 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
18 Agus Doga 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
19 Yosep Siep 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
20 Ibrahim Marian 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
21 Marsel Marian 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
22 Yance Walilo 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena TIdak jelas TIdak jelas Polres Jayawijaya
23 Yosasam Serabut 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Penyidikan polisi tertunda Boikot  Pilpres 2014 di Wamena TIdak jelas TIdak jelas Polres Jayawijaya
24 Alapia Yalak 4 Juni 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Ya Ya Polda Papua
25 Ferdinandus Blagaize 24 May 2014 Unknown Police investigation pending Merauke KNPB arrests No Uncertain Okaba District police station
26 Selestinus Blagaize 24 Mei 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan KNPB Merauke Tidak Belum jelas Polsek Okaba
27 Lendeng Omu 21 Mei 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Belum jelas Ya Polres Yahukimo
28 Jemi Yermias Kapanai 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
29 Septinus Wonawoai 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
30 Rudi Otis Barangkea 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
31 Kornelius Woniana 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
32 Peneas Reri 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
33 Salmon Windesi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
34 Obeth Kayoi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
35 Yenite Morib 26 Januari 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan di gereja Dondobaga Ya Ya Polres Puncak Jaya
36 Tiragud Enumby 26 Januari 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan di gereja Dondobaga Ya Ya Polres Puncak Jaya
37 Deber Enumby 17 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
38 Soleman Fonataba 13 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
39 Edison Werimon 19 Oktober 2013 106, 110 2 Tahun Penjara Demo memperingati Konggres Papua Ketiga di Biak Tidak Ya Biak
40 Piethein Manggaprouw 17 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
41 Stefanus Banal 19 Mei 2013 170 )1 1 tahun and 7 bulan Penyisiran polisi di Pegunungan Bintang 2013 Ya Ya Abepura
42 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 7 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
43 Yoseph Arwakon 1 Mei 2013 106, 110,UU Darurat 12/1951 2 tahun and 6 bulan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
44 Markus Sawias 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 2 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
45 George Syors Simyapen 1 Mei2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 4.5 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
46 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 2 tahun and 6 bulan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
47 Hengky Mangamis 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 year and 6 months Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
48 Yordan Magablo 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
49 Obaja Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
50 Antonius Saruf 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
51 Obeth Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
52 Klemens Kodimko 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
53 Isak Klaibin 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 3 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
54 Isak Demetouw (alias Alex Makabori) 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
55 Niko Sasomar 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
56 Sileman Teno 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
57 Jefri Wandikbo 7 Juni 2012 340, 56, Law 8/1981 8 tahun Aktivis KNPB disiksa di Jayapura Ya Ya Abepura
58 Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 2 tahun and 6 bulan Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
59 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
60 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
61 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
62 George Ariks 13 Maret 2009 106 5 tahun Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak Manokwari
63 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ya Abepura
64 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
65 Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 19 tahun dan 10 bulan Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
66 Kimanus Wenda 12 April 2003 106 19 tahun dan 10 bulan Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
67 Jefrai Murib 12 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Abepura
68 Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak
69 Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam kerangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah sebuah upaya tentang tahanan politik di Papua Barat. Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Anda dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

Share

Agustus / September 2015: Penembakan di Timika serupa dengan kejadian Paniai Berdarah

Ringkasan

Pada akhir bulan Agustus 2015, terdapat sedikitnya 45 tahanan politik di Papua. Pada akhir bulan September, jumlah tahanan politik tetap sama.

Di Timika sendiri, terdapat tiga penembakan yang berbeda terhadap pemuda asli Papua yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia. Pada 28 Agustus, Imanuel Marimau dan Yulianus Okare, yang sama-sama berumur 23 tahun, ditembak mati oleh dua tentara dari Komando Distrik Militer 1710 (Kodim 1710) pada saat ritual tradisional untuk menghormati lelaki lokal yang menerima gelar doctor. Setidaknya lima orang lainnya mengalami luka-luka. Namun pada tanggal 28 September, dua penembakan yang berbeda terjadi. Yang pertama adalah penembakan tiga pemuda oleh Polsek Mimika Baru, yang mengahsilkan kematian dari Kalep Bagau yang berumur 18 tahun dan melukai dua orang lain. Sementara motif di belakang penembakan tetap tidak jelas, menurut saksi mata penembakan dilaporkan dilakukan terhadap perusakan rumah. Satu jam setelah kejadian tersebut, Niko Bedes, berumur 21, ditembak dan mengalami luka serius oleh dua tentara setelah sepeda motor yang ia tumpangi menabrak mobil mereka.

Di Jayapura, tiga pemuda diculik dan disiksa oleh petugas polisi Poresta Jayapura karena dugaan pencurian sepeda motor. Sementara kejadian yang berbeda di Intan Jaya, para pelajar disiksa secara brutal oleh aparat keamanan, termasuk Natalis Tabuni, Bupati Intan Jaya dan petugas Brigadir Mobil (Brimob) di bawah perintahnya.

Laporan-laporan kekerasan negara tersebut menunjukkan pola meluas dan terus-menerus perlakuan diskrimatif rasial terhadap orang asli Papua. Kemauan untuk melakukan kekerasan tidak hanya menunjukkan rendah standar profesionalisme dan disiplin dalam pasukan keamanan, tetapi juga menunjukkan pemahaman yang lemah atas kewajiban HAM yang dasar. Keadaan peningkatan kekerasan dan kebrutalan polisi dan militer meningkatkan ketegangan dan ketidakpercayaan kepada aparat negara yang sudah ada di antara orang asli Papua.

Penangkapan pelajar di Intan Jaya dan Sorong yang memprotesi lemahnya system pendidikan di Papua menunjukkan bahwa demonstrasi untuk isu-isu non politik juga tidak dibolehkan. Tidak adanya toleransi terhadap perbedaan pendapat mempertanyakan dukungan Indonesia untuk kebebasan berbicara di Papua.

Penangkapan

13 pelajar ditangkap di Sorong karena berdemonstrasi terhadap lemahnya sistem pendidikan

Pada 13 Agustus, 13 pelajar ditangkap oleh Kepolisian Daerah Sorong dalam perjalanan mereka menuju demonstrasi menuntut pengunduran diri Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan karena lemahnya sistem pendidikan. Amad Rumalean, Kepala Kasat Reskrim Sorong, memberitahu Jubi bahwa demonstrasi dibubarkan secara paksa karena para demonstran tidak mempunyai surat izin dari polisi, sehingga membuat aksi ‘illegal’. Diyakini bahwa 13 demonstran telah dibebaskan tanpa tuduhan.

Ketua KNPB Merauke ditangkap saat penyisiran di sekretariat

Pada 8 Agustus 2015, sekitar pukul 11:00 WITA, Gento Emerikus, ketua KNPB dari Merauke ditangkap oleh polisi pada saat peyisiran di sekretariat KNPB yang dipimpin oleh Marthin Koagouw, Kepala Bagian Operasional Kepolisian Merauke. Menurut saksi mata yang diwawancarai Jubi, polisi dilaporkan menyebutkan peristiwa direncakan yang memboikot Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus dan memaksa mereka untuk tidak mengadakan perkumpulan apapun. Anggota KNPB membantah perencanaan pemboikotan. Diyakini bahwa Emerikus telah dibebaskan.

Dua aktivis KNPB ditangkap dan disiksa karena menyalurkan selebaran

Pada 16 September, dua anggota KNPB, Hariel Luluk dan Arpinus Magayong telah ditangkap oleh kepolisian Yahukimo karena menyalurkan selebaran mengumumkan hasil pertemuan Pacific Islands Forum (PIF) di Papua Nugini. Mereka disiksa di penahanan di Kantor Polisi Daerah Yahukimo dan dibebaskan tanpa tuduhan beberapa jam kemudian.

Pembebasan

Yoseph Awakon dibebaskan setelah keringanan hukuman

Pada 17 Agustus, Yoseph Arwakon, salah satu dari lima tahanan yang tersisa dalam kasus Biak 1 Mei telah dibebaskan setelah menerima remisi. Remisi biasanya diberikan kepada tahanan pada saat Hari Kemerdekaan Indonesia. Empat tahanan yang tersisa, Oktovianus Warnares, Markus Sawias, George Syors Simyapen dan Jantje Wamaer sedang menjalani hukuman di penjara Biak.

Tiga aktivis di Fakfak dibebaskan

Informasi dari aktivis KNPB di Fakfak melaporkan bahwa tiga laki-laki yang ditangkap di Fakfak pada 3 Juli 2015 karena mengikuti demonstrasi mendukung ULMWP telah dibebaskan. Apnel Hegemur, Roy Marten Mury dan Daniel Hegemur ditahan selama beberapa jam sebelum dibebaskan tanpa dakwaan.

Ketua mahasiswa UNIPA dibebaskan

Informasi dari pengacara – pengacara dari Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) melaporkan bahwa Domingus Babika, mahasiswa Universitas Papua (UNIPA) aktif dalam memimpin demonstrasi di Manokwari telah dibebaskan tidak lama setelah penangkapannya pada 1 Mei 2015. Babika ditangkap karena perannya dalam mempin demonstrasi di Manokwari memperingati ulang tahun ke-52 penyerahan administratif Papua kepada Indonesia.

Pengadilan politik dan ringkasan kasus

Kasus korban penyiksaan Lanny Jaya dihukum tiga tahun penjara; Kelpis Wanda kabur dari penjara

Pengacara dari AIDP melaporkan bahwa pada 20 Agustus, Kamori Murib dan Kelpis Wenda telah dihukum tiga tahun penjara untuk kepemilikan senjata api di bawah dakwaan UU Darurat 12/1951. Penuntut Umum sebelumnya meminta hukuman empat tahun untuk kedua laki-laki tersebut. Pada 23 Agustus, Kelpis Wenda dilaporkan kabur dari penjara Wamena saat pelarian diri massal.

Kedua laki-laki tersebut ditangkap dan disiksa terkait kepemilikan pistol. Mereka berniat untuk menyerahkan pistol yang dimiliki saudara mereka yang telah meninggal kepada pihak berwenang Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD) di Kabupaten Puncak Jaya.

Demonstran perkebunan kelapa sawit dijatuhi hukuman

Pada 25 Agustus, Obed Korie dihukum lima bulan penjara sementara Odie Aitago dihukum tujuh bulan. Penuntut Katrina Dimara sebelumnya menuntut hukuman penjara satu tahun untuk Obed Korie dan delapan bulan untuk Odie Aitago. Pada 15 Mei 2015, kedua laki-laki ditangkap di Sorong untuk berdemonstrasi terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Putera Mandiri (PPM), anak perusahaan dari Austindo Nusantara Jaya Group. Korie dan Aitago merupakan bagian dari kelompok Papua asli dari suku Iwaro yang melakukan protes terhadap PPM yang melakukan perebutan tanah asli mereka. Mereka dituduh dengan kekerasan terhadap orang atau barang di bawah Pasal 170 KUHP. Korie diperkirakan akan dibebaskan pada bulan Oktober dan Aitago di bulan Desember tahun ini.

Tahanan demo MSG di Manokwari masih ditahan di Kantor Pusat Brimob

Pengacara dengan LP3BH melaporkan bahwa empat tahanan – Alexander Nekenem, Narko Murib, Maikel Aso dan Yoram Magai – ditangkap pada Mei karena mengikuti demonstrasi untuk mendukung tawaran untuk keanggotaan ULMWP untuk MSG (Melanesian Spearhead Group) masih ditahan di Markas Brimob di Manokwari. Pengacara melaporkan bahwa penahanan mereka di markas Brimob mempersulit akses kepada perawatan, keluarga dan pengacara terhadap keempat tahanan tersebut. Keempat tahanan telah didakwa dengan penghasutan dibawah Pasal 160 KUHP.

