Filep Karma

Dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun karena tindakan mengibarkan bendera Bintang Kejora, Filep Karma tidak diragukan lagi sebagai tahanan politik paling terkenal di Papua Barat. Pembebasan dia pada 19 November 2015 sangat dinantikan dan dirayakan oleh masyarakat sipil di Papua, maupun komunitas HAM nasional dan internasional.

Putra seorang politisi lokal terkenal yang berasal dari pulau Biak, Filep Karma menempuh pendidikan ilmu politik di Jawa sebelum bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Papua.

Masa tahanan pertama Filep Karma untuk makar terjadi pada minggu-minggu euforia menyusul jatuhnya rezim Soeharto, ketika rakyat di seluruh Indonesia bangkit merebut berbagai kemungkinan baru untuk mengekspresikan aspirasi mereka dan berusaha untuk memperbaiki ketidakadilan akibat kediktatoran. Human Rights Watch telah mencatat berbagai demonstrasi yang pecah di seluruh Papua, ketika rakyat Papua disemangati oleh adanya surat dari sekelompok anggota Kongres AS yang meminta Presiden Habibie untuk meninjau kembali status Papua Barat dan Timor Timur. Pada tanggal 2 Juli 1998 Filep Karma memimpin demonstrasi di Biak dimana bendera Bintang Kejora dikibarkan pada sebuah menara air di dekat pelabuhan. Meskipun telah terjadi konfrontasi dengan polisi pada hari yang sama, para demonstran berhasil mempertahankan bendera dan pelabuhan selama empat hari.

Bendera Bintang Kejora adalah simbol identitas Papua dan dipandang sebagai lambang pengkhianatan oleh negara Indonesia. Meskipun bendera tersebut diperbolehkan pemakaiannya menurut undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang berkaitan dengan tata pemerintahan Papua, hal itu kemudian dilarang penggunaannya melalui Peraturan Presiden 77/2007.

Pada pagi hari tanggal 6 Juli, militer mengambil alih pelabuhan Biak. Eben Kirksey, seorang antropolog Amerika yang kebetulan berada di Biak pada saat itu melaporkan bahwa Filep Karma ditembak di kedua kakinya tetapi selamat. Namun ia juga mencatat kesaksian dari para saksi mata yang mengatakan bahwa sejumlah truk dipenuhi dengan muatan orang-orang yang sekarat maupun yang mati, dan para peneliti lokal melaporkan bahwa sebanyak 139 mayat telah dimuat ke dalam dua kapal milik angkatan laut dan dibuang di laut. Sebanyak 32 mayat kemudian ditemukan terdampar di sepanjang pantai.

Andreas Harsono, seorang konsultan untuk Human Rights Watch mencatat dari 150 orang yang ditangkap hari itu, 19 di antaranya diproses di pengadilan, termasuk Filep Karma. Pada tanggal 25 Januari 1999 Karma dijatuhi hukuman enam setengah tahun penjara, namun ia kemudian mengajukan banding dan dibebaskan setelah menghabiskan 18 bulan dalam tahanan. Sebuah artikel di surat kabar lokal Papua Cenderawasih Pos menegaskan bahwa Ia dikenai tuntutan Makar menurut pasal 106 dari KUHP Indonesia, dan menyebutkan bahwa sekitar 2000 simpatisan menghadiri persidangannya.

Setelah Ia dibebaskan, menurut Andreas Harsono, Karma terus bekerja untuk pemerintah, serta melatih para pegawai negeri sipil baru. Pada tanggal 1 Desember 2004, hari dimana banyak orang Papua mengakuinya sebagai peringatan pemberian kemerdekaan oleh Belanda, Karma sekali lagi ditangkap karena mengorganisir pengibaran bendera. Dalam laporan mereka berjudul “Protes dan Hukuman – Tahanan Politik di Papua Barat,” Human Rights Watch mencatat bahwa Filep Karma telah mengirimkan surat kepada polisi setempat yang bermaksud untuk menyelenggarakan perayaan tersebut di Lapangan Trikora, Abepura, pada hari itu. Acara tersebut terdiri dari pidato, doa dan tarian (pidato Filep Karma hari itu dapat dilihat di Youtube), dan selama itu bendera Bintang Kejora dikibarkan. Bentrokan pecah saat polisi mencoba untuk menurunkan bendera, dan polisi melepaskan tembakan ke kerumunan massa.

Karma, bersama dengan Yusak Pakage ditangkap pada hari berikutnya. Surat kabar nasional Tempo melaporkan bahwa sebagai protes terhadap penahanannya, Karma mulai melakukan mogok makan dan juga mengikatkan kain putih di mulutnya serta menolak untuk berbicara.

Selama proses persidangan, menurut Human Rights Watch, baik Filep Karma dan Yusak Pakage menantang otoritas pengadilan untuk mengadili mereka, mengklaim bahwa mereka adalah warga Negara Papua Barat, bukan Indonesia. Para pembela juga memprotes ketidaknetralan salah satu hakim, setelah serangkaian pernyataan inflamasi (cenderung memancing kemarahan dan provokatif). Hakim tersebut rupanya mengatakan kepada polisi untuk “Pecahkan saja di kepala Filep kalau dia berulah” dan bahkan berkata kepada seorang perempuan pengunjuk rasa pro-Karma “Kamu mau mati ya?” sambil meninju dan menendang perempuan tersebut. Para pengacara pembela juga menjadi sasaran intimidasi; misalnya dengan meninggalkan kepala anjing terpenggal di teras kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua di Jayapura dengan sebuah pesan ancaman bertuliskan nama dua orang pengacara yang menangani kasus tersebut.

Demonstrasi besar publik sekali lagi digelar baik di dalam maupun di luar ruang sidang sebagai dukungan terhadap kedua terdakwa. Tekanan terhadap hal ini terjadi pada tanggal 10 Mei, ketika para pendukung yang marah memprotes tuntutan jaksa untuk menghukum lima tahun penjara bagi kedua orang ini. Laporan Human Rights Watch menunjukkan bahwa kaca jendela di ruang sidang dan beberapa kendaraan hancur, dan massa mencoba memblokade kendaraan yang berisi kedua terdakwa sehingga Filep Karma bisa mengatasi massa secara langsung. Namun, kemudian polisi melawan dan setidaknya tiga belas orang termasuk dua anggota polisi terluka dalam bentrokan tersebut. Kepala kepolisian Jayapura dan sepuluh orang anggota polisi lainnya kemudian dicopot jabatannya karena pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama rangkaian protes tersebut, namun pada persidangan berikutnya, sebanyak 300 orang petugas polisi dikerahkan untuk pengamanan di sekitar pengadilan.

Pada tanggal 26 Mei 2005, Filep Karma dan Yusak Pakage dinyatakan bersalah atas tindakan makar. Hukuman untuk Filep Karma adalah 15 tahun, tiga kali lebih lama dibandingkan tuntutan jaksa yang telah memicu protes kemarahan dua minggu sebelumnya. Untuk mempertahankan keputusan hukuman yang berat itu hakim mengatakan tidak ada faktor yang bisa dipakai untuk mengurangi hukuman tersebut. Upaya banding ke Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung tidak membuahkan hasil.

Solidaritas untuk Korban Pelanggaran HAM di Papua (SKPHP) menyatakan bahwa kondisi kesehatan Filep Karma di penjara sangat memprihatinkan setidaknya sejak Agustus 2009, semenjak dia dibawa ke Rumah Sakit Dok II Jayapura karena sakit ginjal. Pihak rumah sakit menyarankan agar ia dirujuk ke Rumah Sakit Cikini di Jakarta untuk ditangani oleh spesialis bedah urologi, tetapi pihak Lembaga Pemasyarakatan menolak untuk membiayai perawatan ini, meskipun secara hukum mereka wajib melakukannya. Sebaliknya, anggota SKPHP di Jayapura dan para aktivis di Manokwari melakukan aksi turun ke jalan-jalan untuk mengumpulkan biaya pengobatan. Dengan cara ini mereka mampu membayar biaya penerbangan dan akomodasi bagi anggota keluarganya yang mendukungnya selama perjalanan. Filep Karma berada di Jakarta sejak tanggal 19-31 Juli 2010. Biaya tagihan pengobatan sebesar RP 60.800.000 sebagian besar dibayarkan oleh LSM internasional (94%), dan sisanya oleh pemerintah Provinsi Papua.

Pada saat para pendukung dikerahkan untuk mengumpulkan dana bagi pengobatannya, Filep Karma bekerja untuk mengangkat perhatian terhadap nasib para tahanan politik lainnya, terutama Ferdinand Pakage yang juga membutuhkan pengobatan untuk cedera dimatanya setelah ia dipukuli oleh petugas sipir penjara. Tabloid Jubi, sebuah surat kabar lokal melaporkan bahwa Filep Karma mengatakan dirinya menolak pergi sendiri ke Jakarta untuk menjalani pengobatan karena Ia ingin pergi bersama dengan Ferdinand Pakage, tetapi pada akhirnya ia terpaksa harus berangkat sendirian. Sebuah pesan yang diterima oleh West Papua Media dari dalam penjara bahkan menunjukkan bahwa Filep Karma memulai mogok makan pada tanggal 5 Oktober 2010, menuntut perhatian medis yang memadai untuk Ferdinand Pakage, meskipun tidak ada laporan yang diterima tentang berapa lama protes ini berlangsung.

Kesehatan Filep Karma terus bermasalah hingga tahun 2012, ketika para dokter lokal merekomendasikan agar ia harus melakukan perjalanan sekali lagi ke Jakarta untuk menjalani kolonoskopi. Siaran pers dari pihak keluarganya yang dipublikasikan oleh West Papua Media menyatakan bahwa sekali lagi negara Indonesia telah menolak untuk membayar untuk perawatan ini. Sekali lagi para pendukung Karma di seluruh Papua dan internasional harus mengumpulkan uang untuk pengobatannya.

Pada tanggal 3 Desember 2010 Filep Karma dipindahkan dari penjara LP Abepura ke tahanan Polda Papua. Hal ini terjadi setelah adanya keributan di dalam penjara, ketika para tahanan mengetahui bahwa salah seorang narapidana bernama Miron Wetipo yang baru saja melarikan diri, telah ditembak mati. Filep Karma, bersama dengan seorang tahanan politik lainnya Buchtar Tabuni beserta tiga orang rekannya dipindahkan ke Polda Papua dan dituduh sebagai pemimpin keributan tersebut. Namun, BUK Papua telah melaporkan Karma dan Tabuni hanya berusaha untuk menegosiasikan sebuah dialog dengan kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) untuk menyelidiki penembakan tersebut dan berusaha mencegah para tahanan untuk tidak merusak penjara. Laporan di surat kabar lokal Tabloid Jubi dan Bintang Papua mengungkapkan bahwa kelima orang tersebut didakwa dengan tindakan pidana pengrusakan berdasarkan Pasal 170 KUHP, dan beberapa hari setelah mereka dipindahkan, para pengacara mereka tidak dapat mengunjungi mereka. Karma sekali lagi melakukan protes dengan mogok makan. Mereka tetap ditahan di kantor polisi sampai dengan tanggal 7 Maret 2011.

Pada tahun 2011 Filep Karma adalah salah satu dari beberapa tahanan politik Papua yang ditawari remisi sebagai bagian dari perayaan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Dia menolak tawaran ini dan mengatakan bahwa dia hanya akan menerima kebebasan tanpa syarat, disertai dengan permintaan maaf kepada rakyat Papua yang telah dibunuh, atau tertindas, atau yang tanah miliknya telah diambil dari mereka. Sebuah video dari penolakan ini dapat dilihat di West Papua Media Alerts.

Karena hukuman sangat panjang yang diterimanya sebagai akibat dari upaya mengekspresikan pandangan-pandangannya secara damai dan mungkin juga tekadnya untuk tetap teguh dengan keyakinannya bahkan ketika berada balik jeruji besi, kasus Filep Karma telah menarik dukungan dari berbagai organisasi internasional dan juga menjadi fokus untuk kampanye terhadap tindakan Indonesia yang represif dalam penerapkan aturan hukum makar. Human Rights Watch telah berulang kali mencatat kasusnya, dan Amnesty International telah menggambarkan dia sebagai seorang Prisoner of conscience setidaknya sejak Februari 2005, dan juga secara konsisten berkampanye untuk pembebasannya. Pada bulan Agustus 2011, 26 anggota Kongres AS menandatangani surat kepada Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meminta pembebasannya. Sebuah badan PBB, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang juga telah mengeluarkan pendapat tingkat tinggi tentang kasus Karma, mengklaim bahwa penahanannya merupakan pelanggaran artikel 9, 10, 11 19 dan 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan menuntut bahwa ia harus segera dibebaskan dan mendapatkan kompensasi.

Ada laporan tentang keluarga Filep Karma menjadi target dan diserang secara fisik. Pada tanggal 6 Juni 2013, Andrefina Karma, putri Filep, diduga ditabrak dengan sengaja di luar rumahnya di Jayapura. Pengendara sepeda motor itu dilaporkan telah menunggu dan memantau di luar rumah ketika Andrefina sedang dalam perjalanan pulang dari kerja. Andrefina ditabrak ketika masuk ke lorong ke rumahnya. Pengendara itu diduga telah mencoba mendekati Andrefina setelah kecelakaan itu, tapi meninggal dengan cepat ketika tetangga yang prihatin datang ke lokasi kejadian.

Pada 19 November 2015, Pak Karma akhirnya dibebaskan lewat remisi dasawarsa. Walaupun Karma sudah menolak grasi atau remisi berkali-kali, akhirnya dia tidak diberikan pilihan untuk menolak, dan pada dasarnya dia langsung dikeluarkan dari penjara. Filep Karma didampingi selama pembebasannya oleh pengacara dia, yaitu Olga Hamadi dari KontraS Papua.

Sumber-sumber
Amnesty International, “Indonesia Prisoners of Conscience Action 2005,” 1 February 2005, https://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/004/2005/en/8763d4e1-d51c-11dd-8a23-d58a49c0d652/asa210042005en.html

Andreas Harsono, “Belajar Dari Filep Karma,” 24 February 2011, http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html

Bintang Papua, “Filep Karma and Buchtar Tabuni to face charges ‘for damaging public property’,” posted in translation by West Papua Media, 16 December 2011, http://westpapuamedia.info/2010/12/16/filep-karma-and-buchtar-tabuni-to-face-charges-for-damaging-public-property/

BUK Papua, “Filep Karma,” 9 August 2010, http://bukpapua.org/?p=19

BUK Papua, “Filef Karma dan Buktar Tabuni Dipindah Ke Kapolda Papua,” 5 December 2005, https://bukpapua.wordpress.com/2010/12/05/filef-karma-dan-buktar-tabuni-dipindah-ke-tahanan-kapolda-papua/

Cenderawasih Pos, “Filep Karma Divonis 6 Tahun Penjara,” 26 January 1999, http://groups.yahoo.com/group/irianjaya/message/536

Eben Kirksey, “What is Indonesia Trying to Hide in West Papua?” 17 October 2012, http://ebenkirksey.blogspot.fr/2012/10/what-is-indonesia-trying-to-hide-in.html

ETAN, “26 Members of the House of Representatives Write Indonesia President to Call for Release of Papuan Prisoner Filep Karma,” 19 August 2011, http://www.etan.org/news/2011/08filepletter.htm

Filep Karma, “Freedom for West-Papua speech,” 2004, posted on Youtube 6 April 2008,
https://www.youtube.com/watch?v=ul-wT09p9Bc

Freedom Now, “United Nations Declares Indonesia’s Detention of Filep Karma a Violation of International Law, Calls for Immediate Release,” 16 November 2011, http://www.freedom-now.org/wp-content/uploads/2011/11/Karma-Press-Release-FINAL2.pdf

Human Rights Watch, “Protest and Punishment – Political Prisoners in Papua,” February 2007, http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/papua0207webwcover.pdf

Human Rights Watch, Indonesia: Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya, 1998,
http://www.hrw.org/legacy/reports98/biak/biak.htm

Jubi, “Karma Continues His Hunger Strike,” posted in translation by West Papua Media, 11 December 2011, http://westpapuamedia.info/2010/12/11/karma-continues-his-hunger-strike-komnasham-unable-to-visit-filep-and-buchtar/

Tempointeractif.com, “Filep Karma Masih Mogok Makan dan Bicara,” 11 December 2004, http://www.tempo.co.id/hg/nusa/papua/2004/12/11/brk,20041211-15,id.html

West Papua Media Alerts,” Papuan Prisoner of Conscience Filep Karma in Jakarta for Medical Treatment,” 27 September 2012, http://westpapuamedia.info/2012/09/27/papuan-prisoner-of-conscience-filep-karma-in-jakarta-for-medical-treatment/

West Papua Media Alerts, “Filep Karma Refuses Indonesia’s Remission,” 20 August 2011, http://westpapuamedia.info/2011/08/20/filep-karma-refuses-indonesias-remission/

West Papua Media Alerts, “Emergency: Papuan Political Prisoner Filep Karma refusing to Eat,” 5 October 2010, http://westpapuamedia.info/2010/10/05/emergency-papuan-political-prisoner-filep-karma-refusing-to-eat/

Share

Ferdinand Pakage

Ferdinand Pakage adalah petugas parkir di Abepura sebelum ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun sebagai akibat dari kekerasan yang terjadi seputar peristiwa 16 Maret 2006 di Jayapura, Papua Barat. Aksi pemogokan dimulai sehari sebelumnya, menuntut penutupan tambang Freeport di Tembagapura, Timika, dan penarikan polisi serta militer dari wilayah tersebut. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) kemudian menerbitkan kronologi rinci harian tentang peristiwa yang berlangsung, yang kemudian disusun dalam sebuah buku “Memoria Passionis di Papua.” Mereka mencatat bahwa bentrokan dimulai pukul 12:15 pada 16 Maret saat beberapa demonstran melemparkan batu dan botol ke polisi. Konfrontasi intensif mulai terjadi ketika polisi mencoba menyerbu blokade, dan tiga anggota polisi dan satu perwira petugas intelijen Angkatan Udara tewas dalam bentrokan tersebut. Seorang anggota polisi lainnya tewas akibat luka-lukanya beberapa hari kemudian pada tanggal 22 Maret.

Setelah bentrokan, SKP melaporkan bahwa Brimob melakukan operasi sweeping di sepanjang jalan dan menuju ke arah gunung-gunung, memasuki rumah-rumah dan asrama-asrama. Setiap orang Papua yang ditemukan dipukuli dan dibawa ke markas Polda Papua di Kota Jayapura. Hari berikutnya sweeping diteruskan, dimulai pukul 08:00 dengan penembakan membabi buta oleh polisi. Pada penghujung hari, sebanyak 73 orang ditangkap. Berbagai laporan yang diterbitkan kemudian oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia mengklaim bahwa satu atau dua warga sipil telah tewas dalam sweeping tersebut disamping banyak pula yang mengalami cedera.

Sebuah laporan yang telah dikeluarkan oleh Human Rights Watch (HRW) memprofilkan kasus Pakage, dan konsultan HRW Andreas Harsono juga menuliskan tentang pertemuannya dengan Pakage di blog-nya. Kedua laporan tersebut menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Pakage dimulai ketika temannya, Luis Gedi, disiksa dan dipaksa oleh Polisi untuk memberikan sebuah nama. Pakage dituduh telah membunuh polisi Rahman Arizona, meskipun dirinya dan keluarganya menyatakan bahwa ia tidak berpartisipasi dalam kerusuhan tersebut.

Dalam catatan di blog Andreas Harsono, Pakage menjelaskan bahwa ketika itu dia sedang dalam keadaan dipukuli oleh dua puluh orang anggota polisi sehingga ia pun terpaksa harus mengakui bahwa dirinya telah membuang pisau yang dituduhkan sebagai alat untuk membunuh di luar kampus. Polisi kemudian membawanya ke sana untuk mencari pisau tersebut namun tidak dapat ditemukan. Kemudian mereka menembaknya di kaki, pada saat ia mengubah cerita dan mengatakan bahwa pisau itu ada di rumahnya. Polisi kemudian pergi ke rumahnya dan menyita pisau sayur milik ibunya.