Tahanan pendukung ULMWP di Biak akan menghadapi pengadilan di bulan Oktober

Pengacara HAM yang menemani Apolos Sroyer, Dorteus Bonsapia dan Wamoka Yudas Kossay melaporkan bahwa pengadilan untuk ketiga laki-laki akan dimulai pada 15 Oktober. Ketiga laki-laki dihadapi tuduhan hasutan dan penyebaran kebohongan di bawah Pasal 160 KUHP dan UU 1/1946 Pasal 15. Ketiga laki-laki sedang ditahan di Lapas Biak.

Hukuman terhadap Piethein Manggaprouw diperpanjang tiga tahun

Pengacara Kontras Papua yang menemani Piethein Manggaprouw melaporkan bahwa hukuman penjaranya diperpanjang dari dua menjadi tiga tahun mengikuti keputusan pengadilan berdasarkan banding dari penuntut. Pada 19 Oktober 2013, Manggaprouw ditahan karena memimpin demonstrasi di Biak yang memperingati Kongres Masyarakat Papua yang Ketiga.

Hukuman terhadap Markus Sawias diperpanjang empat tahun

KontraS Papua melaporkan bahwa Markus Sawias, salah satu dari tahanan yang tersisa dari kasus Biak 1 Mei menerima perpanjangan hukuman penjara empat tahun setelah keputusan banding kedua dari penuntut. Pada 1 Mei 2013, Sawias merupakan satu dari enam orang yang ditahan setelah polisi melepaskan tembakan ke tengah kerumunan yang berkumpul untuk acara penaikan bendera di Biak.

Kasus-kasus penting

Tiga remaja ditembak oleh polisi Kabupaten di Timika; satu meninggal dan dua luka-luka

Informasi yang diterima oleh penyelidik lokal ham melaporkan bahwa pada 28 September, sekitar pukul 19:00 WITA, tiga remaja ditembak oleh Polsek Mimika Baru di pasar Gorong-Gorong di kabupaten Timika. Sementara motif di belakang penembakan masih belum jelas, menurut saksi mata yang direkam oleh penyelidik lokal, penembakan dilaporkan dilakukan terhadap perusakan rumah. Kalep Bagau yang berumur 18 tahun ditembak mati sementara dua remaja lainnya, Efrando Sabarofek dan Bastian Korwa, dua-dua nya berumur 17 tahun, mendapatkan luka-luka.

Laporan berisi kesaksian dari korban-korban yang masih hidup mengatakan bahwa ketiga remaja tersebut sedang membuang waktu di Tiang Tower di Timika ketika tiga kepolisian daerah dari Mimika Baru dalam mobil patroli berhenti dan mengancam mereka. Para polisi tersebut dilaporkan memberi tahu para remaja tersebut: “Kamu bubar dari tempat itu, kalau tidak kamu dapat tembak.” Salah satu dari remaja tersebut membalas: “Kaka, kami hanya duduk-duduk saja, kami tidak buat apa-apa.” Setelah balasan tersebut, para polisi pergi. Beberapa saat kemudian, ketiga remaja tersebut memutuskan untuk pergi ke Kompleks Biak Jalur Satu. Di perjalanan mereka ke sana, mereka menemukan mobil patroli dari sebelumnya sedang diparkir di luar sebuah rumah. Saat mereka sedang melintas, ketiga polisi dari Kabupaten Mimika Baru tersebut melepaskan tembakan kepada mereka dari jarak sekitar enam sampai tujuh meter.

Bagau, murid SMA di SMK Harapan telah ditembak di dada dan tak lama meninggal. Sabarofek ditembak di bagian kiri dada nya dan bagian dalam paha kanan. Korwa ditembak di bagian kanan dada nya dengan peluru karet. Kedua remaja tersebut berhasil melarikan diri dari polisi. Kedua orang yang selamat, Sabarofek dan Korwa dibawa ke Rumah Sakit Umum Timika. Menurut kesaksian dari salah satu korban, tidak lama setelah penembakan, petugas keamanan datang dalam tiga mobil dan beberapa sepeda motor telah berkumpul di tempat penembakan. Sementara motif di belakang penembakan masih belum jelas, kesaksian saksi mata mengatakan bahwa mungkin penembakan dilakukan untuk membalas perusakan rumah dimana mobil patroli tersebut terletak.

Informasi terbaru dari korban melaporkan bahwa kondisi Sabarofek masih kritis dan ia masih mencari pengobatan, sementara Korwa mendapatkan luka ringan. Penyelidik lokal ham mengatakan bahwa polisi belum bertanggung jawab untuk biaya berobat. Laporan juga mengatakan bahwa orang tua dari kedua korban telah diancam oleh polisi. Polisi dilaporkan menelfon mereka mengancam bahwa anak-anak mereka akan ditahan. Keluarga korban meminta pembela ham menemani yang selamat untuk mencari jawaban mengapa para polisi tersebut menembak ketiga remaja.

Dua orang Papua ditembak oleh tentara di Timika

Pada 28 Agustus, Imanuel Marimau dan Uilianus Okare, keduanya berumur 23 tahun, ditembak mati sementara lima lainnya mengalami luka-luka ketika dua tentara dari Komando Distrik Militer 1710 (Kodim 1710) melepas tembak kepada kelompok orang di Koperapoka di Kabupaten Mimika. Kepala Sersan Serkha Makher dan Sersan Pertama Sertu Ashar dilaporkan sedang mabuk pada saat mereka menginterupsi ritual tradisional yang diselenggarakan oleh anggota dari suku Kamoro di Timika untuk menghormati lelaki lokal yang menerima gelar doktor.

Menurut informasi dari penyelidik di Timika, dua tentara datang dengan sepeda motor dengan keadaan mabuk dan berusaha menginterupsi perayaan. Setelah diberi tahu bahwa mereka tidak diterima di acara itu, para tentara tersebut dilaporkan kembali dengan senapan dan pisau bayonet. Mereka lalu diduga mengancam sekelompok orang dengan senjata mereka sebelum meninggalkan halaman gereja dan berposisi di jalanan luar. Laporan mengatakan bahwa tentara melepas tembak kepaada mereka, membunuh dua dan melukai sedikitnya empat lainnya. Laporan mengatakan bahwa Marimau meninggal setelah ditembak di belakang kepalanya, sementara Okoare meninggal dari luka tembak di bagian perut. Marthinus Afukafi, Martinus Imputa, Thomas Apoka, Moses Imipu dan Amalia Apoka mendapatkan luka tembak dan lalu dirawat di rumah sakit. Menurut laporan di Jubi, ada kemungkinan korban lebih banyak dari penembakan tersebut, tetapi data tidak tersedia karena petugas keamanan mengahalangi penyelidik ham untuk mengoleksi informasi untuk korban yang dirawar di Rumah Sakit Umum Daerah Mimika.

Menurut laporan dari Jubi, Letnan Kolonel Andi Kusworo, Komandan Militer Kabupaten Kodim 1710, mengatakan bahwa regulasi baru akan dikeluarkan mengenai batasan untuk tentara dalam membawa senjata di kota-kota. Pada 28 Agustus, dua tentara ditangkap dan ditahan di Kantor Polisi di Timika. Menurut juru bicara militer, tentara tersebut diduga bertindak untuk membela diri setelah diserang oleh anggota kelompok yang mengikuti perayaan.

Pada 7 September, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengirim tim pemantau ke Timika, dengan tugas mengumpulkan data insiden tersebut. Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengritik kurang nya transparansi pada investigasi yang dilakukan oleh insitusi negara yang terkait. Militer dilaporkan melakukan penyelidikan sendiri atas kejadian itu.

Kelompok masyarakat sipil lokal dan internasional, termasuk gereja dan organisasi mahasiswa, telah mengutuk penembakan. Dewan Gereja-Gereja Pasifik mendesak pihak yang berwenang untuk menanggapi pembunuhan sewenang-wenang, siksaan dan pelanggaran ham di Papua. Pada 4 September, demonstran dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Malang menuntut para pelaku untuk diadili dan militer ditarik dari Papua.

Petugas tentara menembak lelaki Papua karena kecelekaan pinggir jalan

Laporan dari pembela ham di Timika mengatakan bahwa pada 28 September, lelaki berumur 21 tahun yang bernama Niko Bedes ditembak oleh dua tentara setelah kecelekaan pinggir jalan. Sementara insiden ini terjadi tidak lama setelah penembakan tiga remaja Papua oleh kepolisian Kabupaten Mimika Baru (lihat di atas), sepertinya ini merupakan penembakan yang terpisah dan tidak terkait dengan insiden di atas.

Menurut laporan, sekitar pukul 20:00, Bedes menaiki tumpangan sepeda motor dari temannya setelah dari pasar. Dalam perjalanan mereka kembali, temannya kehilangan kendali sepeda motor dan menabrak kendaraan yang mendekat di Jalan Yos Sudarso di depan kantor pos di Timika. Dua tentara dilaporkan keluar dari mobil. Sementara Bedes masih terletak di jalanan karena ditabrak, temannya berhasil melarikan diri. Kedua tentara lalu menembak Bedes, yang menghasilkan luka tembak di betis kiri nya.

Tidak lama setelah itu, ia dipaksa masuk ke mobil patroli yang telah tiba di lokasi kejadian. Ia dibawa ke Kantor Polisi Daerah Mimika Baru dan ditaruh di sel yang berbeda dari tahanan lainnya. Laporan lokal mengatakan bahwa kedua petugas tentara juga mengambil telepon genggamnya dan dompet berisi Rp 250,000 dan KTP nya. Bedes ditahan semalaman di sel dan tidak diberikan perhatian medis meskipun ia berteriak untuk pertolongan semalaman. Ia terus berdarah dari kakinya. Pagi berikutnya, sekitar pukul 08:00, ia diberitahu oleh polisi bahwa ia bisa kembali ke rumahnya. Ia tidak ditawarkan bantuan medis dari polisi. Karena ia tidak bisa jalan, seorang polisi, yang identitasnya tidak diketahui, memberikan tumpangan ke jalan raya dan memberikan Rp 20,000 untuk membayar ojek pulang. Ia lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum oleh istrinya. Pada 30 September, ketika ditanya mengenai insiden tersebut, polisi dilaporkan mengatakan bahwa korban sebaliknya mengalami kecelakaan dimana sepeda motornya menabrak pinggir jalan. Belum ada penyelidikan polisi terhadap kasus ini sejauh ini.

Tiga orang Papua diculik dan disiksa di Jayapura

Pada 28 Agustus, tiga laki-laki diculik dan disiksa di Jayapura oleh Poresta Jayapura. Jubi melaporkan bahwa sekitar 03:00, Elieser Awom, Soleman Yom dan Yafet Awom sedang membeli rokok di warung dekat rumah mereka ketika mereka dipaksa masuk ke dalam mobil oleh empat laki-laki. Salah satu dari empat laki-laki tersebut dilaporkan memakai seragam polisi sementara tiga lainnya memakai pakaian biasa. Ketiga laki-laki muda Papua tersebut dituduh mencuri sepeda motor dan diberi tahu bahwa mereka akan diinterogasi di kantor polisi.