Berdasarkan laporan tahun 2008 tentang penyiksaan yang disiapkan oleh Kelompok Kerja Indonesia untuk Advokasi Menentang Penyiksaan, seorang anggota Polisi yang menembak Pakage di kaki, diduga saat itu telah menjadi Wakil Kepala Kepolisian Resort Jayapura (Wakapolresta), yaitu Ajun Komisaris Besar Aris Purbaya.

Kelompok Kerja Indonesia untuk Advokasi Menentang Penyiksaan merincikan penyiksaan terhadap Pakage yang telah terjadi pada tanggal 16 dan 17 April. Selain penembakan, Pakage diduga telah ditampar, dipukul, ditendang dan dipukul dengan laras senapan, serta ditinggalkan dalam keadaan luka di kepala. Laporan HRW juga menyebutkan bahwa air mendidih telah dilemparkan kepadanya. Tidak ada pengacara atau penasihat hukum yang diijinkan untuk mendampingi selama proses interogasi Pakage, dan keluarganya juga dilarang untuk mengunjunginya.

Dalam kronologi yang dikeluarkan oleh SKP dituliskan bahwa pada tanggal 20 Maret Paulus Waterpauw, Direktur Reserse Kriminal Polda Papua (Reskrim Polda Papua), mengumumkan bahwa tersangka Luis Gedi dan Ferdinand Pakage telah mengaku menyerang polisi.

Berdasarkan update kasus ini yang diterbitkan oleh SKP pada 12 Juni 2006, sebanyak 23 orang didakwa sehubungan dengan kasus ini, akan tetapi Pakage dan Gedi dikenai tuduhan terberat dari semua terdakwa. Mereka didakwa dengan pasal 212 dalam hubungannya dengan pasal 214, ayat 2, yang menunjuk pada melawan aparat keamanan dalam melaksanakan tugasnya, serta mengakibatkan hilangnya nyawa anggota pasukan keamanan.

Setelah persidangan, ‘Tim Advokasi untuk bentrokan Abepura 16 Maret 2006’ telah menerbitkan sebuah laporan mengenai persidangan. Laporan tim menyebutkan bahwa jaksa dan hakim hanya terfokus pada upaya mencapai hasil persidangan agar sesuai dengan apa yang sebenarnya sudah diputuskan. Dilaporkan juga bahwa para jaksa dan hakim telah mendasarkan argumen-argumen mereka pada Berita Acara Pemeriksaan, dan mengabaikan fakta bahwa sebagian besar dari para terdakwa membantah isi berkas tersebut karena pernyataan-pernyataan yang termuat dalam BAP tersebut mereka nyatakan dalam situasi di bawah penyiksaan. Suasana selama persidangan dikatakan mengintimidasi, dengan hadirnya polisi berseragam dan para petugas intelijen yang hadir di setiap sesi. Pada dua sesi tanggal 17 dan 24 Mei, terdakwa terluka atau menerima ancaman kematian dari anggota Brimob, setelah mereka menolak dakwaan. Pada tanggal 12 Juli, para anggota unit Brimob membawa anggota keluarga dari kedua orang anggota polisi yang tewas dalam insiden itu ke ruang tahanan dimana mereka membawa pisau dan mengancam para terdakwa untuk mengakui telah membunuh kerabat mereka.

Sebuah tinjauan yang dikeluarkan oleh Amnesty International menyebutkan bahwa empat orang pengacara dari tim penasehat hukum yang terlibat dalam pembelaan kasus ini serta tiga orang pekerja hak asasi manusia, anggota dari kelompok hak asasi manusia yang bekerja pada kasus ini diikuti dan menerima berbagai pesan intimidasi melalui SMS, termasuk juga ancaman kematian.

Laporan Tim Advokasi juga mencatat bahwa hukuman 15 tahun penjara yang ditetapkan bagi Ferdinand Pakage adalah tiga tahun melebihi tuntutan Jaksa yaitu 12 tahun.

Seperti yang tertulis didalam laporan profil HRW, Pakage dianiaya lagi pada September 2008, kali ini oleh para petugas sipir penjara. Salah seorang petugas sipir diduga telah memukulnya sebanyak enam kali dengan karet mati, sementara para petugas sipir lainnya memukul dan menendangnya. Salah satu petugas sipir meninjunya sambil memegang gembok dan kunci sehingga menusuk bola mata Pakage. Setelah itu, selama beberapa jam dia tidak dilarikan segera ke rumah sakit, karena pada saat itu rumah sakit telah tutup, dan ketika keesokan harinya ia dibawa ke rumah sakit, keadaan sudah terlalu terlambat untuk menyelamatkan penglihatannya.

Meskipun hal ini adalah tanggung jawab dari penjara (Lembaga Pemasyarakatan) untuk menyediakan kebutuhan kesehatan bagi para tahanan, dalam kasus Pakage mereka sejauh ini telah gagal untuk melakukan hal ini, seperti juga terhadap para tahanan politik dan tahanan lainnya. Seperti yang sering terjadi di Papua Barat, kebutuhan ini malah dipenuhi oleh masyarakat sipil. Menurut situs berita Warta Papua Barat, sebuah kelompok yang disebut Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) telah memulai mengumpulkan uang untuk kebutuhan medis Pakage, sebagai akibat dari cedera di matanya.

Artikel di surat kabar lokal Tabloid Jubi selama tahun 2011 menyatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan oleh Pakage tidak tersedia di Papua, berarti dia perlu dirujuk ke Jakarta. Namun pihak Lembaga Pemasyarakatan (LP) menolak memberikan izin untuk pergi bersama dengan sesama tahanan politik Filep Karma, yang juga membutuhkan perhatian medis yang mendesak. Karma, yang biaya medis untuk operasi di Jakarta juga digalang oleh SKPHP, mengatakan bahwa ia bermaksud menolak untuk pergi kecuali Pakage ikut bersamanya, akan tetapi dirinya dipaksa oleh para petugas penjara/LP dan pejabat dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia untuk harus melakukannya.

Pada tanggal 16 Juni, Pakage dibebaskan dari LP Abepura.

Sumber-sumber
Advocacy team for the Abepura clash of 16 March 2006, “The report of the hearing of the case relating to the clash in Abepura on 16 March 2006 in the Abepura state court,” 21 August 2006, http://www.faithbasednetworkonwestpapua.org/userfiles/files/FurtherReading/GFSR(1).pdf

Amnesty International, ASA 21/015/2006, 5 September 2006, http://amnesty.org/en/library/asset/ASA21/015/2006/en/ada1adfd-f9d4-11dd-b1b0-c961f7df9c35/asa210152006en.pdf

Andreas Harsono, “Belajar Dari Filep Karma,” 24 February 2011, http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html

Human Rights Watch, “Prosecuting Political Ambitions,” 22 June 2010 http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0610webwcover_0.pdf

Indonesian Working Group on Advocacy against Torture, “Annex-Shadow Report,” May 2008, http://www.elsam.or.id/downloads/1266673146_Annex_Shadow_Report_CAT.pdf

SKP Jayapura, Imparsial et al, “The practice of torture in Aceh and Papua 1998-2007,” February 2008, http://www.hampapua.org/skp/skp06/var-22e.pdf

SKP Jayapura, “Memoria Passionis di Papua 2006,” 2008, http://www.papuaweb.org/dlib/baru/skp-2008-mp2006.pdf

SKP Jayapura, “Civil rights of Abepura 16 March 2006 suspects
threatened,” 12 June 2006, http://lists.topica.com/lists/indonesia-act@igc.topica.com/read/message.html?sort=d&mid=812195950&start=28650

Tabloid Jubi, “SKPHP: Ferdinand Pakage Harus Berobat,” 16 February 2011, http://tabloidjubi.com/index.php/modules-menu/jayapura/11037-skphp-ferdinand-pakage-harus-berobat

Tabloid Jubi, “Filep Karma Sesali Pengobatan Ferdinand Pakage,” 1 May 2011, http://tabloidjubi.com/index.php/daily-news/jayapura/12025-filep-karma-sesali-pengobatan-ferdinand-pakage.html

Warta Papua Barat, “Pemerintah tidak peduli membiayai pengobatan tahanan politik Filep Karma dan Ferdinand Pakage,” 10 March 2010, http://www.wartapapuabarat.org/index.php/human-rights/154-human-rights/101-pemerintah-tidak-peduli-membiayai-pengobatan-tahanan-politik-filep-karma-dan-ferdinand-pakage

Share

Yusak Pakage

Yusak Pakage, seorang tahanan politik penting dari tahun 2004 hingga 2010, kembali ditahan pada tahun 2012 saat menghadiri sidang salah satu tahanan politik lainnya, dan lalu didakwa dengan tuduhan memiliki sebuah pisau lipat.

Penahanan pertama Pakage terjadi pada tanggal 2 Desember 2004 di Abepura, setelah sebuah bendera bintang kejora dikibarkan sehari sebelumnya. Tanggal 1 Desember diperingati sebagai “hari kemerdekaan” bagi banyak warga Papua, karena pemerintah kolonial Belanda memberi warga Papua izin untuk mengibarkan bendera nasional pada tanggal tersebut pada tahun 1961.

Sebuah riwayat yang diterbitkan oleh Human Rights Watch (HRW) memberikan keterangan mendetail tentang demonstrasi dan sidang peradilan tersebut. HRW menerangkan bahwa kejadian hari tersebut diawali dengan demonstrasi dan pidato – pidato damai dan tanpa kekerasan. (Sebuah pidato dari Filep Karma, yang juga ditahan pada hari itu dapat dilihat disitus Youtube). Namun, setelah bendera bintang kejora dikibarkan, pihak kepolisian NKRI mulai menyerang kerumunan massa. HRW mengutip deskripsi kejadian dari Pakage sebagai berikut:

“Pada saat bendera Bintang Kejora dikibarkan, saya sedang memegang sebuah megafon sambil berkordinasi dengan pihak kepolisian. Saya tidak tahu siapa yang membawa bendera tersebut ataupun yang mengibarkanya. Saya berada tepat diantara polisi dan kerumunan masa saat polisi mulai menembak kerumunan massa dan massa membalas dengan melemparkan batu terhadap polisi. Saya terus mencoba meluruskan situasi tersebut dan mencoba mendinginkan suasana diantara kedua pihak.. Magafon yang saya pegang hancur terkena tembakan peluru.”

Selama persidangan, Pakage mengaku bahwa dirinya telah ditipu oleh pihak kepolisian. Karena takut temannya, Filep Karma, telah ditahan pihak kepolisian, dan lalu polisi menasihati dirinya bersama dengan 20 orang lainnya untuk pergi ke kantor polisi menanyakan informasi lanjut tentang Filep Karma. Tetapi, saat mereka sampai dikantor polisi, 17 diantara mereka langsung ditangkap dan lainnya dibebaskan, Pakage ditahan untuk disidangkan di peradilan. Bersama dengan Karma, Yusak dituntut tuduhan Makar dan konspirasi, dibawah pasal 106 dan 110 KUHP, dan penghasutan untuk melawan NKRI dibawah pasal 154. Dalam kasus Pakage, tuduhan awal mengenai tindakan kekerasan terhadap pegawai negri sipil (pasal 214) akirnya dihilangkan, tetapi hanya setelah tuduhan tersebut sudah menambahkan 40 hari hukuman penjara bagi mereka.

Selama proses pengadilan berlangsung, menurut HRW, Filep Karma dan Yusak Pakage menantang otoritas pengadilan untuk menuntut mereka, karena mereka adalah warga Papua dan bukan warga Indonesia. Pihak kuasa hukumnya juga memprotes ke-tidaknetral-an salah satu hakim, setelah banyak dilontarkannya komentar –komentar penghinaan. Sang hakim sempat berkata kepada polisi untuk “Menggebuk kepala Filep kalau nakal” dan juga berkata “Diam kamu! Mau mati kamu?” terhadap seorang pemrotes wanita setelah ditinju dan ditendang. Kuasa hukum mereka juga banyak terintimidasi; sebuah kepala anjing mati ditemukan diluar kantor Lembaga Bantuan Hukum, LBH, dengan ancaman langsung terhadap dua kuasa hukum.

Demonstrasi besar besaran terjadi diluar dan didalam ruang sidang mendukung kedua terdakwa. Kekuatan hal ini terlihat pada tanggal 10 Mei, dimana pendukung mereka yang marah memprotes tuntutan jaksa untuk 5 tahun dipenjara. Laporan HRW menunjukkan bahwa jendela – jendela ruangan sidang dan kendaraan dihancurkan, dan massa mencoba memblokir jalan yang dilalui kendaraan dimana kedua terdakwa berada agar mereka dapan berbicara dengan mereka secara langsung. Namun pihak kepolisian melawan balik, dan setidaknya 13 orang, termasuk 2 polisi, terluka dalam bentrokan tersebut. Kepala polisi Jayapura dan 10 anggota kepolisian terlibat dalam bentrokan tersebut nantinya diturunkan karena melanggar HAM selama protest tersebut, sidang untuk mereka dikawal oleh 300 anggota polisi mengelilingi ruang sidang.

Pada tanggal 26 Mei 2005, Yusak Pakage dan Filep Karma dinyatakan bersalah atas tuduhan makar. Yusak Pakage dihukum 10 tahun penjara, dua kali lebih lama daripada tuntutan awal jaksa penuntut yang telah menyebabkan kemarahan massa dua minggu sebelumnya. Terhadap beratnya hukuman tersebut, pihak kehakiman menyatakan bahwa tidak ada cara untuk meringankan hukuman tersebut. Banding terhadap Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung tidak berhasil.

Sebuah laporan Jakarta Post menunjukkan bahwa pada tanggal 24 Agustus, Pakage berhasil kabur dari penjara untuk beberapa jam, kabur saat melakukan kunjungan kerumahnya untuk mengambil sebuah buku. Beliau menggunakan waktu tersebut untuk memprotes kenyataan bahwa surat yang mengotorisasikan hukuman penjaranya yang berkepanjangan tidak ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, yang namanya ada di surat tersebut, maka surat itu secara teknis tidak sah. Namun dia ditangkap beberapa jam setelahnya diperkantoran Elsham Papua, sebuah organisasi Hak Asasi lokal.

Pakage dibebaskan dari penjara pada tanggal 7 Juli 2010. Menurut laporan dari situs Media Indonesia, Yusak diberikan grasi oleh Presiden (Keputusan Presiden 5/G tahun 2010). Kepala kementrian Hukum dan HAM sektor Papua, Nazarudin Bunas, mengatakan bahwa hal ini bersangkutan dengan kunjungan kementrian tersebut ke jayapura beberapa waktu sebelumnya. Nazarudin Bunas diberitakan mengatakan bahwa beliau berharap ini akan menjadi langkah pertama dalam mengurangi hukuman para Tahanan Politik Papua lainnya, dan lebih banyak grasi akan dikeluarkan.

Tetapi, pola penindasan terhadap rakyat papua tidak dapat dengan mudah dirubah. Yusak Pakage melanjutkan kegiatannya untuk tetap aktif dalam berpolitik, mengetuai sebuah gerakan yang disebut Parlemen Jalanan. Dua tahun setelahnya, pada tanggal 23 Juli 2012 Yusak Pakage ditahan saat menghadiri persidangan seorang tahanan politik lainnya, Buchtar Tabuni. Tabuni ditahan berhubungan dengan kerusuhan di Lembaga permasyarakatan 18 bulan sebelumnya, tetapi penangkapan tersebut dipercayai bermotivasi untuk mengintimidasi organisasi Buchtar Tabuni, Komite Nasional Papua Barat, KNPB).

Harian setempat Tabloid Jubi melaporkan dari persidangan; Marah karena melihat apa yang sedang berlangsung, Pakage menendang sebuah tong sampah. Ludah pinang dari tong sampah tersebut secara tidka sengaja mengenai seorang PNS, Yosias Fanataba. Polisi lalu datang dan menahan Pakage, dan saat memeriksa barang bawaan-nya, ditemukan bahwa dirinya memiliki sebuah pisau lipat.

Pakage ditahan beberapa minggu di kantor polisi Jayapura. Prihatin akan keselamatannya, Amnesty International mengeluarkan sebuah surat perhatian pada tanggal 24 Agustus 2012. Beberapa diantara keprihatinannya adalah kemungkinan adanya penyisaan (di Papua, keberadaan di kantor polisi dipercayai jauh lebih bahaya daripada di lembaga permasyarakatan), dan walaupun menderita sakit di perut dan tidak dapat makan, Pakage tidak diperkenankan mendapat perhatian kesehatan. Sebulan setelah penangkapannya, Pakage masih tidak diberikan kesempatan untuk memiliki kuasa hukum, dan interogasi yang diterimanya terfokus pada kegiatan aktifis politiknya dan tentang pendukungan dirinya terhadap tahanan politik lainnya, daripada dakwaan dimana dirinya sebenarnya ditangkap, yaitu melanggar UU Darurat 12/1951 mengenai senjata tajam. Amnesti juga melaporkan bahwa Pakage telah di tahan tiga hari sebelum persidangan tersebut karena menjadi bagian dari 20 orang yang mengumpulkan amal dijalanan untuk para tahanan politik yang sedang sakit.

Dalam wawancara dengan situs media lokal suarapapua.com, Pakage mengatakan bahwa dirinya percaya bahwa telah ditahan karena latar belakangnya sebagai tahanan politik. Beliau menerangkan bahwa Yosias Fonataba datang ke kantor polisi tidak lama setelah penangkapan dan mengatakan bahwa dia tidak mau ada permasalahan berkelanjutan dan memaafkan Yusak atas kejadian tersebut. Keduanya menandatangani sebuah kesepakatan damai, yang nantinya di batalkan oleh Kepala Polisi Abepura, yang mengatakan bahwa dia mendapat perintah baru dari petingginya.

Menurut Suara Papua, Pakage di hukum 7 bulan penjara pada tanggal 13 Desember 2012.

Sources

Amnesty International, Urgent Action 251/12, 24 August 2012, https://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/032/2012/en/1506e780-3c71-46f0-9057-94f41d8016ba/asa210322012en.html

Human Rights Watch, Protest and Punishment – Political Prisoners in Papua, February 2007, http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/papua0207webwcover.pdf

Jakarta Post, Papuan Leader Back Behind Bars, 25 August 2005, http://www.thejakartapost.com/news/2005/08/25/papuan-leader-back-behind-bars.html

Media Indonesia, Yusak Pakage Terima Grasi, 8 July 2010, http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/07/154234/130/101/Yusak-Pakage-Terima-Grasi

Suara Papua, Yusak Pakage saya ditahan karena latar belakang tapol, 5 December 2012, http://suarapapua.com/2012/12/yusak-pakage-saya-ditahan-karena-latar-belakang-tapol/

Suara Papua, Yusak Pakage Di Vonis 7 Bulan Tahanan, 14 December 2012, http://suarapapua.com/2012/12/yusak-pakage-divonis-7-bulan-tahanan/

Tabloid Jubi, Yusak Pakage diringkus di Polsek Abepura, 23 July 2012, http://z.tabloidjubi.com/index.php/2012-10-15-06-23-41/jayapura/19720-yusak-pakage-diringkus-ke-polsek-abepura

Youtube, Filep Karma, “Freedom for West-Papua speech,” 2004, posted 6 April 2008,
https://www.youtube.com/watch?v=ul-wT09p9Bc

Share

Agustus / September 2015: Penembakan di Timika serupa dengan kejadian Paniai Berdarah

Ringkasan

Pada akhir bulan Agustus 2015, terdapat sedikitnya 45 tahanan politik di Papua. Pada akhir bulan September, jumlah tahanan politik tetap sama.