Bukannya dibawa ke kantor polisi, mereka dibawa ke Sentani Timur, kota di ujung Jayapura. Selama perjalanan kesana, mereka dipaksa untuk mengakui tuduhan mereka di bawah penyiksaan. Menurut kesaksian yang dilaporkan di Jubi, Yafet Awom ditusuk di paha nya dengan pisau dan disundut rokok. Ia juga mengalami luka-luka di bagian kanan tubuhnya karena dipukul dengan gagang pisau bayonet. Ia juga dilaporkan dalam keadaan trauma dan kesulitan berbicara dan makan. Soleman Awom ditusuk di leher nya dengan pisau bayonet dan juga mengalami luka-luka dari pukulan dan tendangan. Elieser Awom ditusuk dari belakang dan bahu kiri dan ditendang di dada nya. Ia mengalami kesulitan jalan karena pukulan-pukulan tersebut.

Setelah mereka sampai di Sentani, Soleman Yom dan Eliese Awom dipaksa keluar dari mobil. Saat mereka mulai melarikan diri, laki-laki di dalam mobil melepas empat tembakan ke arah mereka. Yom dan Awom sembunyi di kampong yang dekat dan dipulangkan oleh warga kampong di hari berikutnya. Yafet Awom ditahan di Kantor Polisi Daerah Kota Jayapura dan dibebaskan pagi berikutnya.

Pada 31 Agustus, saudara dari tiga korban pergi ke Markas Besar Polisi Papua untuk menuntut investigasi menyeluruh kepada insiden tersebut. Menurut pernyataan yang dibuat oleh Kepala Inspektur Polisi Papua Jeneral Paulus Warterpauw, kedua petugas polisi kota Jayapura, Bripda Suherman dan Damani, sedan di selidiki oleh Provos Pengaman (Propam), pengaduan internal polisi dan mekanisme penyelidikan, dan Reskrim Polda. Ketiga laki-laki mendapat iringan hukum dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP).

Roby Pekey dituduh dengan pencurian

Di pembaruan kami Juli lalu, kami melaporkan mengenai penahanan dan penembakan Roby Pekey yang berumur 21 tahun oleh Kepolisian Daerah Jayawijaya di Wamena. Ia lalu dikirim ke Rumah Sakit Wamena untuk mengobati luka tembaknya. Informasi dari pengacara yang menemaninya mengatakan bahwa Pekey sedang ditahan di Kantor Kepolisian Daerah Wamena sementara menunggu pengadilan. Ia dituduh pencurian di bawah Pasal 362 KUHP.

Pengacara yang menemani Pekey telah mengatakan bahwa penangkapan dan penahanannya telah dilaksanakan bertentangan dengan prosedur polisi biasa. AIDP melaporkan bahwa surat penahanannya dikeluarkan dua hari, atau lebih dari 24 jam setelah penangkapannya. Menurut prosedur pidana Indonesia, surat penahanan harus dikeluarkan 24 jam setelah penangkapan. Lebih dari itu, pengacara-pengacara mengatakan bahwa ia ditahan tanpa surat penahanan.

Selama pengadilan pada bulan Agustus, Bripda Eko Putra Wijaya Basri, salah satu polisi yang terkait dalam penangkapan Pekey, bersaksi bahwa ia menembak Pekey di pergelangan kaki kiri untuk melumpuhkannya. Basri mengakui bahwa setelah Pekey jatuh dan telah diamankan oleh para polisi, ia ditembak lagi oleh polisi yang lainnya. Kesaksiannya bertentangan dengan pernyataan oleh Kepolisian Daerah Jayawijaya sebelumnya bahwa Pekey hanya ditembak sekali. Pengacaranya melaporkan bahwa Pekey ditembak tiga kali. Pekey, mahasiswa keperawatan, menetapkan bahwa ia tidak mencuri sepeda motor tetapi membelinya dari rumah gadai.

Tahanan kejadian Tolikara di dalam penangkapan kota

Di laporan kami Juli lalu, kami melaporkan penahanan dua laki-laki terkait kasus Tolikara. Pengacara ham bersama KontraS Papua menemani Jundi Wanimbo dan Ariyanto Kogoya melaporkan bahwa kedua laki-laki telah dibebaskan dari tahanan tetapi masih dalam penangkapan kota. Kedua orang itu ditangkapa berkaitan dengan pembakaran beberapa kios pada tanggal 17 Juli, yang menyebar ke sebuah musholla dimana sholat Idul Fitri sedang terjadi.

Pada 18 September, pengacara yang mengiringi kedua laki-laki tersebut mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Wamena. Pada 23 September, kedua laki-laki dibebaskan dari tahanan di Pusat Polda Papua dengan jaminan tetapi masih di bawah penangkapan kota di Tolikara. Mereka masih menghadapi tuduhan pembakaran dan kekerasan terhadap orang atau barang di bawah Pasal 187 dan 170 KUHP, namun masih belum jelas kapan pengadilan akan dimulai.

Pada 17 Juli, pemuda berumur 16 tahun yang bernama Endy Wanimbo ditembak mati dan setidaknya 11 orang mengalami luka tembak ketika petugas keamanan mulai menembak kepada kelompok orang yang sedang melakukan protes terhadap penggunaan loudspeaker saat acara Sholat Ied. Menurut pengacara KontraS Papua, hanya sedikit tanda dimana pelaku penembakan akan dibawa untuk bertanggung jawab.

Bupati Intan Jaya berpartisipasi dalam paksaan brutal dalam pembubaran demonstrasi pelajar

Pada 17 dan 18 Agustus, demonstran pelajar yang mendesak transparansi mengenai dana bantuan salah urus dengan brutal dibubarkan oleh pihak berwenang dari Intan Jaya. Pelajar juga melakukan protes terhadap rencana kegiatan pertambangan di Intan Jaya tanpa konsultasi tepat dengan tokoh adat pemilik lahan.

Pada 17 Agustus, pelajar dari Gerakan Pelajar dan Mahasiswa Peduli Intan Jaya (GPMPI) yang berdemonstrasi di luar bandara Soko Paki di Intan Jaya dibubarkan secara paksa oleh petugas Brimob di bawah perintah Natalis Tabuni, Bupati Intan Jaya. Menurut saksi mata yang dilaporkan oleh Suara Papua, petugas Brimob dilaporkan memukul demonstran dengan gagang senjata dan melepas lima tembakan ke arah demonstran pelajar. Tidak ada yang menderita luka-luka.

Hari berikutnya, pada 18 Agustus, kelompok pelajar deomnstran yang sama melakukan pergerakan panjang. Pada saat mereka sampai diluar kediaman Bupati, mereka mulai bernegosiasi dengan petugas keamanan yang menginstruksi para pelajar untuk tidak berdemonstrasi. Dalam upaya pembubaran pelajar, Natalis Tabuni dilaporkan keluar dari rumah dengan senjata dan mulai melepas tembakan ke udara. Tabuni juga dilaporkan bergabung dengan petugas Brimob yang berada di kediamannya dalam memukul para pelajar. Suara Papua melaporkan bahwa beberapa anggota pemerintah daerah lainnya juga melempar batu kepada mereka. Setidaknya 14 pelajar mengalami luka-luka.

Pemimpin mahasiswa Melianus Duwitau, yang mengalami pemukulan, memberitahu Majalah Selangkah bahwa meskipun mereka bertemu dengan pihak-pihak yang berwenang dari Kementerian Kesejahteraan Rakyat di Intan Jaya, tidak ada aksi yang dilakukan terkait penyaluran dana kepada pelajar yang membutuhkan. Ia mengatakan bahwa 68 mahasiswa dari Intan Jaya belum menerima dana yang telah dijanjikan.

Berita

Filep Karma menolak remisi

Aktivis Papua Barat dan tahanan politik, Filep karma, telah menolak tawaran remisi untuk hukuman 15 tahun pejaranya. Remisi biasanya diberikan kepada tahanan pada saat Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus. Karma mengatakan bahwa ia hanya akan meninggalkan Penjara Abepura, dimana ia sedang ditahan, jika ia dibebaskan tanpa syarat. Karma mengatakan bahwa “Saya tidak melakukan kejahatan ketika menaikkan Bendera Morning Star di tahun 2004. Saya akan tetap berkampanya untuk kemerdekaan jika saya sudah bebas.”

Di tahun 2004, Karma ditangkap dan dituduh dengan dakwaan makar karena menaikkan Bendera Morning Star, simbol kemerdekaan Papua. Tetapi, Bagus Kurniawan, kepala Penjara Abepura, mengaku bahwa penjara belum menerima keputusan resmi dari Jakarta yang menawarkan remisi untuk Filep Karma.

Upaya-upaya untuk membatasi media luar dibatalkan ketika dua wartawan Inggris menghadapi kemungkinan hukuman lima tahun di penjara

Regulasi baru yang berusaha untuk memperluas batasan untuk wartawan asing langsung dihapuskan setelah oposisi dari Presiden Joko Widodo mengenai hal tersebut. Pada 26 Agustus, Mayor Jeneral Soedarmo, Direktur Jeneral dari Polpum Kemendagri mengumumkan prosedur baru untuk wartawan asing, anggota kru film dan pekerja NGO yang berusaha melakukan kerja di Papua.

Persyaratan pertama termasuk aplikasi untuk izin yang dikeluarkan oleh Tim Koordinator untuk Kunjungan Orang Asing dari Kementrian Luar Negeri. Tim Koordinator terdiri dari satgas yang mencakup di antara lain, anggota dari Badan Intelejen Negara (BIN) dan polisi nasioinal. Wartawan asing, anggota kru film, dan pekerja NGO juga diharuskan untuk mendaftar untuk izin dari Direktorat Jeneral untuk Bidang Politik dan Administrasi General dari Kementrian Dalam Negeri. Selain itu, izin dari pihak berwenang administrative lokal di bawah Badan Kesatuan Nasional dan Bidang Politik juga diperlukan untuk akses ke daerah terpencil. Terakhir, wartawan asing, anggota kru film, dan pekerja NGO juga memerlukan untuk memperlihatkan identitas resmi yang dikeluarkan oleh perwakilan Indonesia di luar negeri.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan di Jakarta Post bahwa regulasi baru diperlukan “untuk mencegah wartawan asing untuk melakukan aktivitas intelejen.” Soedarmo juga mengatakan bahwa regulasi tersebut merupakan “salah satu bentuk perlindungan untuk negara.” Kelompok masyarak sipil nasional mengkritik regulasi sebagai kemunduran untuk kebebasan media di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mengatakan bahwa regulasi tersebut melanggar Pasal 28 KUHP dan UU 40/1999 untuk press yang menjamin kebebasan media. Klub Wartawan Asing Jakarta mengritik regulasi tersebut sebagai “noda pada transisi Indonesia ke demokrasi dan pernyataan dari pemerintahan bahwa mereka mendukung kebebasan press dan hak asasi.”

Menurut berbagai lapora media, Kumolo meminta maaf kepada Presiden Jokowi melalui telefon dan mencabut regulasi baru tersebut. Sementara komite Kantor Kliring yang memberi sah untuk aplikasi visa untuk wartawan asing telah dibubarkan, namun proses pendaftaran sekarang masih belum jelas.

Dua wartawan Inggris, Rebecca Prosser dan Neil Bonner sedang di pengadilan di bawah tuduhan pelanggaran hukum imigrasi Indonesia dan menghadapi kemungkinan hukuman lima tahun penjara. Para wartawan tersebut sedang membuat dokumentari yang didanai National Geographic mengenai pembajakan di Selat Malaka. Pada 29 September, Reporters Without Borders (RSF) memanggil pihak berwenang Indonesia “untuk berhenti menyalahgunakan peraturan imigrasi dan untuk menjatuhkan dakwaan terhadap kedua wartawan tersebut.”