Di Timika sendiri, terdapat tiga penembakan yang berbeda terhadap pemuda asli Papua yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia. Pada 28 Agustus, Imanuel Marimau dan Yulianus Okare, yang sama-sama berumur 23 tahun, ditembak mati oleh dua tentara dari Komando Distrik Militer 1710 (Kodim 1710) pada saat ritual tradisional untuk menghormati lelaki lokal yang menerima gelar doctor. Setidaknya lima orang lainnya mengalami luka-luka. Namun pada tanggal 28 September, dua penembakan yang berbeda terjadi. Yang pertama adalah penembakan tiga pemuda oleh Polsek Mimika Baru, yang mengahsilkan kematian dari Kalep Bagau yang berumur 18 tahun dan melukai dua orang lain. Sementara motif di belakang penembakan tetap tidak jelas, menurut saksi mata penembakan dilaporkan dilakukan terhadap perusakan rumah. Satu jam setelah kejadian tersebut, Niko Bedes, berumur 21, ditembak dan mengalami luka serius oleh dua tentara setelah sepeda motor yang ia tumpangi menabrak mobil mereka.

Di Jayapura, tiga pemuda diculik dan disiksa oleh petugas polisi Poresta Jayapura karena dugaan pencurian sepeda motor. Sementara kejadian yang berbeda di Intan Jaya, para pelajar disiksa secara brutal oleh aparat keamanan, termasuk Natalis Tabuni, Bupati Intan Jaya dan petugas Brigadir Mobil (Brimob) di bawah perintahnya.

Laporan-laporan kekerasan negara tersebut menunjukkan pola meluas dan terus-menerus perlakuan diskrimatif rasial terhadap orang asli Papua. Kemauan untuk melakukan kekerasan tidak hanya menunjukkan rendah standar profesionalisme dan disiplin dalam pasukan keamanan, tetapi juga menunjukkan pemahaman yang lemah atas kewajiban HAM yang dasar. Keadaan peningkatan kekerasan dan kebrutalan polisi dan militer meningkatkan ketegangan dan ketidakpercayaan kepada aparat negara yang sudah ada di antara orang asli Papua.

Penangkapan pelajar di Intan Jaya dan Sorong yang memprotesi lemahnya system pendidikan di Papua menunjukkan bahwa demonstrasi untuk isu-isu non politik juga tidak dibolehkan. Tidak adanya toleransi terhadap perbedaan pendapat mempertanyakan dukungan Indonesia untuk kebebasan berbicara di Papua.

Penangkapan

13 pelajar ditangkap di Sorong karena berdemonstrasi terhadap lemahnya sistem pendidikan

Pada 13 Agustus, 13 pelajar ditangkap oleh Kepolisian Daerah Sorong dalam perjalanan mereka menuju demonstrasi menuntut pengunduran diri Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan karena lemahnya sistem pendidikan. Amad Rumalean, Kepala Kasat Reskrim Sorong, memberitahu Jubi bahwa demonstrasi dibubarkan secara paksa karena para demonstran tidak mempunyai surat izin dari polisi, sehingga membuat aksi ‘illegal’. Diyakini bahwa 13 demonstran telah dibebaskan tanpa tuduhan.

Ketua KNPB Merauke ditangkap saat penyisiran di sekretariat

Pada 8 Agustus 2015, sekitar pukul 11:00 WITA, Gento Emerikus, ketua KNPB dari Merauke ditangkap oleh polisi pada saat peyisiran di sekretariat KNPB yang dipimpin oleh Marthin Koagouw, Kepala Bagian Operasional Kepolisian Merauke. Menurut saksi mata yang diwawancarai Jubi, polisi dilaporkan menyebutkan peristiwa direncakan yang memboikot Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus dan memaksa mereka untuk tidak mengadakan perkumpulan apapun. Anggota KNPB membantah perencanaan pemboikotan. Diyakini bahwa Emerikus telah dibebaskan.

Dua aktivis KNPB ditangkap dan disiksa karena menyalurkan selebaran

Pada 16 September, dua anggota KNPB, Hariel Luluk dan Arpinus Magayong telah ditangkap oleh kepolisian Yahukimo karena menyalurkan selebaran mengumumkan hasil pertemuan Pacific Islands Forum (PIF) di Papua Nugini. Mereka disiksa di penahanan di Kantor Polisi Daerah Yahukimo dan dibebaskan tanpa tuduhan beberapa jam kemudian.

Pembebasan

Yoseph Awakon dibebaskan setelah keringanan hukuman

Pada 17 Agustus, Yoseph Arwakon, salah satu dari lima tahanan yang tersisa dalam kasus Biak 1 Mei telah dibebaskan setelah menerima remisi. Remisi biasanya diberikan kepada tahanan pada saat Hari Kemerdekaan Indonesia. Empat tahanan yang tersisa, Oktovianus Warnares, Markus Sawias, George Syors Simyapen dan Jantje Wamaer sedang menjalani hukuman di penjara Biak.

Tiga aktivis di Fakfak dibebaskan

Informasi dari aktivis KNPB di Fakfak melaporkan bahwa tiga laki-laki yang ditangkap di Fakfak pada 3 Juli 2015 karena mengikuti demonstrasi mendukung ULMWP telah dibebaskan. Apnel Hegemur, Roy Marten Mury dan Daniel Hegemur ditahan selama beberapa jam sebelum dibebaskan tanpa dakwaan.

Ketua mahasiswa UNIPA dibebaskan

Informasi dari pengacara – pengacara dari Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) melaporkan bahwa Domingus Babika, mahasiswa Universitas Papua (UNIPA) aktif dalam memimpin demonstrasi di Manokwari telah dibebaskan tidak lama setelah penangkapannya pada 1 Mei 2015. Babika ditangkap karena perannya dalam mempin demonstrasi di Manokwari memperingati ulang tahun ke-52 penyerahan administratif Papua kepada Indonesia.

Pengadilan politik dan ringkasan kasus

Kasus korban penyiksaan Lanny Jaya dihukum tiga tahun penjara; Kelpis Wanda kabur dari penjara

Pengacara dari AIDP melaporkan bahwa pada 20 Agustus, Kamori Murib dan Kelpis Wenda telah dihukum tiga tahun penjara untuk kepemilikan senjata api di bawah dakwaan UU Darurat 12/1951. Penuntut Umum sebelumnya meminta hukuman empat tahun untuk kedua laki-laki tersebut. Pada 23 Agustus, Kelpis Wenda dilaporkan kabur dari penjara Wamena saat pelarian diri massal.

Kedua laki-laki tersebut ditangkap dan disiksa terkait kepemilikan pistol. Mereka berniat untuk menyerahkan pistol yang dimiliki saudara mereka yang telah meninggal kepada pihak berwenang Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD) di Kabupaten Puncak Jaya.

Demonstran perkebunan kelapa sawit dijatuhi hukuman

Pada 25 Agustus, Obed Korie dihukum lima bulan penjara sementara Odie Aitago dihukum tujuh bulan. Penuntut Katrina Dimara sebelumnya menuntut hukuman penjara satu tahun untuk Obed Korie dan delapan bulan untuk Odie Aitago. Pada 15 Mei 2015, kedua laki-laki ditangkap di Sorong untuk berdemonstrasi terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Putera Mandiri (PPM), anak perusahaan dari Austindo Nusantara Jaya Group. Korie dan Aitago merupakan bagian dari kelompok Papua asli dari suku Iwaro yang melakukan protes terhadap PPM yang melakukan perebutan tanah asli mereka. Mereka dituduh dengan kekerasan terhadap orang atau barang di bawah Pasal 170 KUHP. Korie diperkirakan akan dibebaskan pada bulan Oktober dan Aitago di bulan Desember tahun ini.

Tahanan demo MSG di Manokwari masih ditahan di Kantor Pusat Brimob

Pengacara dengan LP3BH melaporkan bahwa empat tahanan – Alexander Nekenem, Narko Murib, Maikel Aso dan Yoram Magai – ditangkap pada Mei karena mengikuti demonstrasi untuk mendukung tawaran untuk keanggotaan ULMWP untuk MSG (Melanesian Spearhead Group) masih ditahan di Markas Brimob di Manokwari. Pengacara melaporkan bahwa penahanan mereka di markas Brimob mempersulit akses kepada perawatan, keluarga dan pengacara terhadap keempat tahanan tersebut. Keempat tahanan telah didakwa dengan penghasutan dibawah Pasal 160 KUHP.

Tahanan pendukung ULMWP di Biak akan menghadapi pengadilan di bulan Oktober

Pengacara HAM yang menemani Apolos Sroyer, Dorteus Bonsapia dan Wamoka Yudas Kossay melaporkan bahwa pengadilan untuk ketiga laki-laki akan dimulai pada 15 Oktober. Ketiga laki-laki dihadapi tuduhan hasutan dan penyebaran kebohongan di bawah Pasal 160 KUHP dan UU 1/1946 Pasal 15. Ketiga laki-laki sedang ditahan di Lapas Biak.

Hukuman terhadap Piethein Manggaprouw diperpanjang tiga tahun

Pengacara Kontras Papua yang menemani Piethein Manggaprouw melaporkan bahwa hukuman penjaranya diperpanjang dari dua menjadi tiga tahun mengikuti keputusan pengadilan berdasarkan banding dari penuntut. Pada 19 Oktober 2013, Manggaprouw ditahan karena memimpin demonstrasi di Biak yang memperingati Kongres Masyarakat Papua yang Ketiga.

Hukuman terhadap Markus Sawias diperpanjang empat tahun

KontraS Papua melaporkan bahwa Markus Sawias, salah satu dari tahanan yang tersisa dari kasus Biak 1 Mei menerima perpanjangan hukuman penjara empat tahun setelah keputusan banding kedua dari penuntut. Pada 1 Mei 2013, Sawias merupakan satu dari enam orang yang ditahan setelah polisi melepaskan tembakan ke tengah kerumunan yang berkumpul untuk acara penaikan bendera di Biak.

Kasus-kasus penting

Tiga remaja ditembak oleh polisi Kabupaten di Timika; satu meninggal dan dua luka-luka

Informasi yang diterima oleh penyelidik lokal ham melaporkan bahwa pada 28 September, sekitar pukul 19:00 WITA, tiga remaja ditembak oleh Polsek Mimika Baru di pasar Gorong-Gorong di kabupaten Timika. Sementara motif di belakang penembakan masih belum jelas, menurut saksi mata yang direkam oleh penyelidik lokal, penembakan dilaporkan dilakukan terhadap perusakan rumah. Kalep Bagau yang berumur 18 tahun ditembak mati sementara dua remaja lainnya, Efrando Sabarofek dan Bastian Korwa, dua-dua nya berumur 17 tahun, mendapatkan luka-luka.

Laporan berisi kesaksian dari korban-korban yang masih hidup mengatakan bahwa ketiga remaja tersebut sedang membuang waktu di Tiang Tower di Timika ketika tiga kepolisian daerah dari Mimika Baru dalam mobil patroli berhenti dan mengancam mereka. Para polisi tersebut dilaporkan memberi tahu para remaja tersebut: “Kamu bubar dari tempat itu, kalau tidak kamu dapat tembak.” Salah satu dari remaja tersebut membalas: “Kaka, kami hanya duduk-duduk saja, kami tidak buat apa-apa.” Setelah balasan tersebut, para polisi pergi. Beberapa saat kemudian, ketiga remaja tersebut memutuskan untuk pergi ke Kompleks Biak Jalur Satu. Di perjalanan mereka ke sana, mereka menemukan mobil patroli dari sebelumnya sedang diparkir di luar sebuah rumah. Saat mereka sedang melintas, ketiga polisi dari Kabupaten Mimika Baru tersebut melepaskan tembakan kepada mereka dari jarak sekitar enam sampai tujuh meter.

Bagau, murid SMA di SMK Harapan telah ditembak di dada dan tak lama meninggal. Sabarofek ditembak di bagian kiri dada nya dan bagian dalam paha kanan. Korwa ditembak di bagian kanan dada nya dengan peluru karet. Kedua remaja tersebut berhasil melarikan diri dari polisi. Kedua orang yang selamat, Sabarofek dan Korwa dibawa ke Rumah Sakit Umum Timika. Menurut kesaksian dari salah satu korban, tidak lama setelah penembakan, petugas keamanan datang dalam tiga mobil dan beberapa sepeda motor telah berkumpul di tempat penembakan. Sementara motif di belakang penembakan masih belum jelas, kesaksian saksi mata mengatakan bahwa mungkin penembakan dilakukan untuk membalas perusakan rumah dimana mobil patroli tersebut terletak.

Informasi terbaru dari korban melaporkan bahwa kondisi Sabarofek masih kritis dan ia masih mencari pengobatan, sementara Korwa mendapatkan luka ringan. Penyelidik lokal ham mengatakan bahwa polisi belum bertanggung jawab untuk biaya berobat. Laporan juga mengatakan bahwa orang tua dari kedua korban telah diancam oleh polisi. Polisi dilaporkan menelfon mereka mengancam bahwa anak-anak mereka akan ditahan. Keluarga korban meminta pembela ham menemani yang selamat untuk mencari jawaban mengapa para polisi tersebut menembak ketiga remaja.

Dua orang Papua ditembak oleh tentara di Timika

Pada 28 Agustus, Imanuel Marimau dan Uilianus Okare, keduanya berumur 23 tahun, ditembak mati sementara lima lainnya mengalami luka-luka ketika dua tentara dari Komando Distrik Militer 1710 (Kodim 1710) melepas tembak kepada kelompok orang di Koperapoka di Kabupaten Mimika. Kepala Sersan Serkha Makher dan Sersan Pertama Sertu Ashar dilaporkan sedang mabuk pada saat mereka menginterupsi ritual tradisional yang diselenggarakan oleh anggota dari suku Kamoro di Timika untuk menghormati lelaki lokal yang menerima gelar doktor.

Menurut informasi dari penyelidik di Timika, dua tentara datang dengan sepeda motor dengan keadaan mabuk dan berusaha menginterupsi perayaan. Setelah diberi tahu bahwa mereka tidak diterima di acara itu, para tentara tersebut dilaporkan kembali dengan senapan dan pisau bayonet. Mereka lalu diduga mengancam sekelompok orang dengan senjata mereka sebelum meninggalkan halaman gereja dan berposisi di jalanan luar. Laporan mengatakan bahwa tentara melepas tembak kepaada mereka, membunuh dua dan melukai sedikitnya empat lainnya. Laporan mengatakan bahwa Marimau meninggal setelah ditembak di belakang kepalanya, sementara Okoare meninggal dari luka tembak di bagian perut. Marthinus Afukafi, Martinus Imputa, Thomas Apoka, Moses Imipu dan Amalia Apoka mendapatkan luka tembak dan lalu dirawat di rumah sakit. Menurut laporan di Jubi, ada kemungkinan korban lebih banyak dari penembakan tersebut, tetapi data tidak tersedia karena petugas keamanan mengahalangi penyelidik ham untuk mengoleksi informasi untuk korban yang dirawar di Rumah Sakit Umum Daerah Mimika.

Menurut laporan dari Jubi, Letnan Kolonel Andi Kusworo, Komandan Militer Kabupaten Kodim 1710, mengatakan bahwa regulasi baru akan dikeluarkan mengenai batasan untuk tentara dalam membawa senjata di kota-kota. Pada 28 Agustus, dua tentara ditangkap dan ditahan di Kantor Polisi di Timika. Menurut juru bicara militer, tentara tersebut diduga bertindak untuk membela diri setelah diserang oleh anggota kelompok yang mengikuti perayaan.

Pada 7 September, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengirim tim pemantau ke Timika, dengan tugas mengumpulkan data insiden tersebut. Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengritik kurang nya transparansi pada investigasi yang dilakukan oleh insitusi negara yang terkait. Militer dilaporkan melakukan penyelidikan sendiri atas kejadian itu.

Kelompok masyarakat sipil lokal dan internasional, termasuk gereja dan organisasi mahasiswa, telah mengutuk penembakan. Dewan Gereja-Gereja Pasifik mendesak pihak yang berwenang untuk menanggapi pembunuhan sewenang-wenang, siksaan dan pelanggaran ham di Papua. Pada 4 September, demonstran dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Malang menuntut para pelaku untuk diadili dan militer ditarik dari Papua.

Petugas tentara menembak lelaki Papua karena kecelekaan pinggir jalan

Laporan dari pembela ham di Timika mengatakan bahwa pada 28 September, lelaki berumur 21 tahun yang bernama Niko Bedes ditembak oleh dua tentara setelah kecelekaan pinggir jalan. Sementara insiden ini terjadi tidak lama setelah penembakan tiga remaja Papua oleh kepolisian Kabupaten Mimika Baru (lihat di atas), sepertinya ini merupakan penembakan yang terpisah dan tidak terkait dengan insiden di atas.

Menurut laporan, sekitar pukul 20:00, Bedes menaiki tumpangan sepeda motor dari temannya setelah dari pasar. Dalam perjalanan mereka kembali, temannya kehilangan kendali sepeda motor dan menabrak kendaraan yang mendekat di Jalan Yos Sudarso di depan kantor pos di Timika. Dua tentara dilaporkan keluar dari mobil. Sementara Bedes masih terletak di jalanan karena ditabrak, temannya berhasil melarikan diri. Kedua tentara lalu menembak Bedes, yang menghasilkan luka tembak di betis kiri nya.

Tidak lama setelah itu, ia dipaksa masuk ke mobil patroli yang telah tiba di lokasi kejadian. Ia dibawa ke Kantor Polisi Daerah Mimika Baru dan ditaruh di sel yang berbeda dari tahanan lainnya. Laporan lokal mengatakan bahwa kedua petugas tentara juga mengambil telepon genggamnya dan dompet berisi Rp 250,000 dan KTP nya. Bedes ditahan semalaman di sel dan tidak diberikan perhatian medis meskipun ia berteriak untuk pertolongan semalaman. Ia terus berdarah dari kakinya. Pagi berikutnya, sekitar pukul 08:00, ia diberitahu oleh polisi bahwa ia bisa kembali ke rumahnya. Ia tidak ditawarkan bantuan medis dari polisi. Karena ia tidak bisa jalan, seorang polisi, yang identitasnya tidak diketahui, memberikan tumpangan ke jalan raya dan memberikan Rp 20,000 untuk membayar ojek pulang. Ia lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum oleh istrinya. Pada 30 September, ketika ditanya mengenai insiden tersebut, polisi dilaporkan mengatakan bahwa korban sebaliknya mengalami kecelakaan dimana sepeda motornya menabrak pinggir jalan. Belum ada penyelidikan polisi terhadap kasus ini sejauh ini.

Tiga orang Papua diculik dan disiksa di Jayapura

Pada 28 Agustus, tiga laki-laki diculik dan disiksa di Jayapura oleh Poresta Jayapura. Jubi melaporkan bahwa sekitar 03:00, Elieser Awom, Soleman Yom dan Yafet Awom sedang membeli rokok di warung dekat rumah mereka ketika mereka dipaksa masuk ke dalam mobil oleh empat laki-laki. Salah satu dari empat laki-laki tersebut dilaporkan memakai seragam polisi sementara tiga lainnya memakai pakaian biasa. Ketiga laki-laki muda Papua tersebut dituduh mencuri sepeda motor dan diberi tahu bahwa mereka akan diinterogasi di kantor polisi.

Bukannya dibawa ke kantor polisi, mereka dibawa ke Sentani Timur, kota di ujung Jayapura. Selama perjalanan kesana, mereka dipaksa untuk mengakui tuduhan mereka di bawah penyiksaan. Menurut kesaksian yang dilaporkan di Jubi, Yafet Awom ditusuk di paha nya dengan pisau dan disundut rokok. Ia juga mengalami luka-luka di bagian kanan tubuhnya karena dipukul dengan gagang pisau bayonet. Ia juga dilaporkan dalam keadaan trauma dan kesulitan berbicara dan makan. Soleman Awom ditusuk di leher nya dengan pisau bayonet dan juga mengalami luka-luka dari pukulan dan tendangan. Elieser Awom ditusuk dari belakang dan bahu kiri dan ditendang di dada nya. Ia mengalami kesulitan jalan karena pukulan-pukulan tersebut.