Tahanan Politik Papua bulan September 2015

No Tahanan Ditangkap Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh kekerasan? Kekhawatiran yang dilaporkan dalam proses hukum? Penjara/  Tempat Penahanan
1 Arnes Silak 15 Juni 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Penangkapan KNPB di Bandara Sentani Tidak Jelas Tidak Jelas Markas Besar Kepolisian Papua
2 Yafet Keiya 28 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda MSG demo di Nabire Tidak Jelas Tidak Jelas Nabire

 

 

3 Ottis Munipa 28 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda MSG demo di Nabire Tidak Jelas Tidak Jelas Nabire

 

 

4 Wamoka Yudas Kossay 22 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, UU 1/1946 Pasal 14 Sidang dimulai 15 Oktober

 

MSG demo di Biak

 

Tidak Jelas  Iya Biak
5 Apolos Sroyer 20 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, UU 1/1946 Pasal 14 Sidang dimulai 15 Oktober

 

MSG demo di Biak

 

Tidak Jelas  Iya Biak
6 Dorteus Bonsapia 20 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, UU 1/1946 Pasal 14 Sidang dimulai 15 Oktober

 

MSG demo di Biak

 

Tidak Jelas  Iya Biak
7 Narko Murib 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
8 Alexander Nekenem 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
9 Yoram Magai 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
10 Othen Gombo 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
11 Obed Korie 15 Mei 2015 Pasal 170 5 bulan Sorong demo terhadap PT PPM Iya Tidak Jelas Sorong
12 Odie Aitago 15 Mei 2015 Pasal 170 7 bulan Sorong demo terhadap PT PPM Iya Tidak Jelas Sorong
13 Ruben Furay 1 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Kaimana 1 Mei 2015 Tidak Jelas Tidak Jelas Kaimana
14 Sepi Surbay 1 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Kaimana 1 Mei 2015 Tidak Jelas Tidak Jelas Kaimana
15 Dr Don Flassy* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 55(1),53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
16 Dr Lawrence Mehue* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 55(1),53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
17 Mas Jhon Ebied Suebu* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 108(2), 55(1), 53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
18 Onesimus Banundi* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 108(2), 55(1), 53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
19 Elias Ayakeding* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 160 Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
20 Kamori Murib 9 Desember 2014 UU Darurat 12/1951 3 tahun Penyiksaan Lanny Jaya Iya Iya Wamena
21 Yosep Siep 9 Juli 2014 Pasal-Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Iya Iya Dibebaskan menunggu banding
22 Marthen Marian 9 Juli 2014 Pasal-Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Iya Iya Dibebaskan menunggu banding
23 Jhoni Marian 9 Juli 2014 Pasal-Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Iya Iya Dibebaskan menunggu banding
24 Alapia Yalak 4 Juni 2014 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Iya Iya Markas Besar Kepolisian Papua
 25 Jemi Yermias Kapanai 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
26 Septinus Wonawoai 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
27 Rudi Otis Barangkea 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
28 Kornelius Woniana 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
29 Peneas Reri 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
30 Salmon Windesi 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
31 Obeth Kayoi 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
32 Soleman Fonataba* 17 Desember 2013 Pasal-Pasal 106, 110)1, 53, 55 Penahanan kota 1.5 tahun, menunggu banding Penangkapan bendera Melanesia Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditebus, tidak bisa pergi dari Sarmi
33 Edison Werimon* 13 Desember 2013 Pasal-Pasal 106, 110)1, 53, 55 Penahanan kota 1.5 tahun, menunggu banding Penangkapan bendera Melanesia Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditebus, tidak bisa pergi dari Sarmi
34 Piethein Manggaprouw 19 Oktober 2013 Pasal-Pasal 106, 110 3 tahun Demo Kongres ketiga Papua di Biak Tidak Iya Biak
35 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 7 tahun Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
36 Markus Sawias 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 4 tahun Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
37

 

George Syors Simyapen 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 4.5 tahun Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
38 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 2 tahun and 6 bulan Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
39 Isak Klaibin 30 April

2013

Pasal-Pasal 06, 107, 108, 110, 160 and 164 3 tahun and 6 bulan Peringatan Aimas 1 Mei Tidak Iya Sorong
40 Jefri Wandikbo 7 Juni 2012 Pasal-Pasal 340, 56,  UU 8/1981 8 tahun Aktivis KNPB disiksa di Jayapura Iya Iya Abepura
41 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan penaikan bendera Tidak Tidak Abepura
42 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Penaikan bendera Yalengga Tidak Iya Wamena
43 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Penaikan bendera  Yalengga Tidak Iya Wamena
44 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Penaikan bendera Abepura 2004 Tidak Iya Abepura
45 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Iya Tidak Wamena

*Meski para tahanan ini telah dibebaskan dengan jaminan dan sedang tidak dipenjara, mereka terus menghadapi tuduhan dan sedang menjalani investigasi. Karena mereka bisa ditangkap lagi, kami terus memonitor setiap perkembangan dalam kasus-kasus ini.

Share

Orang Papua di balik Jeruji: September 2013

Ringkasan

Pada akhir September 2013, terdapat 53 orang tahanan politik dalam penjara di Papua. Di Waghete, seorang warga sipil ditembak mati dan empat lainnya ditangkap dalam operasi sweeping oleh aparat khusus Brigade Mobil. Puluhan warga sipil dan aktivis ditangkap terkait dengan demonstrasi merayakan Hari Demokrasi Internasional. Aktivis terkenal menjadi sasaran di Pulau Biak dan Yapen di mana prosesi diadakan untuk menyambut air suci dan abu yang disampaikan oleh Freedom Flotilla dari Australia. Di Waena, seorang warga sipil ditahan sewenang-wenang dan disiksa oleh polisi.

Boas Gombo dan Dipenus Wenda keduanya telah dibebaskan. Terdapat laporan tentang kekhawatiran bagi kesehatan mental Yohanes Borseren dan Obeth Kamesrar. Sebuah laporan oleh KontraS Papua mengungkapkan kekhawatiran serius tentang kesehatan tahanan dan kondisi kehidupan di LP Abepura. Aplikasi Cuti Bersyarat (CB) oleh kelima tahanan dalam kasus pembobolan gudang senjata di Wamena telah ditolak, sementara keempat tahanan dalam kasus pengibaran bendera di Yalengga meminta remisi.

Penangkapan

Sipil ditembak dan empat ditangkap oleh anggota Brimob dalam operasi sweeping di Waghete

Sebuah artikel oleh Tabloid Jubi melaporkan penembakan warga sipil Alpius Mote pada tanggal 23 September di Waghete oleh anggota polisi Brigade Mobil (Brimob) yang sedang melakukan operasi sweeping. Kedua anggota Brimbob tersebut dilaporkan terlibat dalam operasi perhentian dan pencarian di pasar Waghete, di mana mereka menghentikan dua pria tua dalam pencarian untuk senjata. Hal ini menyebabkan protes dari orang-orang yang telah berkumpul, menyebabkan pelemparan batu ke kedua anggota Brimbob itu. Sebagai tanggapan, kedua anggota melepaskan tembakan ke kerumunan, menyebabkan dalam kematian Alpius Mote, seorang mahasiswa, dan tiga orang lainnya terluka – Aprida Dogopia, Alex dan Frans Mote Dogopia.

Ada juga laporan bahwa para anggota menargetkan pria dengan rambut gimbal dan jenggot. Sebuah pernyataan oleh tahanan politik Selpius Bobii menggambarkan taktik ini sebagai serangan terhadap adat kebiasaan Papua. Hal ini diduga digunakan oleh aparat untuk mengidentifikasikan orang yang mereka memanggil ‘separatis’. Pernyataan oleh  Bobii juga melaporkan penangkapan empat warga sipil setelah penembakan tersebut, meskipun ia tidak jelas jika mereka masih berada dalam tahanan. Human Rights Watch telah menyerukan Indonesia untuk menyelidiki kemungkinan penggunaan kekuatan mematikan yang tidak perlu oleh aparat polisi.

Jumlah penangkapan di Papua untuk memperingati Hari Demokrasi Internasional

Beberapa sumber HAM dan situs terbaru melaporkan bahwa pada 16 September, setidaknya 94 orang telah ditangkap lalu dibebaskan tanpa tuduhan oleh polisi dalam pembubaran demonstrasi di Papua saat memperingati Hari Demokrasi Internasional, 15 September. Ribuan orang Papua ikut serta dalam demonstrasi, yang juga didukung oleh rencana negara Vanuatu untuk mengangkat pertanyaan tentang status politik Papua pada sesi ke-68 Majelis Umum PBB pada September 2013.

Kepolisian Papua menyampaikan larangan berdemonstrasi pada 11 September, menolak pemberitahuan dari Komite Nasional Papua Barat/KNPB yang bermaksud untuk mengadakan demonstrasi di beberapa kota pada 16 September. Dilaporkan, hal ini dikarenakan logo KNPB yang digunakan dalam surat pemberitahuan berisi simbol dari bendera Bintang Kejora Papua. Sumber-sumber di lapangan dan situs-situs baru melaporkan bahwa gas air mata digunakan untuk membubarkan demonstrasi di Waena, Jayapura.

Sentani

Berdasarkan laporan yang komprehensif dari pemantau HAM setempat, terdapat dua peristiwa terpisah di Sentani, Jayapura yang melahirkan penangkapan terhadap 29 orang. Seorang aktivis KNPB yang dikutip dalam laporan menyatakan bahwa pada pukul 7.00 WITA, 9 orang demonstran yang terdiri dari 4 orang aktivis KNPB dan 5 orang masyarakat sipil ditangkap di Sentani Sektor Toladan oleh kepolisian dari Polsek Sentani. Aktivis setempat lainnya melaporkan bahwa polisi melakukan taktik intimidasi kepada para demonstran yang melakukan aksi damai dan menghalangi para demonstran di beberapa tempat untuk membubarkan demonstrasi. Sebanyak 9 orang yang ditangkap ditahan di Polsek Sentani sebelum akhirnya dibebaskan tanpa tuntutan beberapa jam kemudian.

Pada penangkapan yang terpisah di Sentani Sektor Gunung Merah, Polres Jayapura menangkap 20 orang demonstran sekitar pukul 7.15 WITA. Para demonstran dipimpin oleh Ketua KNPB, Alen Halitopo, salah seorang dari 20 orang yang ditangkap. Sebuah artikel dalam situs KNPB menyatakan bahwa para demonstran ditangkap dan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh polisi yang juga menyita barang-barang milik para demonstran. Mereka ditahan di Polres Jayapura selama lebih dari 1 jam sebelum akhirnya dibebaskan tanpa tuduhan.

Sumber KNPB juga menyatakan bahwa polisi di sektor Prodadi membubarkan demonstrasi saat para demonstran menuju Pasar Lama di Sentani. Polisi menyita megafon, bendera dan spanduk KNPB.

Waena

Kami menerima laporan atas dua peristiwa penangkapan di Waena dimana 10 orang ditahan sebelum akhirnya dibebaskan tanpa tuduhan. Laporan komprehensif menyebutkan rincian informasi atas penangkapan tiga orang aktivis KNPB – Agus Kosay, Ucak Logo dan Jon Komba – sekitar pukul 7.00 WITA di depan kampus Universitas Cendrawasih dimana orasi dilakukan sebagai bagian dari demonstrasi. Mereka dibebaskan tanpa tuduhan oleh polisi dari Polres Papua, lima jam kemudian.