Setelah mereka sampai di Sentani, Soleman Yom dan Eliese Awom dipaksa keluar dari mobil. Saat mereka mulai melarikan diri, laki-laki di dalam mobil melepas empat tembakan ke arah mereka. Yom dan Awom sembunyi di kampong yang dekat dan dipulangkan oleh warga kampong di hari berikutnya. Yafet Awom ditahan di Kantor Polisi Daerah Kota Jayapura dan dibebaskan pagi berikutnya.

Pada 31 Agustus, saudara dari tiga korban pergi ke Markas Besar Polisi Papua untuk menuntut investigasi menyeluruh kepada insiden tersebut. Menurut pernyataan yang dibuat oleh Kepala Inspektur Polisi Papua Jeneral Paulus Warterpauw, kedua petugas polisi kota Jayapura, Bripda Suherman dan Damani, sedan di selidiki oleh Provos Pengaman (Propam), pengaduan internal polisi dan mekanisme penyelidikan, dan Reskrim Polda. Ketiga laki-laki mendapat iringan hukum dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP).

Roby Pekey dituduh dengan pencurian

Di pembaruan kami Juli lalu, kami melaporkan mengenai penahanan dan penembakan Roby Pekey yang berumur 21 tahun oleh Kepolisian Daerah Jayawijaya di Wamena. Ia lalu dikirim ke Rumah Sakit Wamena untuk mengobati luka tembaknya. Informasi dari pengacara yang menemaninya mengatakan bahwa Pekey sedang ditahan di Kantor Kepolisian Daerah Wamena sementara menunggu pengadilan. Ia dituduh pencurian di bawah Pasal 362 KUHP.

Pengacara yang menemani Pekey telah mengatakan bahwa penangkapan dan penahanannya telah dilaksanakan bertentangan dengan prosedur polisi biasa. AIDP melaporkan bahwa surat penahanannya dikeluarkan dua hari, atau lebih dari 24 jam setelah penangkapannya. Menurut prosedur pidana Indonesia, surat penahanan harus dikeluarkan 24 jam setelah penangkapan. Lebih dari itu, pengacara-pengacara mengatakan bahwa ia ditahan tanpa surat penahanan.

Selama pengadilan pada bulan Agustus, Bripda Eko Putra Wijaya Basri, salah satu polisi yang terkait dalam penangkapan Pekey, bersaksi bahwa ia menembak Pekey di pergelangan kaki kiri untuk melumpuhkannya. Basri mengakui bahwa setelah Pekey jatuh dan telah diamankan oleh para polisi, ia ditembak lagi oleh polisi yang lainnya. Kesaksiannya bertentangan dengan pernyataan oleh Kepolisian Daerah Jayawijaya sebelumnya bahwa Pekey hanya ditembak sekali. Pengacaranya melaporkan bahwa Pekey ditembak tiga kali. Pekey, mahasiswa keperawatan, menetapkan bahwa ia tidak mencuri sepeda motor tetapi membelinya dari rumah gadai.

Tahanan kejadian Tolikara di dalam penangkapan kota

Di laporan kami Juli lalu, kami melaporkan penahanan dua laki-laki terkait kasus Tolikara. Pengacara ham bersama KontraS Papua menemani Jundi Wanimbo dan Ariyanto Kogoya melaporkan bahwa kedua laki-laki telah dibebaskan dari tahanan tetapi masih dalam penangkapan kota. Kedua orang itu ditangkapa berkaitan dengan pembakaran beberapa kios pada tanggal 17 Juli, yang menyebar ke sebuah musholla dimana sholat Idul Fitri sedang terjadi.

Pada 18 September, pengacara yang mengiringi kedua laki-laki tersebut mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Wamena. Pada 23 September, kedua laki-laki dibebaskan dari tahanan di Pusat Polda Papua dengan jaminan tetapi masih di bawah penangkapan kota di Tolikara. Mereka masih menghadapi tuduhan pembakaran dan kekerasan terhadap orang atau barang di bawah Pasal 187 dan 170 KUHP, namun masih belum jelas kapan pengadilan akan dimulai.

Pada 17 Juli, pemuda berumur 16 tahun yang bernama Endy Wanimbo ditembak mati dan setidaknya 11 orang mengalami luka tembak ketika petugas keamanan mulai menembak kepada kelompok orang yang sedang melakukan protes terhadap penggunaan loudspeaker saat acara Sholat Ied. Menurut pengacara KontraS Papua, hanya sedikit tanda dimana pelaku penembakan akan dibawa untuk bertanggung jawab.

Bupati Intan Jaya berpartisipasi dalam paksaan brutal dalam pembubaran demonstrasi pelajar

Pada 17 dan 18 Agustus, demonstran pelajar yang mendesak transparansi mengenai dana bantuan salah urus dengan brutal dibubarkan oleh pihak berwenang dari Intan Jaya. Pelajar juga melakukan protes terhadap rencana kegiatan pertambangan di Intan Jaya tanpa konsultasi tepat dengan tokoh adat pemilik lahan.

Pada 17 Agustus, pelajar dari Gerakan Pelajar dan Mahasiswa Peduli Intan Jaya (GPMPI) yang berdemonstrasi di luar bandara Soko Paki di Intan Jaya dibubarkan secara paksa oleh petugas Brimob di bawah perintah Natalis Tabuni, Bupati Intan Jaya. Menurut saksi mata yang dilaporkan oleh Suara Papua, petugas Brimob dilaporkan memukul demonstran dengan gagang senjata dan melepas lima tembakan ke arah demonstran pelajar. Tidak ada yang menderita luka-luka.

Hari berikutnya, pada 18 Agustus, kelompok pelajar deomnstran yang sama melakukan pergerakan panjang. Pada saat mereka sampai diluar kediaman Bupati, mereka mulai bernegosiasi dengan petugas keamanan yang menginstruksi para pelajar untuk tidak berdemonstrasi. Dalam upaya pembubaran pelajar, Natalis Tabuni dilaporkan keluar dari rumah dengan senjata dan mulai melepas tembakan ke udara. Tabuni juga dilaporkan bergabung dengan petugas Brimob yang berada di kediamannya dalam memukul para pelajar. Suara Papua melaporkan bahwa beberapa anggota pemerintah daerah lainnya juga melempar batu kepada mereka. Setidaknya 14 pelajar mengalami luka-luka.

Pemimpin mahasiswa Melianus Duwitau, yang mengalami pemukulan, memberitahu Majalah Selangkah bahwa meskipun mereka bertemu dengan pihak-pihak yang berwenang dari Kementerian Kesejahteraan Rakyat di Intan Jaya, tidak ada aksi yang dilakukan terkait penyaluran dana kepada pelajar yang membutuhkan. Ia mengatakan bahwa 68 mahasiswa dari Intan Jaya belum menerima dana yang telah dijanjikan.

Berita

Filep Karma menolak remisi

Aktivis Papua Barat dan tahanan politik, Filep karma, telah menolak tawaran remisi untuk hukuman 15 tahun pejaranya. Remisi biasanya diberikan kepada tahanan pada saat Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus. Karma mengatakan bahwa ia hanya akan meninggalkan Penjara Abepura, dimana ia sedang ditahan, jika ia dibebaskan tanpa syarat. Karma mengatakan bahwa “Saya tidak melakukan kejahatan ketika menaikkan Bendera Morning Star di tahun 2004. Saya akan tetap berkampanya untuk kemerdekaan jika saya sudah bebas.”

Di tahun 2004, Karma ditangkap dan dituduh dengan dakwaan makar karena menaikkan Bendera Morning Star, simbol kemerdekaan Papua. Tetapi, Bagus Kurniawan, kepala Penjara Abepura, mengaku bahwa penjara belum menerima keputusan resmi dari Jakarta yang menawarkan remisi untuk Filep Karma.

Upaya-upaya untuk membatasi media luar dibatalkan ketika dua wartawan Inggris menghadapi kemungkinan hukuman lima tahun di penjara

Regulasi baru yang berusaha untuk memperluas batasan untuk wartawan asing langsung dihapuskan setelah oposisi dari Presiden Joko Widodo mengenai hal tersebut. Pada 26 Agustus, Mayor Jeneral Soedarmo, Direktur Jeneral dari Polpum Kemendagri mengumumkan prosedur baru untuk wartawan asing, anggota kru film dan pekerja NGO yang berusaha melakukan kerja di Papua.

Persyaratan pertama termasuk aplikasi untuk izin yang dikeluarkan oleh Tim Koordinator untuk Kunjungan Orang Asing dari Kementrian Luar Negeri. Tim Koordinator terdiri dari satgas yang mencakup di antara lain, anggota dari Badan Intelejen Negara (BIN) dan polisi nasioinal. Wartawan asing, anggota kru film, dan pekerja NGO juga diharuskan untuk mendaftar untuk izin dari Direktorat Jeneral untuk Bidang Politik dan Administrasi General dari Kementrian Dalam Negeri. Selain itu, izin dari pihak berwenang administrative lokal di bawah Badan Kesatuan Nasional dan Bidang Politik juga diperlukan untuk akses ke daerah terpencil. Terakhir, wartawan asing, anggota kru film, dan pekerja NGO juga memerlukan untuk memperlihatkan identitas resmi yang dikeluarkan oleh perwakilan Indonesia di luar negeri.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan di Jakarta Post bahwa regulasi baru diperlukan “untuk mencegah wartawan asing untuk melakukan aktivitas intelejen.” Soedarmo juga mengatakan bahwa regulasi tersebut merupakan “salah satu bentuk perlindungan untuk negara.” Kelompok masyarak sipil nasional mengkritik regulasi sebagai kemunduran untuk kebebasan media di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mengatakan bahwa regulasi tersebut melanggar Pasal 28 KUHP dan UU 40/1999 untuk press yang menjamin kebebasan media. Klub Wartawan Asing Jakarta mengritik regulasi tersebut sebagai “noda pada transisi Indonesia ke demokrasi dan pernyataan dari pemerintahan bahwa mereka mendukung kebebasan press dan hak asasi.”

Menurut berbagai lapora media, Kumolo meminta maaf kepada Presiden Jokowi melalui telefon dan mencabut regulasi baru tersebut. Sementara komite Kantor Kliring yang memberi sah untuk aplikasi visa untuk wartawan asing telah dibubarkan, namun proses pendaftaran sekarang masih belum jelas.

Dua wartawan Inggris, Rebecca Prosser dan Neil Bonner sedang di pengadilan di bawah tuduhan pelanggaran hukum imigrasi Indonesia dan menghadapi kemungkinan hukuman lima tahun penjara. Para wartawan tersebut sedang membuat dokumentari yang didanai National Geographic mengenai pembajakan di Selat Malaka. Pada 29 September, Reporters Without Borders (RSF) memanggil pihak berwenang Indonesia “untuk berhenti menyalahgunakan peraturan imigrasi dan untuk menjatuhkan dakwaan terhadap kedua wartawan tersebut.”

Tahanan Politik Papua bulan September 2015

No Tahanan Ditangkap Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh kekerasan? Kekhawatiran yang dilaporkan dalam proses hukum? Penjara/  Tempat Penahanan
1 Arnes Silak 15 Juni 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Penangkapan KNPB di Bandara Sentani Tidak Jelas Tidak Jelas Markas Besar Kepolisian Papua
2 Yafet Keiya 28 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda MSG demo di Nabire Tidak Jelas Tidak Jelas Nabire

 

 

3 Ottis Munipa 28 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda MSG demo di Nabire Tidak Jelas Tidak Jelas Nabire

 

 

4 Wamoka Yudas Kossay 22 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, UU 1/1946 Pasal 14 Sidang dimulai 15 Oktober

 

MSG demo di Biak

 

Tidak Jelas  Iya Biak
5 Apolos Sroyer 20 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, UU 1/1946 Pasal 14 Sidang dimulai 15 Oktober

 

MSG demo di Biak

 

Tidak Jelas  Iya Biak
6 Dorteus Bonsapia 20 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, UU 1/1946 Pasal 14 Sidang dimulai 15 Oktober

 

MSG demo di Biak

 

Tidak Jelas  Iya Biak
7 Narko Murib 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
8 Alexander Nekenem 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
9 Yoram Magai 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
10 Othen Gombo 20 Mei 2015 Pasal 160 Menunggu sidang MSG demo di Manokwari Tidak Jelas  Iya Manokwari
11 Obed Korie 15 Mei 2015 Pasal 170 5 bulan Sorong demo terhadap PT PPM Iya Tidak Jelas Sorong
12 Odie Aitago 15 Mei 2015 Pasal 170 7 bulan Sorong demo terhadap PT PPM Iya Tidak Jelas Sorong
13 Ruben Furay 1 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Kaimana 1 Mei 2015 Tidak Jelas Tidak Jelas Kaimana
14 Sepi Surbay 1 Mei 2015 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Kaimana 1 Mei 2015 Tidak Jelas Tidak Jelas Kaimana
15 Dr Don Flassy* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 55(1),53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
16 Dr Lawrence Mehue* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 55(1),53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
17 Mas Jhon Ebied Suebu* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 108(2), 55(1), 53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
18 Onesimus Banundi* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 108(2), 55(1), 53(1) Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
19 Elias Ayakeding* 14 April 2015 Pasal-Pasal 106, 160 Dengan jaminan Penangkapan makar KIP Tidak Jelas Tidak Jelas Ditebus, penahanan kota, tidak bisa pergi dari Jayapura
20 Kamori Murib 9 Desember 2014 UU Darurat 12/1951 3 tahun Penyiksaan Lanny Jaya Iya Iya Wamena
21 Yosep Siep 9 Juli 2014 Pasal-Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Iya Iya Dibebaskan menunggu banding
22 Marthen Marian 9 Juli 2014 Pasal-Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Iya Iya Dibebaskan menunggu banding
23 Jhoni Marian 9 Juli 2014 Pasal-Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Iya Iya Dibebaskan menunggu banding
24 Alapia Yalak 4 Juni 2014 Tidak Jelas Penyelidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Iya Iya Markas Besar Kepolisian Papua
 25 Jemi Yermias Kapanai 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
26 Septinus Wonawoai 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
27 Rudi Otis Barangkea 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
28 Kornelius Woniana 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
29 Peneas Reri 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
30 Salmon Windesi 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
31 Obeth Kayoi 1 Februari 2014 Pasal-Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Iya Iya Penjara Serui
32 Soleman Fonataba* 17 Desember 2013 Pasal-Pasal 106, 110)1, 53, 55 Penahanan kota 1.5 tahun, menunggu banding Penangkapan bendera Melanesia Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditebus, tidak bisa pergi dari Sarmi
33 Edison Werimon* 13 Desember 2013 Pasal-Pasal 106, 110)1, 53, 55 Penahanan kota 1.5 tahun, menunggu banding Penangkapan bendera Melanesia Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditebus, tidak bisa pergi dari Sarmi
34 Piethein Manggaprouw 19 Oktober 2013 Pasal-Pasal 106, 110 3 tahun Demo Kongres ketiga Papua di Biak Tidak Iya Biak
35 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 7 tahun Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
36 Markus Sawias 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 4 tahun Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
37

 

George Syors Simyapen 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 4.5 tahun Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
38 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 Pasal-Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 2 tahun and 6 bulan Penaikan bendera Biak, Peringatan 1 Mei Iya Iya Biak
39 Isak Klaibin 30 April

2013

Pasal-Pasal 06, 107, 108, 110, 160 and 164 3 tahun and 6 bulan Peringatan Aimas 1 Mei Tidak Iya Sorong
40 Jefri Wandikbo 7 Juni 2012 Pasal-Pasal 340, 56,  UU 8/1981 8 tahun Aktivis KNPB disiksa di Jayapura Iya Iya Abepura
41 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan penaikan bendera Tidak Tidak Abepura
42 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Penaikan bendera Yalengga Tidak Iya Wamena
43 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Penaikan bendera  Yalengga Tidak Iya Wamena
44 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Penaikan bendera Abepura 2004 Tidak Iya Abepura
45 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Iya Tidak Wamena

*Meski para tahanan ini telah dibebaskan dengan jaminan dan sedang tidak dipenjara, mereka terus menghadapi tuduhan dan sedang menjalani investigasi. Karena mereka bisa ditangkap lagi, kami terus memonitor setiap perkembangan dalam kasus-kasus ini.

Share

Orang Papua di balik Jeruji: Agustus 2013

Ringkasan

Pada akhir Agustus 2013, terdapat 55 tahanan politik di penjara Papua. Ada sejumlah penangkapan pada bulan ini yang mencerminkan upaya polisi untuk menghalangi demonstrasi damai di seluruh wilayah Papua. Mereka semua yang ditahan pada bulan Agustus telah dibebaskan dari tahanan, sebagian besar dari antaranya tanpa dakwaan. Namun di Sorong, empat tokoh masyarakat telah dibebaskan dari tahanan, tetapi tetap dikenakan tuduhan makar dan penghasutan. Di Wamena, dua orang saksi pembunuhan oleh Polisi ditahan dan kemudian dibebaskan.

Daniel Gobay dan Matan Klembiap dalam kasus penangkapan di Depapre, serta enam aktivis dalam kasus amunisi di Abepura telah dibebaskan. Ada laporan keprihatinan mengenai investigasi untuk kasus Biak 1 Mei dan persidangan Aimas 1 Mei. Aparat keamanan Indonesia menggerebek kantor Dewan Adat Papua dan sebuah gereja di Paniai. Kondisi kesehatan Filep Karma semakin memburuk karena ditolak perawatan medis yang memadai sekali lagi.

Penangkapan

Empat pemimpin masyarakat ditangkap setelah pernyataan pers mendukung Freedom Flotilla

Pada tanggal 28 Agustus 2013, sekitar pukul 18.00 waktu Papua, Polres Sorong menangkap empat tokoh masyarakat di Gereja Maranatha Lama di Sorong. Apolos Sewa, Ketua Dewan Adat Daerah (DAD), Yohanis Goram Gaman, Pengurus DAD, Amandus Mirino dan Samuel Klasjok ditangkap selepas sesi doa dan keterangan pers dalam aksi solidaritas DAD dengan ‘Freedom Flotilla’ yang sedang berlayar dari Australia ke Papua Barat untuk menyoroti situasi hak asasi manusia di Papua Barat.

Menurut laporan dari seorang aktivis setempat sebagaimana dinyatakan dalam Tabloid Jubi, sesi doa dan keterangan pers tersebut diterima dengan antusias oleh masyarakat yang hadir. Dalam langkah mendukung keterangan pers – yang menyambut kedatangan Freedom Flotilla – bendera Bintang Kejora bersama dengan bendera Aborigin lainnya dikibarkan. Tak lama setelah itu, keempat pemimpin tersebut ditangkap dan dibawa ke Polres Sorong untuk diinterogasi.

Informasi yang diterima dari sumber setempat lainnya menyatakan bahwa selepas diinterogasi selama satu malam, keempatnya dibebaskan dengan syarat. Keempat aktivis tersebut diminta memberikan  pernyataan kepada polisi untuk dapat bekerja sama dengan penyidik polisi, bersedia menghadiri proses hukum sampai ke pengadilan dan akan melapor  kepada polisi dua kali seminggu. Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menyatakan bahwa pada tanggal 2 September, keempatnya melapor ke Polres Sorong untuk pertama kali sejak dibebaskan pada 29 Agustus.  ALDP juga melaporkan bahwa para pengacara HAM akan berkoordinasi dengan polres Sorong untuk mengatur akses ke pengacara hukum untuk keempatnya. Laporan di media Papua menyatakan bahwa mereka telah dituduh dengan makar dan penghasutan sebagaimana Pasal 106 dan 110 KUHP.

Penangkapan dan intimidasi terhadap warga sipil dan aktivis yang berpartisipasi dalam Parade Budaya Papua

Menurut laporan dari sumber HAM setempat, aparat keamanan Indonesia berusaha menghalangi terjadinya demonstrasi dalam bentuk Parade Budaya Papua pada 15 Agustus 2013 di berbagai kota di Papua. Parade Budaya diadakan untuk memperingati perjanjian New York tahun 1962, yang mengakibatkan Papua Barat diserahkan kepada Indonesia, dan untuk mendukung pembukaan kantor Kampanye Free West Papua di Belanda.

Waena

Sebuah laporan yang diterima melalui email dari seorang aktivis setempat di Jayapura menyatakan bahwa empat KNPB (Komite Nasional Papua Barat) aktivis Agus Kosai, Toni Kobak, Wim Rocky Medlama dan 13 anggota KNPB lainnya yang tidak dinama ditangkap pada 14 Agustus sementara mereka sedang membuat persiapan untuk Parade Budaya. Para aktivis telah merencanakan untuk melakukan kegiatan dari Waena ke makam pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay di pinggiran kota Sentani pada 15 Agustus, namun ditangkap oleh polres Jayapura. Setelah diinterogasi selama beberapa jam, mereka dibebaskan namun polisi menyita barang yang akan digunakan pada Parade Budaya, termasuk spanduk, generator, mikrofon dan megafon. Sebuah artikel oleh situs berita Warta Papua Barat melaporkan bahwa di Jayapura, sekitar 800 personil kepolisian diturunkan untuk mengamankan Parade Budaya yang bergerak dari Jayapura ke Waena. Dalam artikel ini, seorang aktivis hak asasi manusia telah mengkritik tindakan ini, menyatakan bahwa kehadiran polisi yang banyak itu berlebihan untuk sebuah demonstrasi damai.

Di Waena, ratusan warga sipil dilaporkan ‘dihadang’ oleh polisi bersenjata lengkap di Terminal Abe-Sentani. Menurut seorang aktivis yang diwawancarai dalam laporan tersebut di atas itu, empat truk polisi, satu panser mobil gas air mata dan satu tangki dikerahkan untuk mengendalikan Parade Budaya tersebut.

Wamena

Laporan yang sama diterima dari aktivis setempat yang menyatakan bahwa polisi bandara di kota Wamena menyita lima spanduk yang dikirim dari Jayapura untuk digunakan di Parade Budaya pada 15 Agustus. Ketika aktivis KNPB meminta penjelasan dari pihak berwenang, mereka diberitahu bahwa spanduk-spanduk tersebut diduga mengandung pesan separatisme yang dilarang dan  akan ‘mengganggu’ Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Sebuah unit TNI, Kodim serta Brimob diduga menguasai ruang di mana para aktivis berniat untuk parade, menghambat kemampuan mereka untuk berkumpul.

Fak-Fak                                                                                                   

Laporan lainnya yang dikirim oleh Dewan Adat Papua (DAP) menyoroti taktik banyaknya polisi menjelang perayaan Parade Budaya pada tanggal 15 Agustus di Fak-Fak. Pada 8 Agustus, polres Fak-Fak membawa sebuah konvoi kendaraan ke kampung Sakartemin dan mengeluarkan pernyataan melarang masyarakat melaksanakan Parade. Pada tanggal 10 Agustus, polisi menyita tas milik masyarakat sipil bernama Firmansyah Iribaram di pelabuhan Fak-Fak, karena bendera Bintang Kejora tercetak di atasnya. Ketika  diminta penjelasan, polisi menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk menyita tas itu. Pada tanggal 12 Agustus, Kapolres Fak-Fak Drs. M. Yusuh memimpin sebuah konvoi kendaraan kepolisian ke Distrik Kramonggea dimana mereka mengeluarkan pernyataan serupa melarang setiap tindakan merayakan Parade Budaya .

Pada tanggal 13 Agustus, sembilan anggota KNPB ditangkap oleh polres Fak-Fak di kampung Brongkendik di Distrik Fak-Fak Tengah. Aktivis setempat melaporkan bahwa sembilan aktivis – Arnoldus Kocu, Lahamis Weripang (Ketua KNPB Fak-Fak ), Daniel Kaninggal, Susana Kramandodon, Tobias Hegemur, Salimin Renwarin, Alex Hindon, Matias Bahamba dan Yahya Bahamba – ditangkap oleh polisi bersenjata lengkap. Organisasi hak asasi manusia Elsham Papua melaporkan bahwa kesembilannya dibebaskan beberapa jam kemudian setelah diinterogasi.

Laporan DAP yang sama juga menyatakan bahwa pada tanggal 13 Agustus, Polres Fak-Fakmengeluarkan balasan bahwa mereka tidak dapat memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) Aksi Damai bagi Solidaritas Aksi Kaum Pribumi untuk HAM Dan Demokrasi  (SKPHD ) untuk melaksanakan Parade Budaya pada 15 Agustus. Pada 14 Agustus sekitar pukul 13.30 waktu Papua, sebuah aparat gabungan TNI dan Polri melakukan penangkapan massal di beberapa kampung ditengah kota Fak-Fak. Sekitar 150 warga sipil ditangkap , termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, dan dibawa ke Polres Fak-Fak. Setelah mendengar tentang penangkapan massal itu, tiga para koordinator Parade Budaya, Roy Mury , Samuel Rohrohmana dan Dany Hegumur menuju ke kantor polisi untuk bernegosiasi untuk pembebasan mereka. Ketiga aktivis itu ditahan dan diinterogasi selama beberapa jam sebelum dibebaskan. Ketiga aktivis tersebut menegosiasikan pembebasan 150 warga sipil itu, yang kemudian dibebaskan setelah ditahan selama tiga jam.

Laporan ini juga menyoroti kejadian di Polres Fak-Fak di mana semasa penggeledahan,wanita-wanita yang ditahan diduga ditelanjangi hingga hanya memakai celana dalam. Ini dilaporkan dilakukan oleh dua polisi wanita di kamar mandi perempuan. Seorang gadis berusia 16 tahun yang memberikan kesaksian kepada Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum di Manokwari (LP3BH) mengatakan bahwa ia diperintahkan oleh salah satu dari dua polwan itu untuk memasuki kamar mandi di mana ia ditelenjangi dan diinterogasi tentang alasannya  datang ke kota. Sebuah pernyataan pers dari LP3BH mengutuk keras tindakan dua polwan itu, dengan argumen bahwa mereka telah melanggar Pasal 5 dan Pasal 32 UU 8/1981tentang Hukum Acara Pidana dan melanggar prinsip praduga tak bersalah. Polres Fak-Fak telah mengeluarkan permintaan maaf kepada para wanita tersebut.

Pada tanggal 15 Agustus,sekitar pukul 09:30 waktu Papua, demonstran yang menuju ke Parade Budaya dari kabupaten Teluk Patipi dihentikan  oleh polisi dan dibawa ke Polres Fak-Fak. Salah satu koordinator Parade Budaya menjadi jaminan  polres untuk cepat membebaskan mereka setelah diinterogasi. Selama Parade tersebut, aparat keamanan Indonesia melakukan pencegatan dan pengeledahan terhadap kelompok-kelompok  yang berbedah  yang menuju ke tempat berkumpul untuk Parade di lapangan parkir Pasar Thumburuni di Fak-Fak. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa ada dugaan warga sipil  menerima ancaman bahwa mereka akan ditembak jika mereka mengambil bagian dalam Parade itu. Seorang pria bernama Yosua diduga dipukuli hingga mengalami gangguan pencernaan. Pengendara motor dan pejalan kaki sama sekali dihentikan dan digeladahkan sepanjang hari, diduga tanpa adanya surat izin.

Timika dan Nabire

Aktivis setempat melaporkan bahwa ada juga upaya kepolisian untuk membubarkan Parade Budaya di Timika, namun Parade berlangsung dengan aman. Ada laporan serupa tentang aktivitas Parade Budaya berjalan damai di Nabire.

Wartawan dipukuli di Paniai

Menurut sumber dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura seperti dilansir oleh ALDP, pada tanggal 15 Agustus 2013, sekitar pukul 16:20 waktu Papua, Andreas Badii, seorang wartawan berita Papua dari Bintang Papua dihentikan dengan motornya dan dipukuli oleh tiga anggota polres Paniai. Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Asia (Asian Human Rights Commission, AHRC), Badii menderita bibir robek dan hidung berdarah sebagai akibat dari pemukulan itu. Ia dibawa ke Polres Paniai sekitar 500 meter dari tempat kejadian. Ia dibebaskan setelah 30 menit.

Ia kurang jelas apakah penganiayaan dan penahanan sewenang-wenang ini timbul karena pekerjaan Badii sebagai seorang wartawan, atau sebagai bagian dari penangkapan umum sembarangan dan pelecehan terhadap warga sipil di Paniai, yang bukan tidak biasa. Papuans Behind Bars telah mencatat 13 penangkapan sewenang-wenang terhadap warga sipil di Paniai tahun ini, semuanya kemudian telah dibebaskan tanpa dakwaan.

Saksi pembunuhan oleh polisi ditahan di Wamena

Sebuah laporan yang diterima dari seorang aktivis HAM setempat menyatakan bahwa pada tanggal 8 Agustus 2013, sekitar pukul 10.30 waktu Papua, dua saksi mata kepada pembunuhan warga sipil oleh seorang polisi – ‘AW’ dan ‘BK’ – ditangkap oleh polres Jayawijaya di Wamena. Brigadir Polisi Lusman Lua diduga melepaskan dua tembakan peringatan ketika terjadi perdebatan antara dia dan Irwan Wenda, seorang warga sipil. AW dan BK mengimbau Lua untuk tidak menembak Wenda karena ia menderita penyakit mental. Laporan tersebut menyatakan bahwa Lua bereaksi dengan menembak Wenda di kaki, perut, kepala dan lengan kiri, terus membunuhnya di tempat. Penembakan fatal terjadi di hadapan empat anggota polres Jayawijaya lainnya dan dua saksi mata tersebut.

Kelima anggota polres itu kemudian dilaporkan memukuli kedua saksi mata tanpa sebab dan membawa mereka ke Polres Jayawijaya untuk diinterogasi. AHRC melaporkan bahwa keduanya menjadi sasaran penganiayaan. Dengan himbauan dari keluarga mereka, mereka dibebaskan dari tahanan beberapa jam kemudian. Belum diketahui apakah Lua telah dihukum atau jika tindakan telah diambil terhadapnya.

Pembebasan

Daniel Gobay dan Matan Klembiap dibebaskan

Menurut sumber setempat, dua aktivis yang ditahan sejak 15 Februari 2013 karena penyelidikan atas keberadaan dua aktivis pro-kemerdekaan telah dibebaskan. Pada bulan Agustus, Daniel Gobay dan Matan Klembiap dijatuhi hukuman 6 bulan 15 hari dan 6 bulan 10 hari masing-masing dikurangi masa tahanan, untuk penghasutan dan kepemilikan senjata. Klembiap dibebaskan pada 25 Agustus 2013 sedangkan Gobay dibebaskan lima hari kemudian pada 30 Agustus. Keduanya disiksa pada saat penangkapan dan semasa penahanan. Keluarga Matan Klembiap juga diduga telah menjadi target upaya pembunuhan.

Enam aktivis dalam kasus amunisi Abepura dibebaskan

Informasi yang diterima dari sumber setempat melaporkan pembebasam Denny Immanuel Hisage, Anike Kogoyo (wanita), Jhon Pekey, Rendy Wetapo, Jimmy Wea dan Oliken Giay dari LP Abepura pada bulan Agustus 2013. Keenam aktivis dijatuhi hukuman penjara sepuluh bulan berdasarkan UU Darurat No 12/1951 dan Pasal 55 KUHP Indonesia. Seperti dilaporkan di Update Juli, dalam sebuah wawancara dengan sumber setempat, Hisage menyatakan bahwa peluru ditanam di akomodasinya dalam rangka  bukti untuk memberatkan mereka.

Pengadilan bernuansa politik dan penilaian tentang kasus

Persidangan enam tahanan dalam kasus Biak 1 Mei

Informasi yang baru diterima dari pekerja HAM setempat telah menjelaskan identitas enam orang yang ditahan dalam kasus pengibaran bendera di Biak. Mereka dikenal sebagai Oktovianus Warnares, Yoseph Arwakon, Yohanes Boseren, Markus Sawias, George Syors Simyapen dan Jantje Wamaer.

Pada tanggal 1 Mei 2013, enam aktivis ditangkap setelah polisi melepaskan tembakan ke sebuah kelompok 50 orang yang berkumpul untuk upacara pengibaran bendera untuk memperingati 1 Mei yang menandai beralihnya administrasi Papua Barat ke Indonesia. Keenam mereka menghadapi tuduhan makar dan kepemilikan senjata berdasarkan Pasal 106, 53, 55 dan 56 KUHP dan Pasal 1 UU Darurat No 12/1951.

Aktivis setempat menduga bahwa selama penyelidikan, polisi mencoba menanam bukti memberatkan pada terdakwa, yang terdiri dari 49 peluru dan tiga karton bom rakitan. Pada tanggal 2 Juli, kasus telah diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum dan  dikembalikan ke penyelidikan polisi pada tanggal 10 Juli, dilaporkan karena laporan investigasi itu tidak lengkap dan belum mendapat status ‘P.21’, yang menunjukkan selesainya investigasi. Informasi yang diterima dari pengacara HAM setempat melaporkan bahwa pada tanggal 29 Agustus, kasus itu sudah dilimpahkan dengan sukses ke Jaksa. Pengacara-pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jayapura telah menandakan kesediaan untuk mewakili keenamnya setelah para keluarga enam aktivis mengajukan permintaan bantuan hukum. Namun, kesulitan keuangan menghambat kemampuan mereka untuk memberikan pendampingan hukum kepada keenam aktivis, yang sebagian besar di antaranya bekerja sebagai petani dan tidak mampu membayar biaya.

Saksi bukan saksi fakta yang dihadirkan dalam kasus Aimas 1 Mei

Sebuah laporan dari situs berita Papua online Tabloid Jubi menyatakan bahwa sidang untuk Aimas 1 kasus Mei (lihat Update Mei) telah dimulai. Pada tanggal 26 Agustus 2013 pemeriksaan saksi dilakukan di Pengadilan Negeri Sorong. Tiga saksi dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Laporan tersebut menyatakan bahwa hanya satu dari tiga orang saksi, Mesak Takoy, memiliki pengetahuan tentang insiden yang terjadi pada 30 April dalam peringatan tanggal 1 Mei, di mana tujuh orang – Isak Klaibin, Klemens Kodimko, Obeth Kamesrar, Antonius Safuf, Obaja Kamesrar, Yordan Magabloi dan Hengky Mangamis – ditangkap dan dituduh dengan makar di bawah Pasal 106, 108 dan 110 KUHP. Menurut sumber LP3BH yang dikutip dalam laporan, Takoy adalah tetangga lama Isak Klaibin, tetapi dia tidak punya mengetahui kegiatan politik Klaibin yang diduga dan tidak memiliki pengetahuan atau pernah bertemu enam terdakwa lainnya.

Pengacara mereka telah menolak pengajuan dua orang saksi lainnya oleh Jaksa Penuntut Umum – Kepala pemerintah Distrik Aimas dan Kepala kantor pemerintahan Kesatuan Nasional (Kesbang) di Manokwari – alasannya karena, kedua mereka tidak hadir pada saat kejadian pada tanggal 30 April 2013. Pengacara juga mempertanyakan isu tiang bendera, yang disebutkan dalam Laporan Investigasi dan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut, digunakan sebagai bukti terhadap ketujuh aktivis. Mereka berpendapat bahwa benda itu memang tidak ada pada saat kejadian tersebut. Keterangan saksi diharapkan akan terus berlanjut pada bulan September.

Kasus Timika 1 Mei dilimpahkan ke Jaksa

Seorang pengacara HAM setempat telah melaporkan bahwa kasus pengibaran bendera Timika 1 Mei (lihat Update Mei) telah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum. Sebuah sumber HAM lain telah menyatakan bahwa kelima orang – Domi Mom, Alfisu Wamang, Musa Elas, Eminus Waker dan Yacob Onawame – saat ini ditahan di Lembaga Pemasyaralatan Timika dan bahwa mereka masih  tanpa pendampingan hukum. Sumber yang sama juga melaporkan bahwa kelimanya telah disiksa dan diintimidasi oleh polisi semasa di tahanan. Sebagaimana dilaporkan dalam Update Juli kami, tiga di antaranya – Musa Elas, Yacob Onawame dan Alfisu Wamang –kesehatannya menjadi memburuk. Keluarga mereka telah meminta aparat polres Mimika untuk memberikan mereka perawatan medis yang memadai di rumah sakit, namun belum ada kemajuan yang dilaporkan.

Banding akan diajukan untuk kasus Perayaan Hari Pribumi di Yapen

Pengacara HAM telah melaporkan bahwa mereka akan mengajukan banding terhadap hukuman penjara dua tahun dan 18-bulan masing-masing atas Edison Kendi dan Yan Piet Maniamboi. Kedua mereka tidak lagi dalam tahanan karena telah menghabiskan jumlah maksimum yang diperbolehkan dalam penahanan.

Yogor Telenggen dituduh terlibat dalam penembakan Pirime 2012

Informasi yang diterima melalui email dari sumber HAM setempat telah mengungkapkan bahwa Yogor Telenggen, yang sebelumnya dilaporkan terlibat dalam penembakan 2012 di Puncak Jaya melawan aparat militer Indonesia, kini telah dituduh terlibat dalam kasus Pirime di Jayawijaya pada tahun 2012 dan penembakan terhadap para sopir di Bandara Mulia. Diperkirakan bahwa Telenggen tanpa pendapingan hukum, tapi ini belum dikonfirmasi. Dia telah ditahan di Polda Papua sejak 10 Maret 2013.

Vonis disampaikan untuk Atis Rambo Wenda

Informasi yang baru-baru ini diterima dari sumber-sumber setempat melaporkan bahwa Atis Rambo Wenda, yang ditangkap pada 4 April 2013 di Waena dan didakwa dengan tindak pidanan kekerasan berdasarkan Pasal 170 KUHP, telah dijatuhi hukuman penjara 10 bulan pada tanggal 20 Juli. Dalam Update Juni, Papuans Behind Bars melaporkan ketakutan Wenda atas potensi penganiayaan dari pihak berwenang di Abepura, mengakibatkannya menolak perawatan medis yang sangat dibutuhkan.

Kasasi diajukan untuk Bastian Mansoben

Pada tanggal 29 Agustus 2013, para pengacara HAM untuk Bastian Mansoben mengajukan banding terhadap hukuman 3 tahun penjara dan 6 bulan, yang sebelumnya dilaporkan dengan salah di Update Juni sebagai 3 tahun penjara. Mansoben disiksa pada saat penangkapan oleh kepolisian Biak dan dipukuli parah semasa dalam tahanan.

Sidang penangkapan Sarmi terus ditunda

Sebuah pemeriksaan saksi yang dijadwalkan pada tanggal 28 Agustus dalam pengadilan Alex Makabori (alias Isak Demetouw), Daniel Norotouw, Niko Sasomar dan Soleman Teno ditunda. Pengacara HAM telah menyatakan bahwa pemeriksaan saksi telah ditunda beberapa kali. Hal ini dilaporkan karena Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menghadirkan  saksi. Jaksa menyatakan bahwa personil militer yang  sebagai saksi telah dipindahkan ke Merauke, sementara saksi masyarakat  sipil tidak dapat hadir karena mereka tinggal jauh. 

Kasus-kasus yang menjadi perhatian

Anggota Dewan Adat Papua diintimidasi dan diancam dalam operasi kepolisian besar di Sentani Barat

Informasi yang diterima dari dua sumber HAM setempat melaporkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 2013, kantor Dewan Adat Papua (DAP), yang juga merupakan kediaman tahanan politik Forkorus Yaboisembut, digerebek dalam operasi polisi yang didukung oleh militer. Laporan yang diterima menyatakan bahwa kantor DAP, yang berada di kampung Sabron Yaru di wilayah Sentani Barat, dikelilingi oleh sekitar 100 aparat keamanan bersenjata yang tiba dengan 20 sepeda motor patroli, dua truk dari Polres Jayapura dan satu truk dari Batalyon 751 Sentani pembagian militer. Sebuah laporan yang diterima dari salah satu sumber setempat menyatakan bahwa pada saat itu, kantor itu hanya dihadiri oleh salah satu anggota Satgas Papua, grup keamaman bagi DAP, dan dua anggota DAP. Mereka diancam akan ditembak jika mereka tidak tetap duduk dan diam.