Majalah berita online di Papua, Majalah Selangkah melaporkan putaran kedua penangkapan pada pukul 9.00 WITA, dimana gabungan gugus tugas TNI dan Polri menangkap 7 orang aktivis KNPB – Warius Warpo Wetipo, Henny Rumkorem, Uum Himan, Anton Gobay, Yas Wenda, Yufri Wenda dan Rinal Wenda. Polisi diduga memukul para aktivis dalam proses penangkapan dan menyita brosur-brosur dan spanduk-spanduk. Para demonstran diduga berupaya untuk melakukan negosiasi dengan aparat keamanan yang menghalangi jalan, sebelum dipaksa untuk dibubarkan. Sumber di lapangan dan laporan berita menyampaikan bahwa polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan para demonstran di Waena. Kapolres Jayapura, Kiki Kurnia, menyampaikan kepada Tabloid Jubi bahwa sebelum menggunakan gas air mata, aparat keamanan memberikan waktu lima menit kepada para demonstran untuk membubarkan diri sebagai tanda tidak diberi “izin” untuk terus berdemonstrasi oleh otoritas penegak hukum.

Taman Imbi, Jayapura

Berdasarkan artikel yang sama di Majalah Selangkah, 14 orang aktivis KNPB ditangkap di Taman Imbi, Jayapura sebelum mereka menyampaikan orasi yang direncanakan disana. Mereka dibebaskan tanpa tuduhan pada 11.40 WITA setelah ditahan di Polres Jayapura selama 4 jam.

Sorong

Laporan yang disebutkan di atas juga memberikan rincian terhadap dua penangkapan terpisah di Sorong, dimana sebanyak 27 orang telah ditangkap sebelum akhirnya dibebaskan tanpa tuduhan. Sekitar pukul 9 WITA, Polres Sorong menangkap 20 orang, sebagian besar adalah aktivis KNPB. Ketua KNPB Sorong, Martinus Yohami memimpin barisan menuju Toko Tio. Polisi diduga menghentikan para demonstran dan menangkap saat mereka membentangkan spanduk yang menyatakan “Indonesia Buka Ruang Demokrasi  di Papua, Hentikan Kekerasan.” Sebanyak 20 orang ditangkap dan ditahan selama enam jam di Polres Sorong sebelum akhirnya dibebaskan tanpa tuduhan. Penangkapan lainnya dilakukan di depan Mesjid King di kota Sorong, dimana tujuh orang ditangkap dan ditahan di Polres Sorong. Mereka dibebaskan pada saat yang sama dengan 20 orang lainnya.

Nabire

Aktivis setempat melaporkan penangkapan kepada 14 orang aktivis KNPB di Nabire oleh gabungan TNI dan Polri pada demonstrasi pada 16 September. Mereka dilaporkan dipukul dalam proses penangkapan, sementara 5 orang aktivis  – Otto Kudiai, Yafet Keiya, Anipa Pigai, Agustina and Yulianus Nawipa – mengalami pemukulan yang keras yang menyebabkan luka serius. Perangkat yang digunakan dalam demonstrasi juga disita. Karena desakan dari Kepala DPRD Meepago, Habel Nawipa, 14 orang aktivis tersebut dibebaskan tanpa tuduhan dari kantor Polres Nabire.

Di Timika, aktivis setempat melaporkan bahwa Polres Mimika menggunakan taktik intimidasi dalam menghadapi para demonstran. Peringatan Hari Demokrasi Internasional juga dilaksanakan di Dogiyai, Yahukimo, Merauke, Timika, Manokwari dan Biak, meskipun tidak ada penangkapan yang dilaporkan pada wilayah ini.

Berkas para aktivis yang ditangkap di Pulau Biak dan Yapen dalam kaitannya dengan rencana prosesi menyambut air suci dan abu Aborigin oleh Freedom Flotilla

Berdasarkan laporan-laporan dari sumber HAM di Papua, empat orang aktivis telah ditahan dan dibebaskan di Biak, sementara Edison Kendi dan Demianus Burumi ditangkap dan kemudian dibebaskan di Yapen saat polisi bermaksud untuk menghambat prosesi di kedua pulau tersebut. Proses tersebut direncanakan – pada 20 September di Biak dan 26 September di Yapen – untuk menyambut air suci dan abu yang disampaikan secara terpublikasi oleh Freedom Flotilla dari para pemimpin Aborigin di Australia.

Pulau Biak

Sebuah laporan diterima melalui email dan artikel yang diposting dalam situs Freedom Flotilla mendeskripsikan penangkapan kepada 4 orang pimpinan komunitas di Biak pada 18 September. Empat orang – Piet Hein Manggaprouw, Klemens Rumsarwir, Yoris Berotabui and Yan Piet Mandibodibo – telah tiba di Polres Biak Numfor untuk meminta konfirmasi atas pemberitahuan untuk demonstrasi yang telah disampaikan dua hari sebelumnya, pada 16 September. Pada saat kedatangan di kantor polisi mereka diinterogasi selama 17 jam di dua ruang yang berbeda.

Selama interogasi, mereka diancam dengan dakwaan makar karena surat pemberitahuan yang disampaikan menggunakan logo yang mengandung simbol gerakan pro kemerdekaan dari Negara Republik Federal Papua Barat (NRFB). Sepanjang interogasi, empat orang laki-laki tersebut dilarang untuk makan dan berkomunikasi dengan keluarga. Telepon genggam mereka juga disita. Sekitar pukul 2.00 WITA pada 19 September, mereka diantarkan pulang oleh truk polisi yang dijaga oleh tiga orang petugas polisi berseragam lengkap dan satu orang polisi berpakaian preman. Pada pagi pukul 11.00 WITA, mereka kembali dibawa dan diinterogasi di Polres Biak Numfor sebelum akhirnya dibebaskan 12 jam kemudian, pada pukul 23.00 WITA. Polisi diduga menginstruksikan kepada mereka untuk membatalkan seluruh rencana untuk prosesi dan memberitahu mereka bahwa mereka harus lapor diri ke polisi setiap 24 jam.

Meskipun dihadiri oleh anggota Polri dan TNI dalam jumlah yang banyak, prosesi tersebut tetap dilaksanakan pada 20 September. Pada hari itu, dalam perjalanan untuk lapor diri di Polres Biak Numfor, Piet Hein Manggaprouw dan Yoris Berotabui dihentikan oleh beberapa petugas intelejen dan dipaksa untuk memasuki kendaraan. Ketika mengamati prosesi dari dalam kendaraan, petugas intelijen diduga memaksa keduanya untuk mengidentifikasi aktivis NFRPB dalam prosesi. Mereka kemudian pergi ke bandara di mana mereka dipaksa untuk mengidentifikasi Dr Frans Kapisa, yang telah terbang ke Biak untuk memberikan air suci dan abu.

Petugas intelejen dilaporkan berkomunikasi dengan otoritas polisi lainnya melalui walkie talkie dalam kemungkinan rencana untuk menembak Kapisa pada saat kedatangannya dan menembak pimpinan aktivis lain yang terlibat pada prosesi untuk menyambut air suci dan abu. Di antara para aktivis yang disebutkan, terdapat Edison Kendi, Markus Yenu dan Marthinus Wandamani. Para petugas juga dilaporkan melakukan diskusi strategis untuk memaksa pembubaran demonstrasi, termasuk memukul atau menembak para demonstran yang tidak tunduk pada perintah.

Kami memahami bahwa keempat tokoh masyarakat tersebut belum didakwa dan sekarang tidak melapor ke polisi.

Kepulauan Yapen

Pada 25 September, sekitar pukul 17.00 WITA, dilaporkan bahwa Polres Yapen mengumumkan melalui radio nasional Indonesia yang menginstruksikan masyarakat untuk tidak menghadiri rencana prosesi pada 26 September. Malamnya, sekitar pukul 23.00 WITA, sebanyak 20 orang polisi berpakaian preman dan 2 aparat Kopasus TNI, sebagian diantaranya membawa senjata M-16 dan pistol, tiba di kediaman Edison Kendi di Serui, Kepulauan Yapen untuk menangkapnya. Dilaporkan bahwa ia ditahan karena keterlibatannya pada prosesi 26 September. Polisi diduga menyatakan bahwa berdasarkan UU tentang Organisasi Massa, persetujuan untuk berdemonstrasi tidak akan diberikan kepada kelompok-kelompok yang tidak terdaftar di Departemen Kesbangpol (Kesatuan Bangsa Dan Politik), sebuah badan dalam Kementerian Dalam Negeri (Depdagri). Penangkapan dipimpin oleh Kasat Reskrim Polres Yapen. Kendi menjalani proses penyelidikan di Polres Yapen. Setelah penangkapannya pada pukul 22.10 WITA, dua buah truk polisi tiba di kediaman Kendi dan dilaporkan menggeledah rumahnya untuk mencari dokumen yang berkaitan dengan aktivitas pro kemerdekaan.

Hari selanjutnya, pada 26 September, sekitar pukul 7.25 WITA Polres Yapen menangkap Demianus Burumi pada saat perjalanannya menuju bandara Serui untuk menyambut Dr. Frans Kapisa yang datang dari pulau Biak, membawa air suci dan abu.

Informasi terakhir mengindikasi bahwa Kendi dan Burumi telah dibebaskan dari tahanan.

Sebuah laporan dari pemantau HAM menyatakan bahwa pada saat prosesi di desa Mantebu pada 26 September telah dibubarkan secara paksa sekitar pukul 11.30 WITA oleh gabungan tugas TNI dan Polres Yapen. Polisi berusaha untuk menangkap Kapisa dan Markus Yenu tetapi kerumunan massa membuat mereka bisa melarikan diri. Berdasarkan laporan tersebut, aparat keamanan masih menjaga desa Mantembu.

Sumber online Papua melaporkan bahwa polisi juga menargetkan aktivis Yapen lainnya untuk ditangkap, termasuk Tinus Wandamani, Yan Piet Maniambo, Hendrik Warmetan, Pieter Hiowati dan Heppi Daimboa. Sebagaimana dilaporkan pada Update Agustus, polisi menggunakan taktik serupa di Kota Sorong, ketika 4 orang pimpinan komunitas – Apolos Sewa, Yohanis Goram Gaman, Amandus Mirino and Samuel Klasjok – ditangkap setelah prosesi doa dan menyampaikan pernyataan kepada media tentang solidaritas kepada Freedom Flotilla. Empat orang ini diinstruksikan untuk lapor kepada polisi dan telah didakwa melakukan tindakan makar dan menghasut.

Pembebasan

Boas Gombo dibebaskan setelah mengalami penurunan kesehatan mental

Informasi dari sumber HAM setempat menyampaikan perhatian atas penurunan kesehatan mental Boas Gombo, yang dibebaskan bersyarat pada 27 September. Boas Gombo ditahan pada 28 Februari 2013 dan dihukum 9 bulan penjara di LP Abepura setelah dihukum berdasarkan pasal 66 UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Kesehatan mentalnya menurun drastis sejak 11 September 2013, dilaporkan karena pemukulan keras yang dialaminya, termasuk pukulan bertubi-tubi di kepalanya, saat penahanan di Polsek Muara Tami. Dilaporkan, ia tidak menerima perawatan medis yang memadai di LP Abepura dan hanya diberi obat penenang. Ia akan diminta untuk lapor diri kepada pihak berwenang selama dua bulan.

Dipenus Wenda dibebaskan setelah hampir sepuluh tahun ditahan di penjara

Pengacara HAM melaporkan pembebasan Dipenus Wenda pada 19 Agustus. Pembebasannya adalah bagian dari remisi hari kemerdekaan pada 17 Agustus. Wenda ditahan pada 28 Maret 2004 ketika menyebarkan leaflet untuk kampanye boikot pemilu. Ia menghabiskan 9 tahun dan 7 bulan di LP Wamena.