Kapolres Jayapura, Roicke Harry Langi, yang memimpin operasi itu dilaporkan menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menuntut bahwa organisasi keamanan DAP, Satgas Papua tidak lagi memakai pakaian seragam dan baret custom made mereka. Para aparat keamanan diduga juga menyatakan bahwa mereka diperintahkan oleh Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mengambil tindakan terhadap mereka yang tidak mematuhi aturan baru ini. Satgas Papua tidak dianggap sebagai institusi resmi yang disetujui oleh pemerintah Indonesia.

Kondisi kesehatan Filep Karma memburuk, ditolak perawatan medis

Sebuah laporan dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC Jayapura) telah mengungkapkan kekhawatiran baru bagi kesehatan Filep Karma, yang telah didiagnosis dengan penyakit jantung oleh tim medis di LP Abepura. Tim medis telah menyarankan perawatan khusus di rumah sakit pemerintah umum di Jayapura. Meskipun demikian Kalapas Abepura dilaporkan telah mengabaikan tiga surat rujukan yang dibuat oleh wakil tim medis LP Abepura yang meminta Karma diberi perawatan yang dibutuhkan.

Aparat keamanan menggeledah gereja di Paniai gereja dalam pencarian senjata

Situs berita Papua Majalah Selangkah telah melaporkan terjadi penggerebekan oleh gabungan aparat kepolisian dan militer atas Gereja Katolik St Maria Magdalena di wilayah Pugodide di Kabupaten Paniai pada tanggal 4 Agustus 2013. Menurut informasi yang diterima dari Majalah Selangkah dari seorang aktivis setempat yang berada di Paniai, penggerebekan itu dilakukan dalam mencari senjata yang diduga dimiliki oleh kelompok yang disangka militan di wilayah Pugodide.

Sebuah kronologi kejadian seperti yang dijelaskan oleh sumber Paniai setempat itu menyatakan bahwa pada tanggal 1 Agustus, masyarakat Pugodide menerima kabar mengenai distribusi ternak untuk 10 marga dari tiga kampung. Jonatan Bunai Gedeutopaa, seorang petugas militer di Jayapura meminta agar masyarakat Pugodide berkumpul di halaman Gereja St Maria Magdalena pada tanggal 4 Agustus untuk pembagian ternak di antara mereka sebelum memulai ibadah. Sementara distribusi sedang dilakukan, 15 para aparat keamanan Indonesia tiba dalam tiga kendaraan dan lanjut melakukan pencarian pada anggota masyarakat, termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua, dilaporkan pencarian senjata yang mereka mengatakan mereka percaya dimiliki oleh militan tersangka.

Pasukan keamanan juga dilaporkan secara paksa memasuki gereja, merusak pintu depan gereja. Dalam penggeledahan, aparat keamanan mencungkil tanah sekeliling gereja dan juga naik ke atas atap gereja dalam upaya pencarian senjata. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa Jonatan Bunai, dan seorang lagi petugas militer bernama Matias Bunai, yang membantu memfasilitasi distribusi ternak, tidak terlibat dalam penggeledahan itu. Tidak ada senjata yang ditemukan. Aparat keamanan menyita total  IDR 16 juta dari gereja dan beberapa handphone milik masyarakat dan membawa barang-barang yang disita ke Polres Paniai di Madi. Seperti dilaporkan dalam update-update sebelumnya, aparat militer sering melecehkan dan mengintimidasi warga sipil di Paniai dalam operasi sweeping di mana barang-barang pribadi disita tanpa surat perintah penyitaan.

Berita

Gubernur Enembe mengunjungi tahanan politik di Abepura

Tahanan politik Selpius Bobii telah mengeluarkan pernyataan sebagai balasan atas kunjungan baru-baru ini oleh Gubernur Papua  Lukas Enembe, ke Abepura pada tanggal 17 Agustus 2013. Pernyataan itu menegaskan kembali penolakan tawaran grasi oleh para tahanan politik di Abepura (yang akan membutuhkan pengakuan bersalah), dan menyoroti beberapa percakapan antara Enembe dan Filep Karma, Victor Yeimo dan Selpius Bobii. Dalam menanggapi kunjungan Gubernur, Bobii memberitahukan Gubernur bahwa sebagai tahanan politik mereka menolak grasi, dan bahwa bangsa Papua siap untuk bernegosiasi dengan Indonesia dan menolak Otonomi Khusus Plus. Enembe telah dilaporkan mengatakan kepada para tahanan untuk meninggalkan gerakan pro-kemerdekaan dan bekerja untuk mencapai kebebasan melalui kemakmuran.

Tahanan politik Papua bulan Agustus 2013

  Tahanan Tanggal Penahan Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/Penjara
1 Victor Yeimo 13 Mei 2013 160 3 tahun  (dijatuhkan pada 2009) Demo tahun 2009; Demo 13 Mei di Jayapura Tidak Ya Abepura
2 Astro Kaaba 3 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
3 Hans Arrongear Tidak diketahui Makar Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Polres Serui
4 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
5 Yoseph Arwakon 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
6 Yohanes Boseren 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
7 Markus Sawias 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
8 George Syors Simyapen 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
9 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 106, UU Darurat 12/1951 Tidak diketahui Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Tidak Ya Tahanan polres Biak
10 Domi Mom 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
11 Alfisu Wamang 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
12 Musa Elas 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
13 Eminus Waker 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
14 Yacob Onawame 1 Mei 2013 Makar Tidak diketahui Pengibaran bendera di Timika, peringatan 1 Mei Tidak Sidang tertunda Timika
15 Hengky Mangamis 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
16 Yordan Magablo 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
17 Obaja Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
18 Antonius Safuf 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
19 Obeth Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
20 Klemens Kodimko 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei Tidak Ya Polres Sorong
21 Isak Klaibin 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 Dalam persidangan Penembakan Aimas, peringatan 1 Mei; dituduh TPN/OPM Tidak Ya Polres Sorong
22 Yahya Bonay 27 April 2013 Tidak diketahui Tidak diketahui Kematian para polisi di Yapen Ya Sidang tertunda Tahanan polres Serui
23 Atis Rambo Wenda 4 April 2013 170 10 bulan Dituduh pidana kekerasan Ya Ya Abepura
24 Yogor Telenggen 10 Maret 2013 340, 338, 170, 251, UU Darurat 12/1951 Menunggu sidang Penembakan Pirime tahun 2012 Ya Ya Polda Papua
25 Isak Demetouw(alias Alex Makabori) 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
26 Daniel Norotouw 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
27 Niko Sasomar 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
28 Sileman Teno 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Penangkapan Sarmi Tidak Sidang tertunda Sarmi
29 Boas Gombo 28 Februari 2013 Pasal 24 dan 66 of Law 24/2009 9 bulan Bendera Indonesia perbatasan dengan PNG Tidak Ya Abepura
30 Andinus Karoba 10 Oktober 2012 365(2), UU 8/1981 Hukum Acara Pidana 1 tahun 10 bulan Aktivis Demak dituduh pencurian Ya Ya Abepura
31 Yan Piet Maniamboy 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
32 Edison Kendi 9 Agustus 2012 106 Dalam persidangan Perayaan Hari Pribumi di Yapen Tidak Ya Serui
33 Jefri Wdanikbo 7 Juni 2012 340, 56, Law 8/1981 8 tahun Dituduh pidana kekerasan di Wamena Ya Ya Abepura
34 Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 2.5tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
35 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
36 Bastian Mansoben 21 Oktober 2012 UU Darurat 12/1951 Dalam persidangan Kasus bahan peledak di Biak Possession of explosives Tidak Biak
37 Forkorus Yaboisembut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
38 Edison Waromi 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
39 Dominikus Surabut 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
40 August Kraar 19 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
41 Selphius Bobii 20 Oktober 2011 106 3 tahun Konggres Papua Ketiga Tidak Ya Abepura
42 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
43 Oskar Hilago 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
44 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
45 Obed Kosay 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
46 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
47 Dipenus Wenda 28 Maret 2004 106 14 tahun Pemboikotan Pilkada Bokondini Unclear Tidak Wamena
48 George Ariks 13 Maret 2009 106 5 tahun Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak Manokwari
49 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ya Abepura
50 Ferdindan Pakage 16 Maret 2006 214 15 tahun Kasus Abepura tahun 2006 Ya Ya Abepura
51 Jefrai Murib 12 April 2003 106 Life Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Abepura
52 Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
53 Kimanus Wenda 12 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
54 Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Life Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak
55 Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek tentang tahanan politik di Papua Barat.

Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Dana dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

Share

Oktober/November 2015: Akuntabilitas negara atas pelanggaran masih jarang

Ringkasan

Pada akhir bulan Oktober 2015, terdapat sedikitnya 42 tahanan politik di Papua. Pada akhir bulan November, terdapat sedikitnya 41 tahanan politik di Papua.

Pada 19 November 2015, Filek Karma dibeaskan setelah 11 tahun di penjara. Sebelumya, dia secara konsisten menolak tawaran pembebasan melalui remisi atau grasi dari pemerintah Indonesia, dengan menyatakan bahwa ini berarti pengakuan bersalah. Namun, pada hari pembebasannya, Karma tidak diberikan pilihan untuk tetap di penjara tetapi hanya dikeluarkan secara langsung. Karma sudah menyatakan bahwa dia akan tetap mengekspresikan aspirasi kemerdekaan Papua secara damai. Namun, masih belum pasti apakah ini akan ditoleransi oleh aparat keamanan Indonesia. Hanya beberapa hari sebelum pembebasan Karma, pada tanggal 16 November 2015, sebuah demonstrasi mendesak demokrasi dan kebebasan media dibubarkan secara paksa oleh kepolisian Wamena. Demonstrasi tersebut dipimpin oleh lima mantan tahanan politik yang dibebasakan pada bulan Mei 2015.

Keempat tahanan yang ditangkap karena mendemonstrasikan dukungan mereka untuk aplikasi dari United Liberation Movement for West Papua (Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat, ULMWP) untuk keanggotaan dengan Melanesian Spearhead Group (MSG) di Mei 2015 divonis 1.5 tahun’ kepenjaraan masing-masing. Ada kekhawatiran bahwa Narko Murib, salah satu tahanan, tidak menerima perawatan medis yang memadai untuk komplikasi kesehatan yang serius yang dia sedang menderita. Pengacara hak asasi manusia yang mendampingi kasus ini, dan juga kasus lain di biak yang juga melibatkan pendukung ULMWP, menyatakan bahwa tampaknya ada penggantian dakwaan makar dengan dakwaan pidana lain. Khususnya, para tahanan didakwa dengan penghasutan, di bawah Pasal 160 KUHP.

Tiga tentara dijatuhi hukuman penjara, sementara satu lagi masih menunggu vonis, atas pembunuhan dia orang Papua oleh aparat militer dari Kodim 1710 di Koperapoka, Mimika pada tanggal 28 Agustus 2015. Sementara penuntutan aparat militer atas pelanggaran membesarkan harapan, penuntutan seperti ini masih jarang. Dalam kejadian ‘Paniai Berdarah’, kasus profil tinggi yang lain, mendapatkan hukuman ternyata tidak begitu mudah. Walaupun investigasi sudah dilakukan oleh Komnas HAM ke dalam penembakan yang terjadi pada tanggal 8 Desember 2014 itu, tidak ada indikasi kemajuan dalam membawa pelaku ke pengadilan.

Penangkapan

Biarawan-biarawan dan aktivis-aktivis HAM ditahan karena mendemonstrasi tentang Paniai Berdarah; wartawan dipukul

Pada tanggal 8 Oktober 2015, 18 orang ditahan karena menyertai dalam demonstrasi mendesak akuntabilitas atas penembakan ‘Paniai Berdarah’ yang terjadi pada bulan Desember 2014. Termasuk dalam mereka yang ditahan adalah lima biarawan Frasiskan, satu biarawan Agustinian, dan anggota masyarakat sipil dari organisasi HAM setempat. Para demonstran memanggil Presiden Jokowi untuk memperlancar proses hokum untuk kasus Paniai.

Laporan dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC Papua) menyatakan ahwa Polresta Jayapura memburjan demonstrasi secara paksa dengan memukul para demonstran dengan popor senapan. Abeth You, seorang wartawan dengan situs berita Papua Majalah Selangkah, dicekik dan dipukul oleh seorang polisi dan gambar di kameranya dihapuskan ketika dia mencoba untuk membuat laporan tentang penangkapan tersebut.

Ke-18 tahanan itu dipaksa naik ke atas dua truk polisi dan dibawa ke Polres Abepura. Mereka ditahan di atas truk tersebut untuk satu jam setengah sebelum dibebaskan tanpa dakwaan.

Tiga aktivis KNPB diinterogasi karena kunjungan jurnalis Perancis

Pada tanggal 9 Oktober 0215, tiga aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditahan dan diinterogasi untuk beberapa jam oleh kepolisian Sentani atas kunjungan dari Marie Dhumieres, seorang wartawan jurnalis Perancis yang berbasis di Jakarta ke kabupaten Pegunungan Bintang. Pada tanggal 1 Oktober 2015, Dhumieres, yang dilaporkan menerima surat ijin polisi untuk mengunjungi Papua, berkunjung ke distrik Ohika di kabupaten Pegungunan Bintang untuk melapor peresmian dewan eksekutif KNPB di kabupaten itu. Ketiga aktivis KNPB – Agus Kossay, Bano Kalaka dan Nodi Hilka – dibebaskan tanpa dawkaan.

Suara Papua melaporkan bahwa empat hari kemudian, pada 13 Oktober, secretariat KNPB Sentani digerebek oleh Polres Jayapura dan anggota Brimob dibawah arahan Kapolres Jayapura AKBP Sondang Siagian. Saat penyisiran, polisi mengecat tembok dengan gambar bendera Bintang Kejora. Tidak ada yang ditangkap saat penggerebekan itu.

Siswa berumur 15 tahun ditahan karena memakai kaos bendera Bintang Kejora

Pada tanggal 8 Oktober, Matheus Louw, seorang siswa SMA yang berumur 15 tahun, ditangkap di Sorong karena memakai kaos dengan gambar bendera Bintang Kejora dan slogan menyatakan “Free West Papua.” Dia ditahan sekitar jam 16:15 waktu Papua oleh seorang anggota militer saat menonton pertandingan bola sepak di Markas Komanda Resort Militer 171 (Markorem 171). Dia diperiksa polisi secara singkat di Markas tersenut sebelum dibawa oleh delapan anggota polisi untuk diinterogasi secara lanjut oleh Reskrim di Polresta Sorong. Louw dilaporkan dipaksa menandatangani pernyataan menjaji bahwa dia tidak akan mengulangi tindakannya dan diduga dipaksa menyerah kaosnya sebagai ‘bukti’, Sementara dia tidak didakwa, laporan dari sumber HAM setempat menyatakan bahwa polisi mengancam akan menembak dan mempenjarakannya jika dia memakai baju dengan gambar Bintang Kejora dan slogan seperti itu lagi. Dia dibebaskan setelah satu jam diinterogasi di Polresta Sorong.

Pembebasan

Filep Karma dibebaskan

Pada tanggal 19 November 2015, tahanan politik Papua yang paling terkenal, Filep Karma, dibebaskan dengan pemberian remisi dasawarsa khusus. Dia telah menolak tawaran remisi atau grasi dari pemerintah Indonesia dengan secara konsisten, karena berartinya pengakuan kesalahan pidana yang tidak diakuinya. Namun, pada hari pembebasannya, dia tidak diberi pilihan untuk tetap di penjara tetapi dikeluarkan secara langsung. Pada tahun 2004, Karma ditangkap dan didakwa makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Akhirnya hukuman penjara bagi Obed Korie dan Jantje Wamaer

Papuans Behind Bars telah menghapuskan Obed Korie dan Jantje Wamaer dari daftar tahanan politik karena ada kemungkinan bahwa mereka sudah dibebaskan setelah akhirnya hukuman penjara bagi mereka.

Obed Korie dihukum lima bulan penjara dan dijadwalkan untuk dibebaskan pada tanggal 15 Oktober 2015. Dia ditangkap pada tanggal 15 Mei 2015 karena menyertai demonstrasi melawan perusahaan kelapa sawit, PT Permata Putera Mandiri (PPM) di Sorong.

Jantje Wamaer dipercaya dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 2015 menyusul akhirnya hukuman penjara 2.5 tahun. Seperti Obed Korie, pembebasannya masih belum dikonfirmasi. Dia ditangkap pada tanggal 1 Mei 2013 karena menyertai acara di Biak memperingati hari ulang tahun ke-50 pemindahaan administrasi Papua ke Indonesia. Tiga orang lain – Oktovianus Warnares, George Syors Simyapen dan markus Sawias – dalam kasus yang sama masih di balik jeruji di LP Biak.

Pengadilan politik dan ringkasan kasus

Demonstran MSG Manokwari dihukum penjara 1.5 tahun

Pengacara LP3BH (Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum) melaporkan bahwa pada tangal 27 November 2015, Alexander NekenemNarko Murib, Maikel Aso (alias Othen Gombo) and Yoram Magai dihukum 1.5 tahun penjara masing-masing. Kejakasaan sebelumnya menuntut hukuman penjara dua tahun masing-masing bagi keempat tahanan.

Pengacara LP3BH menentang bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus ini, Syahrul, SH, telah melakukan contempt of court karena dia gagal memberikan perawatan medis yang memadai kepada Narko Murib, yang menderita komplikasi sakit perut karena penyakit malaria dan TBC. Saat persidangan pada tanggal 9 November 2015, Ketua Hakim Maryono, SH, memerintahkan JPU untuk memastikan bahwa Murib mendapat perawatan medis yang memadai setelah dia tidak mampu menghadiri persidangan karena kondisi sakit. Daripada mengirim Murib ke rumah sakit, JPU mengarahkan seorang polisi untuk meberikannya obat penawar rasa sakit dan memeriksa tekanan darahnya.

Keempat tahanan adalah antara 75 orang yang ditangkap pada tanggal 20 Mei 2015 karena menyertai demonstrasi di Manokwari yang mendukung aplikasi ULMWP untuk keanggotaan di Melanesian Spearhead Group (MSG).

Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman penjara 1.5 tahun untuk pendukung ULMWP

Pengacara HAM yang mendampingi Apolos Sroyer, Dorteus Bonsapia dan Wamoka Yudas Kossay, melaporkan bahwa pada tanggal 25 November 2015, kejaksaan dalam kasus itu menuntut hukuman penjara 1.5 tahun masing-masing bagi ketiga para tahanan yang didakwa penghasutan dan menyebarkan berita bohong di bawah Pasal 160 KUHP dan Pasal 14 UU 1/1946 masing-masing. Mereka diharapkan akan divonis pada awal bulan Desember 2015. Pada tanggal 21 Mei 2015, ketiga tahanan ditangkap bersama dengan 14 orang lain di Biak karena mendemonstrasi dukungan mereka untuk aplikasi ULMWP di MSG.

Kasus-kasus penting

Tiga anggota militer dihukum penjara, satu lagi masih menunggu vonis

Dalam laporan terakhir kami, kami melaporkan tentang penembakan yang membunuh dua orang Papua oleh dua anggota militera dari Komando Distrik Militer 1710 (Kodim 1710) di Koperapoka, kabupatan Mimika pada tanggal 28 Agustus 2015. Laporan media menyatakan bahwa ketiga tentara telah dihukum penjara karena keterlibatannya dalam kejadian tersebut. Serka Makher Rehatta dihukum 12 tahun penjara, sementara Sertu Ashar dihukum sembilan tahun penjara. Kedua anggota militer ditemukan bertanggungjawab atas penembakan yang terjadi pada tanggal 28 Agustus 2015, mengakibatkan dalam kematian dua orang Papua. Praka Gregorius R. Geta dihukum tiga tahun penjara karena keterlibatannya dalam penembakan itu. Sementara satu anggota militer lain, Serka Imanuel Imbiri, masih menunggu vonis. Keempat anggota militer dipercaya dalam kondisi mabuk pada saat kejadian tersebut.

Demonstrasi dipimpin oleh lima mantan tahanan politik dibastasi kepolisian Wamena

Pada tanggal 16 November 2015, sebuah demonstrasi yang dipimpin lima mantan tahanan politik dibatasi oleh Polres Jayawijaya. Domi Mecky Meaga, seorang dari coordinator demonstrasi tersebut memberitahu Suara Papua bahwa polisi membubarkan demonstrasi itu walaupun Surat Pemberitahuan sudah diserahkan kepada polisi. Meaga menyatakan bahwa pada saat pembubaran, polisi memukul para demonstran dan setidaknya satu bunyi tembakan didengar. Demonstrasi itu mendesak pembukaan ruang demokrasi di Papua, jaminan keamanan bagi orang Papua, dan untuk memungkinkan wartawan asing untuk masuk dan melaporkan tentang Papua.

Polisi membubarkan aktivis mengunjungi makam Theys Eluay

Pada tanggal 10 November 2015, Polres Jayapura membubarkan sekelompok aktivis dan mahasiswa yang mengunjungi makam Theys Eluay dalam mempringati ulang tahun ke-14 pembunuhannya. Ketua KNPB Victor Yeimo meberitahu media setempat bahwa polisi bersenjata lengkap mengintimidasi aktivis-aktivis itu dan tidak mengijinkan mereka untuk mebersihkan tempat makam atau mengambil foto. Pada tanggal 10 November 2001, Theys Eluay dibunuh oleh anggota Kopassus. Sopirnya, Aristoteles Masoka, dihilangkan pada malam yang sama.

Anggota Kopassus membuka tembakan dan memukul masyarakat saat mabuk

Laporan dari penyelidik HAM setempat menyatakan bahwa pada tanggal 2 Oktober 2015, soerang anggota Kopassus dengan inisial ‘MK’ memukul parah seorang warga masyarakat, Kaspar Merom, di Merauke, setelah salah menuduhnya dengan pencurian. Anggota Kopassus itu, yang dilaporkan dalam kondisi mabuk, mula memukul Merom dengan gedam kapan dia membantah melakukan kesalahan. Pria itu menderita luka dalam di mulutnya. Karena Merom dan temannya, yang pada saat itu berada di tempat kejadian, membantah, anggota Kopassus mundur dan melarikan diri ke sebuah pos Kopassus yang dekat. Anggota Kopassus itu dilaporkan kembali dengan sebuah pistol, tetapi gagal untuk mencari kedua pria itu. Dia diduga kemudian membuka tembakan di arah perumahan setempat. Dia juga dilaporkan mencekik seorang pria lain, Theo Torip, dan mengancamnya dengan senjata untuk mengungkapkan keberadaan Merom dan temannya. Pada hari berikut, beberapa anggota Kopassus dilaporkan mendatang ke daerah itu dan mengingatkan masayarakat untuk tidak melaporkan kejadian tersebut.

Berita

Nota tentang penghapusan Kamori Murib dari daftar tahanan politik

Informasi yang diterima kelompok HAM berbasis di Wamena melaporkan bahwa pada awal bulan Oktober 2015, Kamori Murib telah melarikan diri dari LP Wamena. Karena ini, dia telah dihapuskan dari daftar tahanan politik. Pada tanggal 2014, Kamori Murib ditangkap dan disiksa karena kepemilikian sebuah pistol. Dia berniat untuk memberikan sebuah pistol yang dimiliki seorang anggota keluarganya yang sudah meninggal kepada pihak berwenang, namun dia ditahan dan didakwa dibawah UU 12/1951. Pada tanggal 20 Agustus 2015, dia dihukum tiga tahun penjara. Kami akan terus melaporkan tentang kasus ini jika ada perkembangan yang baru.

Tahanan Politik Papua bulan November 2015

No Tahanan Ditangkap Dakwaan Hukuman Kasus Dituduh kekerasan? Kekhawatiran yang dilaporkan dalam proses hukum? Penjara/ Tempat Penahanan
1 Arnes Silak 15 Juni 2015 Belum pasti Investigasi polisi tertunda Penangkapan KNPB di Bandara Sentani Belum pasti Belum pasti Polda Papua
2 Yafet Keiya 28 Mei 2015 Belum pasti Investigasi polisi tertunda MSG demo di Nabire Belum pasti Belum pasti Nabire

 

 

3 Ottis Munipa 28 Mei 2015 Belum pasti Investigasi polisi tertunda MSG demo di Nabire Belum pasti Belum pasti Nabire

 

 

4 Wamoka Yudas Kossay 22 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, Pasal 14 UU 1/1946 Vonis awal Desember

 

MSG demo di Biak

 

Belum pasti  Ya Biak
5 Apolos Sroyer 20 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, Pasal 14 UU 1/1946 Vonis awal Desember MSG demo di Biak Belum pasti  Ya Biak
6 Dorteus Bonsapia 20 Mei 2015 Pasal 160 KUHP, Pasal 14 UU 1/1946 Vonis awal Desember MSG demo di Biak Belum pasti  Ya Biak
7 Narko Murib 20 Mei 2015 Pasal 160 1.5 tahun MSG demo di Manokwari Belum pasti Ya Manokwari
8 Alexander Nekenem 20 Mei 2015 Pasal 160 1.5 tahun MSG demo di Manokwari Belum pasti Ya Manokwari
9 Yoram Magai 20 Mei 2015 Pasal 160 1.5 tahun MSG demo di Manokwari Belum pasti Ya Manokwari
10 Othen Gombo 20 Mei 2015 Pasal 160 1.5 tahun MSG demo di Manokwari Belum pasti Ya Manokwari
11 Odie Aitago 15 Mei 2015 Pasal 170 7 bulan Demo di Sorong melawan PT PPM Ya Belum pasti Sorong
12 Ruben Furay 1 Mei 2015 Belum pasti Investigasi polisi tertunda Kaimana 1 Mei 2015 Belum pasti Belum pasti Kaimana
13 Sepi Surbay 1 Mei 2015 Belum pasti Investigasi polisi tertunda Kaimana 1 Mei 2015 Belum pasti Belum pasti Kaimana
14 Dr Don Flassy* 14 April 2015 Pasal 106, 55(1),53(1) Penangguhan penahanan Penangkapan makar KIP Belum pasti Belum pasti Penangguha penahanan, tahanan kot a Jayapura
15 Dr Lawrence Mehue* 14 April 2015 Pasal 106, 55(1),53(1) Penangguhan penahanan Penangkapan makar KIP Belum pasti Belum pasti Penangguha penahanan, tahanan kot a Jayapura
16 Mas Jhon Ebied Suebu* 14 April 2015 Pasal 106, 108(2), 55(1), 53(1) Penangguhan penahanan Penangkapan makar KIP Belum pasti Belum pasti Penangguha penahanan, tahanan kot a Jayapura
17 Onesimus Banundi* 14 April 2015 Pasal 106, 108(2), 55(1), 53(1) Penangguhan penahanan Penangkapan makar KIP Belum pasti Belum pasti Penangguha penahanan, tahanan kot a Jayapura
18 Elias Ayakeding* 14 April 2015 Pasal 106, 160 Penangguhan penahanan Penangkapan makar KIP Belum pasti Belum pasti Penangguha penahanan, tahanan kot a Jayapura
19 Yosep Siep 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Ya Ya Dibebaskan menunggu banding
20 Marthen Marian 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Ya Ya Dibebaskan menunggu banding
21 Jhoni Marian 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu banding Mahkamah Agung Boikot Pemilu Pisugi Ya Ya Dibebaskan menunggu banding
22 Alapia Yalak 9 Juli 2014 Belum pasti Investigasi polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Ya Ya Polda Papua
23

 

 

Jemi Yermias Kapanai 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Ya Ya LP Serui
24 Septinus Wonawoai 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Ya Ya LP Serui
25 Rudi Otis Barangkea 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Ya Ya LP Serui
26 Kornelius Woniana 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Ya Ya LP Serui
27 Peneas Reri 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Ya Ya LP Serui
28

 

Salmon Windesi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Ya Ya LP Serui
29 Obeth Kayoi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 3.5 tahun Penyisiran militer Sasawa Ya Ya LP Serui
30 Soleman Fonataba* 17 Desember 2013 Pasal 106, 110)1, 53, 55 Penahanan kota 1.5 tahun, menunggu banding Penangkapan bendera Melanesia Sarmi 2013 Tidak / belum pasti Tidak Tahanan kota berakhir pada tanggal 23 Januari
31 Edison Werimon* 13 Desember 2013 Pasal 106, 110)1, 53, 55 Penahanan kota 1.5 tahun, menunggu banding Penangkapan bendera Melanesia Sarmi 2013 Tidak / belum pasti Tidak Tahanan kota berakhir pada tanggal 23 Januari
32 Piethein Manggaprouw 19 Oktober 2013 Pasal 106, 110 3 tahun Demo Kongres Papua Ketiga di Biak Tidak Ya Biak
33 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 7 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
34 Markus Sawias 1 Mei 2013 Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 4 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
35 George Syors Simyapen 1 Mei 2013 Pasal 106, 110, UU Darurat 12/1951 4.5 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
36 Isak Klaibin 30 April

2013

Pasal 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 3 tahun dan 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
37 Jefri Wandikbo 7 Juni 2012 Pasal 340, 56, UU 8/1981 8 tahun Aktivis KNPB disiksa di Jayapura Ya Ya Abepura
38 Darius Kogoya 1 Mei 2012 Pasal 106 3 tahun Demo dan pengibaran bendera 1 Mei Tidak Tidak

Abepura
39 Wiki Meaga 20 November 2010 Pasal 106 8 tahun Pengibaran bendera Yalengga Tidak Ya Wamena
40 Meki Elosak 20 November 2010 Pasal 106 8 tahun Pengibaran bendera Yalengga Tidak Ya Wamena
41 Yusanur Wenda 30 April 2004 Pasal 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena

* Meski para tahanan ini telah dibebaskan dengan jaminan dan sedang tidak dipenjara, mereka terus menghadapi tuduhan dan sedang menjalani investigasi. Karena mereka bisa ditangkap lagi, kami terus memonitor setiap perkembangan dalam kasus-kasus ini.

Share

Agustus 2014: Tindakan keras yang meluas terhadap masyarakat sipil semakin menguat

Ringkasan

Pada akhir bulan Agustus 2014, setidaknya terdapat 74 orang tahanan politik di penjara Papua.

Situasi di Papua semakin memburuk bulan ini, di mana tindakan keras kepada masyarakat sipil Papua oleh aparat keamanan semakin menguat. Pengacara hukum, aktivis, pembela hak asasi manusia, pendeta, kepala suku dan wartawan menjadi target penangkapan, intimidasi, pemukulan dan pembunuhan. Penangkapan dan penahanan berlanjut terhadap dua wartawan Perancis di Papua dan seorang kepala suku Papua yang menyoroti isu tentang pembatasan akses yang terus berlangsung di Papua.

Sementara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) secara konsisten telah menjadi target sejak dibentuk pada November 2008. Tindakan keras terhadap mereka semakin meningkat sejak April 2014. Dalam lima bulan terakhir,  sebanyak 81 anggota KNPB telah ditangkap. Data yang dikumpulkan oleh Orang Papua Balik Jeruji menunjukkan bahwa dalam bulan April, terjadi enam penangkapan dan dalam bulan Mei terdapat tiga penangkapan lebih lanjut. Jumlah penangkapan terhadap KNPB dalam bulan Juni meningkat menjadi 24 orang di mana pihak Indonesia menangkap mereka dengan maksud untuk mencegah acara damai pada 1 Juli, tanggal yang diakui sebagai hari kemerdekaan oleh banyak orang Papua. Pada bulan Juli, terdapat 36 penangkapan terhadap anggota KNPB berkaitan dengan rencana boikot terhadap pemilihan presiden Indonesia, jumlah penangkapan yang paling tinggi pada tahun 2014. Pola ini berlanjut pada bulan Agustus dengan tindakan penangkapan terhadap 12 anggota KNPB. Satu dari 12 yang ditangkap adalah seorang anak berumur 16 tahun, yang menghadapi penganiayaan dari anggota TNI AL di Manokwari. Martinus Yohame, ketua KNPB Sorong, diculik, disiksa dan dibunuh. LSM HAM Amnesty Internasional mengeluarkan pernyataan mengutuk pembunuhan itu dan memanggil pihak Indonesia untuk melakukan penyelidikan dengan cepat, menyeluruh, kompeten, dan imparsial.

Pada Juni dan Juli 2014, penangkapan massal terjadi di Boven Digoel, Wamena dan Timika. Pola atas penangkapan massal berlanjut bulan ini terhadap 20 orang termasuk perempuan dan anak-anak, di Distrik Nimbokrang dengan alasan dugaan kaitan dengan Tentara Papua Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Mereka ditahan tanpa surat perintah penangkapan dan dipukul pada saat penangkapan. Pengacara HAM terus dihalangi dalam upaya untuk mendapatkan akses kepada tahanan dalam kasus ini.

Situasi kemanusiaan di Kabupaten Lanny Jaya menjadi perhatian khusus terkait pembakaran honai oleh aparat militer dan kepolisian Indonesia. Informasi yang diterima dari Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM (JAPHAM) Pegunungan Tengah Papua dan Pesekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, antara lain menggambarkan serangan pembalasan terhadap warga sipil di Pirime di Lanny Jaya. Beberapa orang yang belum dapat dikonfirmasi jumlahnya masih menjadi pengungsi dan tidak dapat pulang ke kampung mereka karena aktivitas militer yang mengacaukan wilayah Pirime.

Penangkapan

Lima warga Papua dan dua wartawan asing ditangkap di Wamena

Pada 6 Agustus, lima warga Papua – Areki Wanimbo, Deni Douw, Enius Wanimbo, Jornus Wenda dan Ahky Logo – dan dua wartawan Perancis; Thomas Charles Dandois dan Valentine Bourrat, ditangkap oleh anggota Polres Jayawijaya. Areki Wanimbo, Dandois dan Bourrat masih ditahan sementara yang lainnya telah dibebaskan tanpa tuduhan.

Pada hari mereka ditangkap, Dandois dan Bourrat bertemu dengan Areki Wanimbo, seorang kepala suku dari Lanny Jaya, di rumahnya di Wamena. Laporan dari aktivis HAM di Wamena menyatakan bahwa kedua wartawan tersebut bermaksud untuk bertanya kepada kepala suku tentang situasi kemanusiaan menyusul pertempuran di Lanny Jaya antara pasukan keamanan dan gerakan bersenjata yang dipimpin oleh Enden Wanimbo (Lihat laporan lengkap di bawah). Setelah pertemuan tersebut, kedua wartawan kembali ke hotel mereka. Dandois bersama dengan Ahky Logo mengunakan sepeda motor. Kedua orang itu diikuti oleh tiga petugas intelijen dari Polres Jayapura, yang bermaksud menangkap mereka dalam perjalanan. Aktivis HAM Theo Hesegem, yang mengantar Bourrat ke hotelnya, sempat dihentikan oleh petugas intelijen yang mengatakan bahwa mereka akan menghubungi kembali. Hesegem kembali ke rumahnya setelah mengantarkan Bourrat ke hotel. Tak lama setelah itu, Bourrat ditangkap di hotel oleh aparat Polres Jayawijaya.

Setelah penangkapan Dandois, Bourrat dan Logo, polisi kembali ke rumah kepala suku Areki Wanimbo dan menggeledah rumahnya. Polisi juga menangkap Areki Wanimbo, Deni Douw dan Jornus Wenda di rumah mereka. Seorang warga Papua mengakui bahwa Enius Wanimbo juga ditangkap dan kemudian dibebaskan tanpa tuduhan, tetapi tidak jelas kapan dan di mana. Informasi dari pengacara dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), yang mewakili Areki Wanimbo, melaporkan bahwa tiga orang tersebut dilecehkan lewat kata-kata dan diancam untuk dibunuh oleh polisi pada saat penangkapan.

Menurut informasi dari pekerja HAM yang berbasis di Wamena, keesokan harinya, Enius Wanimbo, Deni Douw, Jornus Wenda dan Ahky Logo (Kepala Yayasan Pendidikan Pengajaran Dan Pembangunan Rakyat, YP3R), dibebaskan tanpa tuduhan setelah diinterogasi semalaman tanpa pendampingan hukum.

Tuduhan awal terhadap Areki Wanimbo dan empat orang Papua lainnya berkaitan dengan pelanggaran peraturan imigrasi yang membiarkan kedua wartawan asing bekerja menggunakan visa turis. Interogasi dialihkan menjadi interogasi mengenai situasi di Lanny Jaya. Areki Wanimbo juga dituduh membeli amunisi untuk diberikan kepada gerakan bersenjata pro-kemerdekaan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Awalnya dia menghadapi tuduhan atas kepemilikan amunisi berdasarkan UU Darurat 12/1951 dan melanggar peraturan imigrasi berdasarkan Pasal 122 UU 6/2011 tentang Keimigrasian. Kini dia menghadapi tuduhan konspirasi untuk melakukan makar berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP. Pengacara ALDP mengkritik cara penanganan kasus Areki Wanimbo yang tidak profesional, serta perubahan tuduhan dan bukti yang tidak sesuai.

Pada 9 Agustus, Dandois dan Bourrat dipindahkan ke Polda Papua, untuk diinterogasi lebih lanjut. Saat ini mereka menghadapi tuduhan melanggar aturan imigrasi berdasarkan pasal 122 UU 6/2011 tentang Keimigrasian, dengan hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp. 500 juta (sekitar USD 42,700). Polisi juga telah menyatakan bahwa keduanya diduga menjadi mata-mata dan mencoba untuk mengacaukan Papua. Penyelidikan lebih lanjut akan terus dijalankan. Sebuah organisasi jurnalis, Reporters Without Borders telah mengeluarkan pernyataan yang meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskan mereka dengan segera.

Pada tanggal 12 Agustus, Wanimbo dipindahkan ke Polda Papua, tanpa sepengetahuan pengacaranya untuk menjalani interogasi lebih lanjut dalam proses menunggu persidangan. Keempat orang Papua yang dibebaskan tanpa tuduhan, bersama dengan aktivis hak asasi manusia Theo Hesegem, kini telah dipanggil sebagai saksi dalam persidangan Wanimbo, Dandois dan Bourrat.

Seorang pastor ditangkap dalam pertempuran antara pasukan keamanan dan kelompok bersenjata di Lanny Jaya

Laporan yang diterima dari organisasi masyarakat sipil di Papua, termasuk ALDP, Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua (JAPHAM) dan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua menguraikan peristiwa 28 Juli hingga 5 Agustus yang menyoroti kejadian pelanggaran HAM yang serius termasuk penangkapan Pastor Ruten Wakerkwa.

Informasi dari JAPHAM dan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua menguraikan pertemuan pada tanggal 28 Juli antara gerakan bersenjata pro-kemerdekaan yang dipimpin oleh Enden Wanimbo dan anggota Polres Lanny Jaya terjadi saat jual beli senjata. Baku serang antara mereka, dipercaya terjadi karena kehadiran brigade polisi yang tidak terlibat dalam kesepakatan tersebut. Berdasarkan laporan yang diterima setidaknya satu orang anggota polisi tewas dan beberapa lainnya cedera. Kelompok bersenjata dilaporkan menyita empat senjata dan ribuan peluru sebelum melarikan diri ke dalam hutan. Namun beberapa situs berita Indonesia melaporkan versi yang berbeda dari peristiwa tersebut, laporan di mana pasukan keamanan telah diserang oleh kelompok bersenjata. Keesokan harinya, militer dan polisi dilaporkan membakar rumah-rumah tradisional honai di Yugumeya dan Wenam desa di Pirime sebagai aksi balas dendam. Pada tanggal 30 dan 31 Juli, pembakaran rumah honai dilaporkan berlanjut di kampung Indawa di kabupaten Awinayu dan kampung Ekanom di kabupaten Pirime. Abednego Wakerkwa, seorang anak laki-laki 10 tahun, dilaporkan ditemukan tewas di sebuah rumah honai yang dibakar. Dua ekor babi juga dilaporkan ditembak oleh pasukan keamanan di kampung Indawa.