Pengadilan bernuansa politik dan penilaian tentang kasus

Aplikasi Pembebasan Bersyarat untuk kasus pembobolan gudang senjata di Wamena ditolak

Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) telah melaporkan bahwa aplikasi pembebasan bersyarat disampaikan oleh salah satu pengacara atas nama kelima tahanan dalam kasus pembobolan gudang senjata di Wamenatelah ditolak. Pihak berwenang di Dirjen Pas (Direktor Jenderal Permasyarakatan) dilaporkan menyatakan bahwa aplikasi pembebasan bersyarat tidak diterima meskipun desakan pengacara bahwa ia telah diajukan tahun lalu. Ketika meminta klarifikasi, pihak berwenang di Dirjen Pas menjelaskan bahwa aplikasi yang lengkap diperlukan untuk hal tersebut untuk dipertimbangkan. Ini berarti bahwa dua dokumen harus diserahkan – Surat Jaminan dan Pernyataan Kesetiaan kepada Republik Indonesia –  karena lima tahanan didakwa dengan makar. Kelima para tahanan menolak menandatangani Pernyataan Kesetiaan, dan karena ini aplikasi mereka untuk pembebasan bersyarat didiskualifikasi. Aplikasi pembebasan bersyarat melalui berbagai tahap pertimbangan, mulai dari penguasa di LP ke Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia di Papua dan akhirnya ke Dirjen Pas.

Kelima tahanan – Apotnalogolik Lokobal, Kimanus Wenda, Linus Hiel Hiluka, Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen – didakwa dengan makar berdasarkan Pasal 106 KUHP Indonesia. Mereka ditangkap pada bulan April / Mei 2003, dalam operasi sweeping oleh militer di mana sembilan orang dibunuh dan 38 disiksa.

Tahanan pengibaran bendera di Yalengga meminta remisi

ALDP telah melaporkan bahwa empat orang dalam kasus pengibaran bendera di Yalengga – Meki Elosak, Wiki Meaga, Oskar Hilago dan Obed Kosay – meminta untuk remisi sebagai bagian kesepakatan remisi Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Ketika penyelidikan dibuat atas situasi mereka, otoritas LP Wamena dilaporkan menyatakan bahwa keempatnya akan menerima remisi dari Dirjen Pas. Pengaturan ini karena itu bukan bagian dari remisi 17 Agustus yang malah dikelola oleh Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia di Papua. Pengacara untuk empat pria tersebut juga akan mengajukan grasi. Keempat pria terus ditahan di LP Wamena.

Kekhawatiran tentang kesehatan mental tahanan 1 Mei

Informasi yang diterima dari sumber HAM di Papua melaporkan kekhawatiran tentang Yohanes Boseren di kasus 1 Mei di Biak dan Obeth Kamesrar di kasus 1 Mei di Aimas. Kedua orang itu ditangkap tahun ini sehubungan dengan kegiatan damai memperingati 1 Mei menandakan 50 tahun sejak transfer administrasi Papua ke Indonesia. Borseren dipukuli pada saat penangkapan, dan menerima beberapa pukulan keras ke kepala. Obeth Kamesrar, seorang tahanan tua berusia 68 tahun, dilaporkan sentiasa diam sejak penangkapan dan tampaknya menderita trauma.

Kasus yang menjadi perhatian

Warga sipil ditahan sewenang-wenang dan disiksa oleh polisi Waena

Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Bagian Gereja Kingmi di Tanah Papua (GKI-TP) telah melaporkan penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap seorang warga sipil di Waena. Pada tanggal 26 September, Nahor Stefanus Yalak ditangkap oleh polisi Waena diduga karena mendapat panggilan dari warga atas teriakan yang terlalu bising di daerah tersebut. Pada 19.00, polisi membawa Yalak ke pos polisi terdekat di mana dia disiksa. Yalak dilaporkan dipaksa untuk berbaring di lantai dengan tangan terikat sementara polisi yang memakai sepatu bot yang berat menginjak tangannya, dan menendang dan memukulinya di punggung tangan, wajah, punggung, paha dan lutut. Dia juga dicambuk di bagian belakang dengan kabel tebal. Seorang anggota polisi juga dilaporkan merobek sebuah kalung salib dari leher Yalak itu. Satu jam kemudian, dia dibawa ke Polsek Abepura di mana ia ditahan semalam sebelum dibebaskan pada pukul 07.30 pada pagi berikutnya. Yalak menderita luka serius dan memiliki kesulitan berjalan.

Laporan KontraS Papua mengungkapkan keprihatinan tentang perawatan medis yang tidak memadai dan kondisi kehidupan di penjara Abepura

Sebuah laporan yang diterima dari organisasi HAM, KontraS Papua, tentang kunjungan mereka ke LP Abepura pada bulan Agustus telah mengungkapkan kekhawatiran serius tentang kesehatan medis yang tidak memadai dan kondisi kehidupan di LP Abepura. Jefrai Murib, dilaporkan dalam update Juli sebagai membutuhkan perawatan segera untuk stroke yang dialami, sudah mulai pulih dari penyakitnya dengan perlahan meskipun dia menerima perawatan medis yang tidak memadai. Dia sekarang dapat bergerak tangannya dan mendapatkan kembali rasa sentuhan. Otoritas LP masih tidak mematuhi rekomendasi mengenai jumlah kunjungan ke rumah sakit yang diperlukan. Laporan KontraS Papua menyatakan bahwa otoritas LP sering mengutip alasan kurangnya transportasi, staf atau waktu untuk menunda pengiriman Murib ke rumah sakit.

Laporan ini juga mengungkapkan masalah lain, termasuk kekurangan makanan bergizi di LP, kurangnya alas tidur dan air bersih, dan fasilitas toilet yang rusak. Tahanan seringkali dipaksa mengangkat air dari tangki apabila pipa kamar mandi berhenti bekerja. Ferdinand Pakage, yang menderita sakit kepala yang parah, dilaporkan tidak dapat mengangkat barang-barang berat karena kondisi ini dan sering mengalami sakit kepala keras jika dipaksa untuk melakukannya. Laporan tersebut menyatakan bahwa Pakage diberi obat yang tidak memadai untuk mengobati sakit kepalanya yang tidak menyembuhkan dia dari rasa sakitnya. Menurut salah satu dokter di LP Abepura, sakit kepala Pakage disebabkan oleh urat tersumbat dan pengobatan lebih lanjut harus diberikan. Namun ketika staf KontraS Papua meminta rincian lebih lanjut, staf Abepura lain tidak mengetahui adanya rencana untuk mencari perawatan medis lebih lanjut untuk Pakage. Kondisi Filep Karma, yang telah menderita efek dari penyakit jantung, dilaporkan telah membaik.

Polisi menggrebek kediaman mantan tahanan politik Buchtar Tabuni

Majalah Selangkah melaporkan penggerebekan di kediaman Buchtar Tabuni di Jayapura oleh sebuah gabungan aparat polisi dan militer pada tanggal 26 September. Penggerebekan itu dipimpin oleh Kepala Polres Jayapura, Alfret Papare, Komisaris Kepala Polisi, Kiki Kurnia, dan Kepala Polsek Abepura, dibantu oleh Infanteri dari Komando Daerah Militer. Aparat keamanan dilaporkan tiba dengan empat kendaraan dan bersenjata lengkap. Mereka menggeledah seluruh rumah, mencari Buchtar Tabuni. Beberapa aktivis KNPB yang datang ke tempat kejadian mencari jawaban atas mengapa rumah itu sedang diserbu, tetapi mereka menerima ancaman dari aparat keamanan. Mereka meninggal pada pukul 16.00 dan menuju ke kota Jayapura. Rupanya, tidak ada alasan yang diberikan mengapa mereka melakukan serangan itu.

Berita

16 tahanan politik di LP Abepura menandatangani surat dukungan dalam menanggapi pernyataan Vanuatu di Majelis Umum PBB tentang hak asasi manusia di Papua

Pada tanggal 28 September 2013, Perdana Menteri Republik Vanuatu, Moana Kalosil Karkas, meminta PBB untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan status politik wilayah Papua. 16 tahanan politik di penjara Abepura menandatangani surat dukungan untuk pernyataan ini dan menyatakan terima kasih mereka kepada Perdana Menteri dan Republik Vanuatu atas komitmen dan konsistensi mereka dalam mendukung perjuangan Papua Barat.

Tahanan politik Papua bulan September 2013

  Tahanan Tanggal Penahan Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/Penjara
1 Victor Yeimo 13 Mei 2013 160 3 tahun  (dijatuhkan pada 2009) Demo tahun 2009; Demo 13 Mei di Jayapura Tidak Ya Abepura
2 Astro Kaaba 3 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
3 Hans Arrongear Tidak diketahui Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
4 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
5 Yoseph Arwakon 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
6 Yohanes Boseren 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
7 Markus Sawias 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
8 George Syors Simyapen 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
9 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
10 Domi Mom 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
11 Alfisu Wamang 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
12 Musa Elas 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
13 Eminus Waker 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
14 Yacob Onawame 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
15 Hengky Mangamis 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
16 Yordan Magablo 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
17 Obaja Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
18 Antonius Safuf 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
19 Obeth Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
20 Klemens Kodimko 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
21 Isak Klaibin 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei; dituduh TPN/OPM Tidak Ya Polres Sorong
22 Yahya Bonay 27 April 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Tahanan polres Serui
23 Atis Rambo Wenda 4 April 2013 170 10 bulan Dituduh pidana kekerasan Ya Ya Abepura
24 Yogor Telenggen 10 Maret 2013 340, 338, 170, 251, UU Darurat 12/1951 Menunggu sidang Penembakan Pirime tahun 2012 Ya Ya Polda Papua
25 Isak Demetouw(alias Alex Makabori) 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Dituduh TPN/OPM Tidak Sidang tertunda Sarmi
26 Daniel Norotouw 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Dituduh TPN/OPM Tidak Sidang tertunda Sarmi
27 Niko Sasomar 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Dituduh TPN/OPM Tidak Sidang tertunda Sarmi
28 Sileman Teno 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Dituduh TPN/OPM Tidak Sidang tertunda Sarmi
29 Andinus Karoba 10 Oktober 2012 365(2), UU 8/1981 Hukum Acara Pidana 1 tahun 10 bulan Aktivis Demak dituduh pencurian Ya Ya Abepura
30 Yan Piet Maniamboy 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
31 Edison Kendi 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
32 Jefri Wdanikbo 7 Juni 2012 340, 56, Law 8/1981 8 tahun Dituduh pidana kekerasan di Wamena Ya Ya Abepura
33 Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 2.5 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
34 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
35 Bastian Mansoben 21 Oktober 2012 UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus bahan peledak di Biak Possession of explosives Tidak Biak
36 Forkorus Yaboisembut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
37 Edison Waromi 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
38 Dominikus Surabut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
39 August Kraar 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
40 Selphius Bobii 20 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
41 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
42 Oskar Hilago 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
43 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
44 Obed Kosay 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
45 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
46 George Ariks 13 Maret 2009 106 5 tahun Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak Manokwari
47 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ya Abepura
48 Ferdindan Pakage 16 Maret 2006 214 15 tahun Kasus Abepura tahun 2006 Ya Ya Abepura
49 Jefrai Murib 12 April 2003 106 Life Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Abepura
50 Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
51 Kimanus Wenda 12 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
52 Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Life Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak
53 Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek tentang tahanan politik di Papua Barat.

Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Anda dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

Share

Orang Papua di balik Jeruji: October 2013

Ringkasan

Pada akhir September 2013, terdapat 54 orang tahanan politik dalam penjara di Papua. Jumlah penangkapan politik telah meningkat secara signifikan sejak Agustus 2013 dan ini berlanjut pada bulan Oktober, dengan puluhan ditangkap dalam demonstrasi damai di Papua. Meskipun sebagian besar yang ditahan telah dibebaskan, terdapat laporan tentang adanya intimidasi polisi – di Biak, tahanan dipaksa untuk menandatangani pernyataan kepatuhan. Pada tanggal 16 Oktober, tiga aktivis ditahan selama beberapa jam selepas  sesi doa yang diadakan di Kaimana untuk merayakan ulang tahun pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP). Pada tanggal 19 Oktober, pemimpin demonstrasi dalam peringatan ulang tahun kedua Kongres Papua Ketiga, Piethein Manggaprouw, ditangkap dan dikenakan Pasal makar dan penghasutan .

Terdapat laporan kekhawatiran mengenai kesehatan tahanan dalam kasus Biak, Timika dan Aimas peringatan 1 Mei. Keenam tahanan kasus Biak 1 Mei sekarang menghadapi dakwaan makar, penghasutan dan kepemilikan senjata api dan bahan peledak. Dalam kasus Aimas 1 Mei , ketujuh tahanan dibuat untuk bersaksi terhadap satu sama lain (Menjadi Saksi Mahkota). Kejakasaan dalam kasus makar di Sarmi telah menuntut hukuman penjara empat tahun untuk tiga terdakwa lainnya. Panggilan telah dibuat untuk  meminta pertanggungjawaban hukum dan transparansi dalam penyelidikan polisi atas kematian Alpius Mote, yang dibunuh oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) dalam operasi sweeping pada tanggal 23 September.

Penangkapan

51 penangkapan  pada demonstrasi damai memperingati ulang tahun Kongres Papua Ketiga

Puluhan aktivis  ditangkap pada  demonstrasi damai yang diselenggarakan di seluruh Papua saat memperingati ulang tahun kedua dari Kongres Papua Ketiga pada tanggal 19 Oktober 2013. Menurut sebuah laporan investigasi aktivis ​​HAM setempat, aparat keamanan berusaha untuk membubarkan demonstrasi di Jayapura, Yapen dan Sorong. Menurut laporan yang sama, 22 aktivis ditangkap di Fak-fak dan ditahan selama beberapa jam sebelum dibebaskan. Tiga dari mereka yang ditahan adalah penyelenggara demonstrasi – Daniel Hegemur, Imbron Kutanggas dan Yanto Hindom.

Di Biak, aparat gabungan TNI dan Polri menangkap 29 demonstran termasuk 6 perempuan, dan menahan mereka selama beberapa jam di Polres Biak. Aktivis setempat melaporkan bahwa mereka yang ditahan dipaksa untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam kegiatan politik. Namun Pemimpin demonstrasi, PietheinManggaprouw tetap ditahan di rutan polres dan telah didakwa denganPasal 106 dan 110 KUHPIndonesia untuk makar dan penghasutan.

Lima aktivis Papua terkemuka masih ditahan atas keterlibatan damai mereka dalam Kongres Papua Ketiga pada tanggal 19 Oktober2011.Forkorus Yaboisembut, EdisonWaromi, Dominikus Sorabut, August Kraar dan Selpius Bobii sedang menjalani hukuman penjara tiga tahun atas dakwaan makar.

Tiga aktivis ditangkap pada sebuah penggeledahan di Kaimana selepas ibadah memperingati IPWP

Pada 16 September, kelompok-kelompok masyarakat sipil terlibat dalam aksi politik di beberapa kota berbedah  di Papua untuk memperingati ulang tahun pembentukan Anggota Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP, International Parliamntarians for West Papua), sebuah kumpulan pelbagai kelompok politikus  dari seluruh dunia yang menyokong  pemisahan diri untuk rakyat Papua Barat. Di Kaimana, sesi ibadah dilakukan di kantor Sekretariat PRD (Parlemen Rakyat Daerah) Kaimana dari 9:00 ke 13:00. Menurut  laporan oleh aktivis setempat,tiga pria kemudiannya ditahan sekitar jam 21:30 di bawah perintah Kapolres Kaimana. Ketiga aktivis dari KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang ditangkap adalah Barias Bary, Luter Soba dan Isay Irini. Mereka dilaporkan dilepas keesokan harinya.

Para aktivis melaporkan bahwa aparat gabungan TNI dan Polri menggerebek kantor Sekretariat PRD Kaimana untuk melakukan penangkapan, serta merusak pintu pagar kantor tersebut. Aparat keamanan juga menggeledah kediaman Kepala PRD Kaimana selama  pencarian untuk menangkap tiga pria tersebut. Mereka juga dilaporkan menyita pisau dapur, parang, tombak ikan dan buku tamu PRD Kaimana. Mengikuti berita  dari Tabloid Jubi, aktivis KNPB menyatakan bahwa tembakan dilepaskan diluar kediaman Kepala PRD Kaimana. Menurut aktivis setempat, kepolisian Kaimana memberi pernyataan bahwa mereka sedang mencari seorang tersangka dalam kasus pembunuhan.

Pembebasan

Tidak terdapat laporan pembebasan tahanan politik pada bulan Oktober 2013.

Pengadilan bernuansa politik dan penilaian tentang kasus

Enam tahanan kasus Biak1 Mei menghadapi tuduhan makardan pemilikan bahan peledak dan amunisi

Persidangan untuk keenam tahanan dalam kasus Biak 1 Mei dimulai pada 28 Oktober dengan sidang mendegarkan dakwaan. Oktovianus Warnares, Yoseph Arwakon, Yohanes  Boseren, Markus Sawias, George Syors Simyapen dan Jantje Wamaer menghadapi tuduhan dibawah Pasal106 dan 110 KUHP untuk makar dan penghasutan dan UU Darurat12/1951 mengenai pemilikian bahan peledak dan amunisi.

Pernyataan Jaksa Penuntut Umum menuduh keenam orang sebagai  kelompok TPN/OPM bersenjata dan menyatakan bahwa pada tanggal 1 Mei 2013 mereka diduga memaksa masyarakat di Biak di bawah todongan senjata untuk berpartisipasi dalam upacara pengibaran bendera. Markus Sawias dituduh mengancam Yonadap Rumbewas, seorang petugas  tentara Intel Korem Biak dengan sebuah airsoft gun. Surat dakwaan juga menyatakan bahwa Rumbewas melepaskan tembakan peringatan ke udara dan menurut laporan meminta dialog dengan para pria yang hadir, namun Jantje Wamaer dilaporkan menyerangnya. Rumbewas bereaksi dengan menembak Wamaer di kaki. Oktovianus Warnares juga dituduh dengan kepemilikan bom rakitan, ‘airsoft gun’dan sebuah parang.

Seperti dilaporkan di update sebelumnya, sumber HAM di Papua menyatakan bahwa upacara pengibaran bendera adalah kegiatan politik damai  memperingati 1 Mei, tanggal yang menandai pemindahan  administrasi Papua ke Indonesia. Peneliti setempat melaporkan bahwa polisi melepaskan tembakan ke kerumunan berjumah 50 orang menyebabkan luka yang diderita oleh Wamaer. Aktivis setempat juga sebelumnya menyatakan bahwa barang-barang yang ditemukan pada enam orang yang dituduh adalah telah dibuat  oleh polisi Biak Numfor semasa periode dua bulan penyelidikan.

Sebagaimana dilaporkan dalam update bulan September lalu, Yohanes Boseren yang dipukuli pada saat penangkapannya, menerima beberapa pukulan ke bagian kepala dan dilaporkan menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa . Pengacara HAM yang mewakili enam orang tersebut telah mengajukan permohonan kepada Kejaksaan umum dan pihak berwenang di LP untuk melepaskan Boseren atas dasar kemanusiaan dan untuk mendapatkan perawatan medis, namun belum ada balasan.

Pengacara HAM setempat juga melaporkan bahwa tim pengacara untuk keenamnya telah menghadapi intimidasi dan pelecehan dari anggota Intel Korem. Mereka dilaporkan dipaksa untuk memberikan nama lengkap semua anggota tim pengacara, dimana mereka menolak untuk melakukannya. Seorang assisten pengacara Imanuel Rumayom  juga diikuti oleh petugas Intel Korem setelah salah satu sidang. Laporan juga diterima atas kehadiran banyaknya  aparat TNI dan polisi dipersidangan tersebut.

Menurunnya kesehatan dan prosedur persidangan tidak adil dikasus Aimas 1 Mei

Persidangan untuk Hengky Mangamis, YordanMagablo, Obaja Kamesrar, Antonius Saruf, ObethKamesrar, Klemens Kodimko dan Isak Klaibin dalam kasus Aimas 1 Mei dilanjutkan pada bulan Oktober dengan persidangan mendengarkan  saksi. Informasi yang diterima dari pengacara HAM menyatakan bahwa terdakwa dipaksa untuk bersaksi terhadap satu sama lain. Pengacara menyatakan kekecewaannya dengan sikap hakim ketika mereka membuat tuduhan terhadap Isak Klaibin ketika ia dipanggil sebagai saksi bagi Obaja Kamesrar. Selama pemeriksaan saksi, terlihat jelas  bahwa selain dari Klaibin dan Kamesrar yang memiliki hubungan keluarga dengan Obaja Kamesrar, para tahanan lain tidak saling mengenali sebelum upacara peringatan pada tanggal 30 April.

Pengacara HAM melaporkan bahwa pada sidang pada tanggal 30 September, Antonius Saruf pingsan selepas memberi kesaksian karena kondisi jantung yang diperburuk oleh stres. Hal yang sama terjadi dalam penahanan semasa penyelidikan polisi pada bulan Mei. Klemens Kodimko juga dilaporkan menderita sakit maag (acute gastric ulcers),tapi tetap terus dengan persidangan pada 11 Oktober walaupun kondisinya memburuk. Pengacara telah melaporkan bahwa Kodimko pingsan dan terluka kepalanya di LP Sorong, di mana ketujuh terdakwa saat ini ditahan, oleh karena rasa sakit akut yang diderita. Pengacara telah meminta hakim untuk memberi Kodimko akses ke perawatan medis. Sebagai tanggapan, hakim telah memberitahu pengacara pembela bahwa mereka diijinkan untuk mengunjunginya di LP dengan perobatan tetapi dengan koordinasi pihak berwenang di LP. Sebagaimana dilaporkan dalam update bulan September, seorang tahanan dalam kasus Aimas 1 Mei, Obeth Kamesrar, berumur 68 tahun dilaporkan telah menjadi pendiam sejak penangkapan dan tampaknya menderita trauma .

Para pengacara pembela telah menyatakan bahwa mereka tidak akan mempertimbangkan keterangan saksi dari pegawai Kesbangpol dan Kepala Distrik Aimas  karena bukan merupakan saksi fakta. Mereka juga menyatakan bahwa kesaksiaan yang diberikan sebelumnya oleh dua saksi polisi tidak cukup jelas menjelaskan peranan para tahanan dalam insiden pada 30 April.

Tahanan Timika Mei 1 dituduh makar dinolak perawatan medis

Laporan yang diterima dari pengacara HAM setempat menunjukkan bahwa lima tahanan dalam kasus Timika 1 Mei telah didakwa makar dan penghasutan di bawah Pasal 106 dan 110 KUHP Indonesia. Domi Mom, Alfisu Wamang, Musa Elas, Eminus Waker dan Yacob Onawame sudah dalam penahanan sejak 1 Mei 2013.  Walaupun sidang telah dimulai, sidang pemeriksaan saksi sudah ditunda tiga kali karena dikarenakan  saksi tidak bisa hadir. Kelima orang itu disiksa dalam penahanan dan tiga dari mereka – Musa Elas, Yacob Onawame dan Alfisu Wamang – menderita dengan menurunnya kesehatan. Permintaan dari keluarga mereka kepada Anggota Polres Mimika untuk menyediakan perawatan medis yang memadai di rumah sakit telah tidak direspon.

Empat tokoh masyarakat di Sorong didakwa makar menerima dukungan hukum

Seperti dilaporkan dalam update Agustus kami, empat tokoh masyarakat – Apolos Sewa, Yohanis Goram Gaman, Amandus Mirino dan Samuel Klasjok – ditangkap setelah melakukan ibadah dan pernyataan pers dalam aksi solidaritas dengan Freedom Flotilla dan didakwa dengan makar dan penghasutan. Sebuah koalisi pengacara HAM memberikan dukungan hukum kepada keempat aktivis yang sedang menjalani penyelidikan polisi di Sorong. Hal ini belum diketahui kapan mereka akan menghadapi pengadilan atas dakwaan terhadap mereka.

Aplikasi bebas bersyarat  untuk tahanan dalam kasus pembobolan gudang senjata di Wamena ditolak

Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP ) telah melaporkan bahwa aplikasi bebas bersyarat diajukan oleh salah satu pengacara atas nama lima tahanan dalam kasus pembobolan gudang senjata di Wamena telah ditolak. Pihak berwenang di Direktor Jenderal Permasyarakatan (Dirjen Pas) menyatakan bahwa aplikasi bebas bersyarat tidak diterima meskipun desakan pengacara telah disampaikan tahun lalu. Ketika diminta klarifikasi, pihak berwenang di Dirjen Pas menjelaskan bahwa aplikasi yang lengkap diperlukan untuk hal tersebut dapat dipertimbangkan. Ini berarti bahwa dua dokumen harus diserahkan – Surat Jaminan dan Pernyataan Kesetiaan kepada Republik Indonesia  – karena kelima tahanan didakwa makar. Ini adalah persyaratan berdasarkan peraturan pemerintah atas kejahatan terhadap negara. Para tahanan menolak menandatangani Pernyataan Kesetiaan, dengan demikian membatalkan aplikasi bebas bersyarat. Aplikasi bebas bersyarat melalui berbagai tahap pertimbangan, dan mulai dari pihak berwenang di LP ke Kanwil Kementerian Hukum dan HAM di Papua dan akhirnya kepada Dirjen Pas.

Kelima orang tersebut – Apotnalogolik Lokobal, Kimanus Wenda, Linus Hiel Hiluka, Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen – didakwa dengan makar berdasarkan Pasal 106 KUHP. Mereka ditangkap pada bulan April/Mei 2003, oleh karena operasi sweeping militer di mana sembilan orang tewas, 38 disiksa dan 11 ditangkap. Tiga dari mereka yang ditangkap telah meninggal saat menjalani hukuman mereka. Kelima tahanan yang tersisa sedang mejalani hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup.

Dua tahanan dalam kasus pembobolan gudang senjata di Wamena meminta pengurangan hukuman seumur hidup

Sebuah laporan yang diterima dari ALDP telah menyatakan bahwa permintaan untuk hukuman seumur hidup Jefrai Murib untuk diubah menjadi hukuman jangka waktu tertentu, telah diajukan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Mereka meminta untuk  mengurangi hukuman Murib ke 20 tahun penjara. Karena kesalahan administrasi, permintaan serupa untuk pengurangan hukuman untuk Numbungga Telenggen telah ditolak oleh KanwilKementerian Hukum dan HAM. Pihak berwenang di LP Biak diwajibkan untuk mengirimkan dokumen lengkap ke Kanwil Hukum dan HAM di Jayapura sebelum proses pertimbangan dapat dilanjutkan. Kedua tahanan ditangkap pada bulan April 2003 di sebuah operasi sweeping militer di mana sembilan orang tewas dan 38 disiksa.

Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan dalam sidang makar Sarmi

Pengacara HAM telah melaporkan bahwa setelah empat kali penundaan untuk sidang kasus makar di Sarmi, sidang dilanjutkan pada tanggal 9 Oktober dengan  tuntutan Jaksa untuk hukuman penjara empat tahun untuk Alex Makabori (alias Isak Demetouw), Niko Sasomar dan Sileman Teno, dan hukuman penjara satu tahun untuk Daniel Norotouw. Pada tanggal 23 Oktober 2013, pengacara HAM  menanggapi  tuntutan Jaksa. Sebagaimana dilaporkan dalam update Mei, menurut sebuah wawancara dengan keempat tahanan dengan seorang aktivis setempat, mereka ditangkap pada 3 Maret 2013 setelah sebuah acara sosialisasi kepada penduduk di Sarmi, ditujukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai acara peringatan 1 Mei. Keempat orang menyatakan bahwa bukti ditanam oleh aparat keamanan untuk menuntut mereka. Mereka masih ditahan di LP Abepura sambil menunggu vonis.

Kasus yang menjadi perhatian

Panggilan untuk Pertanggungjawaban hukum dan transparansi dalam penyelidikan polisi atas penembakan di Waghete

Sebagaimana dilaporkan dalam update bulan September, pada tanggal 23 September empat warga sipil ditangkap di Waghete dalam operasi sweeping di mana dua anggota Brimob menembak mati Alpius Mote, seorang warga sipil. Informasi dari aktivis HAM setempat telah mengungkapkan bahwa keempat warga yang ditahan telah dibebaskan. Sebuah artikel di situs kelompok HAM Papua, Elsham Papua melaporkan bahwa salah satu dari empat pria, Yance Pekey, dipukuli oleh polisi saat ditahan di Polres Paniai.

Para keluarga korban dan kelompok masyarakat sipil, termasuk Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) telah menyerukan aparat kepolisianPaniai untuk dimintai pertanggungjawaban hukum atas insiden tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD) mengeluarkan pernyataan mendesak polisi untuk melakukan peyelidikan yang  transparan  atas insiden tersebut  dan untuk kedua pelaku untuk bertanggung jawab. Kapolres Paniai, Semmy Ronny TH Abba telah menyatakan bahwa ia siap untuk menerima pertanggungjawaban dan dicopot dari jabatannya jika investigasi yang dilakukan oleh PROPAM (Provos Pengamanan), pengaduan internal dan mekanisme penyelidikan kepolisian, membuktikan kesalahan polisi.

Berita

Rombongan Brisbane untuk Solidaritas untuk Papua Barat bertindak dalam solidaritas dengan tahanan politik Papua

Pada bulan September 2013, Rombongan Brisbane untuk Solidaritas untuk Papua Barat berpartisipasi dalam beberapa festival bahasa dan budaya di sekitar Australia, mengadakan kios-kios informasi untuk mengkampanyekan dan meningkatkan kesadaran untuk Papua Barat dengan menggunakan selebaran, petisi dan pameran foto. Rombongan aktivis tersebut meningkatkan kesadaran mengenai isu tahanan politik, menyediakan kartu pos yang disesuaikan dengan ukuran tertentu dan dikirim ke tahanan di Papua .

“Semalam tanpa Filep Karma, ” UK

Pada tanggal 18 Oktober 2013, sebuah acara yang diorganisasikan oleh Amnesty UK dan diadakan di Pusat Solidaritas Internasional Reading berkampanye untuk pembebasan Filep Karma, yang saat ini menjalani hukuman 15 tahun penjara atas keterlibatannya dalam upacara damai pengibaran bendera pada tahun 2004. Aktivis HAM  Peter Tatchell, Pendiri Pengacara Internasional untuk Papua Barat (ILWP, International Lawyers for West Papua) Melinda Janki , dan mantan tahanan politik dan pemimpin Free West Papua Campaign Benny Wenda berbicara di acara tersebut, menyoroti isu-isu yang dihadapi oleh tahanan politik Papua.

Tahanan politik Papua bulan Oktober 2013

  Tahanan Tanggal Penahan Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/Penjara
1 Piethein Manggaprouw 19 October 2013 106, 110 Unknown Third Papuan Congress demo in Biak Tidak Persidangan ditunda Biak Regional police station
2 Victor Yeimo 13 Mei 2013 160 3 tahun  (dijatuhkan pada 2009) Demo tahun 2009; Demo 13 Mei di Jayapura Tidak Ya Abepura
3 Astro Kaaba 3 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
4 Hans Arrongear Tidak diketahui Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
5 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
6 Yoseph Arwakon 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
7 Yohanes Boseren 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
8 Markus Sawias 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
9 George Syors Simyapen 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
10 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
11 Domi Mom 1 Mei 2013 106, 110 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
12 Alfisu Wamang 1 Mei 2013 106, 110 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
13 Musa Elas 1 Mei 2013 106, 110 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
14 Eminus Waker 1 Mei 2013 106, 110 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
15 Yacob Onawame 1 Mei 2013 106, 110 Dalam persidangan Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
16 Hengky Mangamis 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
17 Yordan Magablo 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
18 Obaja Kamesrar 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
19 Antonius Saruf 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
20 Obeth Kamesrar 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
21 Klemens Kodimko 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
22 Isak Klaibin 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
23 Yahya Bonay 27 April 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Tahanan polres Serui
24 Atis Rambo Wenda 4 April 2013 170 10 bulan Aktivis disiksa di Waena, dituduh pidana kekerasan Ya Ya Abepura
25 Yogor Telenggen 10 Maret 2013 340, 338, 170, 251, UU Darurat 12/1951 Menunggu sidang Penembakan Pirime tahun 2012 Ya Ya Polda Papua
26 Isak Demetouw(alias Alex Makabori) 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Makar Sarmi Tidak Dalam persidangan Sarmi
27 Daniel Norotouw 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Makar Sarmi Tidak Dalam persidangan Sarmi
28 Niko Sasomar 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Makar Sarmi Tidak Dalam persidangan Sarmi
29 Sileman Teno 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Makar Sarmi Tidak Dalam persidangan Sarmi
30 Andinus Karoba 10 Oktober 2012 365(2), UU 8/1981 Hukum Acara Pidana 1 tahun 10 bulan Aktivis Demmak di Jayapura Ya Ya Abepura
31 Yan Piet Maniamboi* 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
32 Edison Kendi* 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
33 Jefri Wandikbo 7 Juni 2012 340, 56, UU 8/1981 8 tahun Aktivis KNPB disiksa di Jayapura Ya Ya Abepura
34 Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 2.5tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
35 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
36 Bastian Mansoben 21 Oktober 2012 UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus bahan peledak di Biak Kepemilikian bahan peledak Tidak Biak
37 Forkorus Yaboisembut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
38 Edison Waromi 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
39 Dominikus Surabut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
40 August Kraar 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
41 Selpius Bobii 20 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
42 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
43 Oskar Hilago 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
44 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
45 Obed Kosay 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
46 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
47 George Ariks 13 Maret 2009 106 5 tahun Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak Manokwari
48 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ya Abepura
49 Ferdinand Pakage 16 Maret 2006 214 15 tahun Kasus Abepura tahun 2006 Ya Ya Abepura
50 Jefrai Murib 12 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Abepura
51 Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
52 Kimanus Wenda 12 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
53 Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak
54 Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak

 * Meskipun Edison Kendi dan Yan Piet Maniamboi kini telah dibebaskan dari tahanan, mereka masih sedang menghadapi hukuman penjara 2 tahun dan 18 bulan masing-masing. Putusan tersebut saat ini sedang dilakukan upaya banding. Sebagaimana dilaporkan dalam laporan bulan September kami, Kendi ditahan lagi dan diinterogasi dalam kaitannya dengan demonstrasi damai sebelum dibebaskan.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah sebuah upaya tentang tahanan politik di Papua Barat. Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Anda dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

Share