Pada 1 Agustus, baku serang antara pasukan keamanan dan kelompok bersenjata yang dipimpin oleh Enden Wanimbo berlanjut di kampung Ekanom yang mengakibatkan cedera pada kedua belah pihak. Pastor Ruten Wakerkwa dari Gereja Baptis Jerusalam di kampung Tekun, kabupaten Pirime, ditangkap pada saat itu. Wakerkwa dipercaya telah ditahan di Polres Lanny Jaya. Tuduhan terhadapnya tidak jelas tetapi dia dilaporkan ditangkap saat polisi menemukan foto bendera Bintang Kejora di telepon genggamnya. Laporan awal menunjukkan bahwa ia mungkin disiksa dalam tahanan.

Sumber setempat melaporkan bahwa penduduk masih tidak dapat kembali ke kampung mereka akibat kegiatan militer di Lanny Jaya. Sejumlah orang yang tidak dapat dikonfirmasi dipercaya telah mengungsi karena peristiwa kekerasan tersebut.

Aktivis KNPB ditangkap dan dianiaya karena membuat grafiti di Manokwari

Pada 8 Agustus 2014, dua anggota KNPB, Robert Yelemaken, 16 tahun dan Onni Weya, 21 tahun ditangkap di Manokwari oleh tiga anggota militer dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan seorang polisi berpakaian preman. Berdasarkan laporan yang diterima dari berbagai aktivis HAM setempat, mereka ditangkap karena membuat grafiti yang menyebutkan slogan anti Hari Kemerdekaan Indonesia.

Menurut keterangan video dari Yelemaken, yang telah dibebaskan, mereka dipaksa untuk berbaring di tanah pada saat penangkapan dan kemudian ditendang dan dipukul oleh aparat keamanan dengan popor senapan dan batang rotan. Mereka kemudian dipaksa masuk truk polisi di mana mereka terus ditendang dan dipukul sampai tiba di Polres Manokwari. Polisi menuangkan cat yang digunakan untuk grafiti ke tubuh mereka, dan dilaporkan memaksa mereka untuk meminum cat tersebut. Dua aktivis mengalami berbagai cedera akibat pemukulan. Yelemaken mengalami mata bengkak dan Weya menderita luka pada dagu.

Majalah Selangkah melaporkan bahwa pada tanggal 18 Agustus, aktivis mahasiswa dari Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan berbagai anggota masyarakat mengadakan demonstrasi di Manokwari untuk menuntut pembebasan kedua orang aktivis KNPB tersebut. Yelemaken dibebaskan pada hari yang sama, dilaporkan tanpa sepengetahuan pengacaranya dari Lembaga Penelitian, Pengkajian Dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH). Pada tanggal 2 September, pengacara menerima informasi bahwa Weya juga dibebaskan tanpa pengetahuan mereka. Sebelumnya dia menghadapi tuduhan menghasut berdasarkan Pasal 160 KUHP Indonesia.

12 orang ditahan dalam pengekangan dan didakwa dalam pengekangan di Nimbokrang 

Sebagaimana dilaporkan pada laporan sebelumnya, pada bulan Juli Brigade Mobil (Brimob) dari Kepolisian Daerah Papua (Polda Papua) telah melakukan penggerebekan di Kampung Berab di Distrik Nimbokrang, setelah dilaporkan menerima informasi tentang kamp pro-kemerdekaan bersenjata di kampung tersebut. Laporan terkini yang di terima dari pembela HAM di Jayapura, mengkonfirmasi terjadinya penangkapan lebih lanjut dan berlangsungnya pengawasan oleh pihak polisi  di Distrik Nimbokrang. Pada tanggal 10 Agustus 2014, 20 orang, termasuk empat perempuan dan seorang anak, ditangkap di Warambaim di wilayah Nimbokrang dengan tuduhan sebagai anggota TPN/OPM.

Informasi yang diterima dari pengacara hukum setempat menyatakan bahwa pada saat penangkapan, beberapa dari mereka yang ditangkap dipukul oleh anggota Polsek Nimbokrang dan Polres Jayapura. 20 orang telah dibawa ke Polsek Doyo. Keesokan harinya, delapan orang dibebaskan tanpa tuduhan, termasuk empat perempuan, satu orang anak, dan tiga orang lainnya – Paulus Logo, Wene Naftali Hisage dan Albert Matuan. Sekalipun secara hukum mereka telah dibebaskan tanpa tuduhan, beberapa anggota  polisi terus menginterogasi berkenaan dengan identitas mereka dan memerintahkan mereka tetap berada di kantor polisi. Pada 13 Agustus, pengacara dari KontraS Papua tidak diberi akses kepada 12 tahanan lainnya. Petugas tidak bisa memberikan informasi mengenai para tahanan, bahkan meminta pengacara untuk berkoordinasi dengan Kepala Unit Reserse and Kriminal (Kanit Reskrim) Polsek Doyo. Ketika mereka berkoordinasi dengan Kanit Reskrim, mereka hanya diberikan akses kepada delapan orang yang secara teknis dibebaskan namun tetap ditahan selama tiga hari setelah mereka ditangkap. Setelah pertemuan dan mendengar penderitaan dari dengan delapan orang tersebut, pengacara menuntut pembebasan terhadap mereka. Mereka dibebaskan satu jam kemudian.

Pengacara terus ditolak aksesnya kepada 12 tahanan lain – Filemon Yarem, Loserek Loho, Sahayu Loho, Enos Hisage, Herman Siep, Nius Alom, Jhon Lakopa Pigai, Gad Mabel, Anton Gobay, Yos Watei, Matius Yaung dan Alpi Pahabol. Para penyelidik di Polsek Doyo menolak permintaan untuk memberikan salinan surat perintah penangkapan tanpa ijin dari Kapolsek. Pada tanggal 14 Agustus, setelah beberapa jam negosiasi dengan polisi, pengacara berhasil mendapatkan surat perintah penangkapan hanya bagi empat tahanan – Filemon Yare, Loserek Loho, Sahayu Loho dan Enos Hisage. Pada 18 Agustus, pengacara diizinkan menemui empat tahanan lain untuk mendapatkan tanda tangan surat kuasa, tetapi tidak diperbolehkan untuk berdiskusi dengan mereka.

Beberapa hari berikutnya, setelah menghadapi hambatan berlanjut untuk mendapatkan akses, pengacara berhasil bernegosiasi dengan polisi untuk bertemu dengan delapan tahanan lainnya untuk mendapatkan tanda tangan surat kuasa. Menurut pengacara, enam tahanan tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga mereka rentan terhadap proses hukum. 12 orang menghadapi tuduhan makar berdasarkan Pasal 106 KUHP. Pada tanggal 26 Agustus, pengacara mengajukan pengaduan kepada Kapolda Papua yang berisi uraian atas hambatan yang mereka hadapi untuk mendapatkan akses kepada 12 tahanan  serta tindakan penganiayaan yang dialami oleh para tahanan dalam proses penangkapan dan penahanan.

Pihak UNCEN terus bekerja dengan polisi untuk membubarkan demonstrasi; wartawan diserang

Pada 15 Agustus, sembilan aktivis mahasiswa temasuk Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua (GempaR) ditangkap saat demonstrasi menentang Persetujuan New York tahun 1962 di kampus Universitas Cenderawasih (UNCEN). Jubi melaporkan penangkapan dua dari sembilan orang mahasiswa tersebut – Regina Wenda dan Ribka Komba. Dipercaya bahwa mereka dibebaskan lebih awal. Ketujuh mahasiswa yang lain – Benny Hisage, Yason Ngelia, Klaos Pepuho, Gerson Rumrapuk, Bram Demetouw, Markus Dumupa dan Yulianus Dumupa – ditangkap oleh anggota Polsek Abepura di bawah arahan Rektor Pembantu UNCEN, Frederik Sokoy. Hal ini mirip dengan penangkapan di bulan Juli atas permintaan Paulina Watofa, mantan Dekan Fakultas Kedokteran.

Sumber media Papua Jubi dan Suara Papua melaporkan intimidasi dan serangan fisik terhadap wartawan Jubi Aprila Wayar. Ketika mengambil gambar di acara tersebut, Wayar didekati oleh lima anggota polisi yang mencoba menyita alat iPadnya. Kapolres dilaporkan memberitahu Wayar bahwa demonstrasi tersebut adalah ilegal, sehingga wartawan tidak diizinkan mengambil gambar di acara itu. Dia dicekik oleh seorang anggota polisi dan diseret menuju truk polisi. Bantahannya diabaikan, meskipun ia memberitahu polisi bahwa ia adalah seorang wartawan. Dia dibebaskan setelah beberapa orang lainnya bernegosiasi dengan polisi.

Pada saat penangkapan, Ngelia, Rumrapuk dan Hisage dipukul dengan popor senjata. Polisi menyita Rp. 200,000 dari Benny Hisage dan dua buah telepon genggam milik Dumupa dan Pepuho. Pada tanggal 16 Agustus, lima dari tujuh mahasiswa itu – Benny Hisage, Gerson Rumrapuk, Bram Demetouw, Markus Dumupa dan Yulianus Dumupa – dibebaskan tanpa tuduhan. Pada 20 Agustus, Klaos Pepuho dan Yason Ngelia dibebaskan sesuai dengan permintaan Pembantu Rektor Sokoy. Dakwaan atas Pepuho dan Ngelia ditangguhkan, yang memiliki resiko kemungkinan untuk ditangkap kembali dan tuduhan tersebut akan berlanjut jika mereka mengadakan demonstrasi lagi di kampus UNCEN.

Aktivis KNPB ditahan karena pembukaan kantor KNPB di Asmat

Pada 11 Agustus, sepuluh aktivis KNPB ditangkap di Asmat oleh Polres Asmat, dilaporkan atas permintaan Bupati Asmat. Mereka ditangkap dan diinterogasi selama empat jam berkaitan dengan pembukaan kantor KNPB di Asmat. Seorang aktivis HAM melaporkan bahwa sekitar 300 orang berdemonstrasi untuk menuntut pembebasan terhadap aktivis-aktivis KNPB yang ditahan tersebut. Ke-10 aktivis itu akhirnya dibebaskan.

Ketua kelompok budaya Papua ditangkap di Raja Ampat 

Pada 22 Agustus, sekitar pukul 23:00, Abner Bastian Wanma, Ketua Sanggar Budaya SARAK-Sorong, kelompok budaya Papua, ditangkap di Waisai, Raja Ampat oleh 11 anggota berpakaian preman dan bersenjata lengkap dari satuan tugas  yang terdiri dari Polda Papua dan Reserse Polres Raja Ampat. LP3BH telah mengeluarkan pernyataan atas penangkapan yang tidak sesuai dengan prosedur dan meminta pembebasan secara tidak bersyarat. Masih belum jelas apakah Wanma akan menghadapi tuduhan atau tidak, serta apa alasan penangkapannya.

Pembebasan

Victor Yeimo dibebaskan

Pada tanggal 5 Agustus, Victor Yeimo, Sekretaris Umum KNPB, dibebas bersyarat dari LP Abepura. Yeimo ditangkap pertama kali pada 21 Oktober 2009 dan awalnya dihukum tiga tahun penjara atas permufakatan jahat untuk melakukan makar. Vonisnya kemudian dikurangi satu tahun penjara. Dia kemudian ditangkap kedua kalinya pada tanggal 13 Mei 2013 saat memimpin demonstrasi. Ia diperintahkan untuk menjalani sisa hukuman tiga tahun penjara yang diberikan pada tahun 2009, meskipun hukumannya telah dikurangi satu tahun penjara.

Lima orang tahanan dalam kasus Timika 1 Mei dibebaskan

Informasi kredibel dari sumber setempat di Timika mengkonfirmasikan pembebasan lima orang tahanan dalam kasus Timika 1 Mei – Domi Mom, Alfisu Wamang, Musa Elas, Eminus Waker and Yacob Onawame. Lima orang tersebut disidangkan karena mengibarkan bendera bintang kejora dalam aksi damai di Timika pada bulan Mei 2013 dan mendapatkan vonis delapan bulan penjara pada 25 November 2013. Mereka dihukum atas permufakatan jahat untuk melakukan makar karena keterlibatan dalam acara tersebut. Dilaporkan bahwa mereka telah disiksa saat penangkapan dan menghadapi berbagai masalah kesehatan pada saat dalam penjara, dimana mereka tidak mendapatkan perawatan medis.

Kristianus Madai dibebaskan

Pengacara HAM dari KontraS Papua melaporkan pembebasan Kristianus Delgion Madai dari LP Abepura pada 3 Agustus 2014 saat berakhirnya masa hukuman enam bulan penjara. Dia didakwa dengan kepemilikian amunisi di bawah UU 12/1951 saat ditangkap karena diduga menyeludupkan delapan peluru kaliber 8.4 mm dalam transit di Bandara Sentani. Pengacara melaporkan bahwa ada kemungkinan Madai dihukum karena aktivitas sebelumnya dalam demonstrasi mahasiswa damai di Jakarta, semasa kunjungan Melanesian Spearhead Group (MSG) ke Indonesia.

Pengadilan bernuansa politik dan pandangan sekilas tentang kasus-kasus

Tahanan Sasawa didakwa dengan pemberontakan

Pengacara pada Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) melaporkan bahwa tujuh tahanan dalam kasus penangkapan di Sasawa telah didakwa dengan pemberontakan di bawah Pasal 108 KUHP karena diduga terlibat dalam gerakan pro-kemerdekaan bersenjata Tentara Nasional Papua Barat (TNPB). Dakwaan ini tidak termasuk dakwaan makar di bawah Pasal 106 KUHP dan kepemilikian senjata tajam di bawah UU 12/1951. Persidangan berikutnya akan diadakan pada tanggal 1 September dengan agenda pemeriksaan saksi.

Menurut informasi dari pembela HAM setempat, para tersangka Salmon Windesi, Peneas Reri, Kornelius Woniana, Obeth Kayoi, Rudi Otis Barangkea, Jemi Yermias Kapanai dan Septinus Wonawoai ditangkap saat penyisiran militer di kampung Sasawa yang menargetkan anggota TPN/OPM. Informasi yang diterbitkan di situs web ALDP melaporkan bahwa ketujuh orang itu menghadapi penyiksaan pada saat penangkapan dari aparat kepolisian dan militer. Pengacara dari ALDP menyatakan bahwa ketujuh orang itu bukan anggota dari gerekan bersenjata, namun hanya warga sipil dari kampung Sasawa yang memiliki pekerjaan tetap.

Lima orang ditahan dalam peristiwa boikot 9 Juli dan menghadapi dakwaan permufakatan untuk membahayakan keamanan orang atau benda

Pengacara ALDP melaporkan bahwa Yosep Siep, Ibrahim Marian, Marsel Marian, Yance Walilo dan Yosasam Serabut, yang ditangkap pada tanggal 9 Juli, menghadapi dakwaan berdasarkan Pasal 186 dan 164 KUHP berupa permufakatan untuk membahayakan keamanan orang atau benda, karena dilaporkan membuat dan menggunakan bahan peledak. Kelima orang itu ditangkap bersama 13 orang lainnya yang sudah dibebaskan, karena keterlibatan dalam penyaluran brosur yang mengajak boikot dalam pemilihan presiden. Pengacara ALDP diberitahu oleh kelima tahanan dan keluarganya bahwa mereka menghadapi penyiksaan pada saat penangkapan.

Dua orang dalam kasus pengibaran bendera Yalengga tidak lagi dalam tahanan

Laporan diterima dari pengacara ALDP menyatakan bahwa Obed Kosay dan Oskar Hilago yang didakwa dalam kasus pengibaran bendera Yalengga tidak lagi berada dalam tahanan. Dipercaya bahwa mereka telah melarikan diri dari LP Wamena. Pengajuan grasi dalam kasus ini sedang diperiksa di Sekretariat Negara Republik Indonesia (Setneg). Meki Elosak dan Wiki Meaga masih ditahan di LP Wamena.

Laporan mengungkap informasi terperinci baru dalam kasus penembakan Pirime 2012

Laporan baru yang diterima dari sumber HAM Jayapura mengungkapkan informasi tambahan berkaitan dengan kasus Yogor Telenggen. Informasi tentang kasus ini sulit untuk didapatkan, dan laporan awal yang diterima mengindikasikan bahwa Telenggen kemungkinan adalah seorang tahanan politik, sesuai dengan pedoman Orang Papua di balik Jeruji. Namun laporan yang lebih rinci menyarankan sebaliknya dan karena itu dia sudah dikeluarkan dari daftar tahanan politik. Namun, laporan tersebut mengungkapkan rincian yang mengkhawatirkan dalam kasus ini, termasuk penangkapan terhadap tiga orang lainnya.

Pada 10 Maret 2013, Yogor Telenggen ditangkap oleh polisi Jayapura dan dibawa ke Polda Papua atas tuduhan penyerangan Polsek Pirime pada 27 November 2012. Dalam perjalanan ke kantor polisi, dia dipukul di bagian wajah dan dipukul enam kali di punggung dengan popor senjata. Keluarganya dilaporkan tidak diberitahu atas penangkapan tersebut. Pada tanggal 5 Juli 2013, Usmin Telenggen, seorang mahasiswa, ditangkap oleh polisi Jayapura berkaitan dengan kasus yang sama. Saat penahanan dalam Polda Papua, kedua tahanan tidak diizinkan mendapatkan pendampingan hukum. Pada tanggal 2 Oktober 2013, mereka dipindahkan ke Polres Wamena sambil menunggu persidangan. Mereka tidak diberikan akses pendampingan hukum sepanjang waktu persidangan. Pada tanggal 15 Juni 2014, keduanya divonis 10 tahun penjara. Dua hari kemudian, mereka dihukum lagi dengan hukuman seumur hidup setelah diputus bersalah atas pembunuhan dan kekerasan terhadap orang dan barang di bawah Pasal 340, 338, 170 dan 251 KUHP dan kepemilikian senjata di bawah UU 12/1951. Setelah diputus bersalah, mereka dipindah ke LP Abepura untuk menjalani hukuman.

Laporan tersebut juga menjelaskan penangkapan dua orang lain di Puncak Jaya. Berkaitan dengan kasus ini, Gision Wonda ditangkap pada 4 April 2014, disusul Dimion Telenggen ditangkap dua hari kemudian. Mereka awalnya ditahan di Polda Papua tetapi kemudian dipindahkan ke Polres Wamena. Mereka berdua dilaporkan menghadapi penyiksaan dan intimidasi dalam tahanan. Pekerja HAM melaporkan bahwa mereka disetrum, dipukul dengan popor senjata dan dipukul hebat dalam penahanan. Di bawah tindakan penyiksaan, mereka dilaporkan mengakui keterlibatan dalam penyerangan di Polsek Pirime pada tanggal 27 November 2012. Pada saat ini, mereka tidak mempunyai pendamping hukum.

Kasus yang menjadi perhatian

Ketua KNPB Sorong diculik dan dibunuh

Laporan yang diterima dari aktivis KNPB menggambarkan penculikan dan pembunuhan terhadap Martinus Yohame, Kepala KNPB Sorong. Pada tanggal 19 Agustus, Yohame bersama dengan anggota KNPB lain dan anggota Parlemen Rakyat Daerah (PRD) mengadakan konferensi pers di Sorong mengenai kunjungan presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono yang bertujuan untuk mempromosikan pariwisata di Raja Ampat. Yohame mengkritik langkah itu sebagai tindakan berbahaya bagi ekosistem dan lingkungan di Papua. Setelah konferensi pers tersebut, dia dilaporkan menerima panggilan telepon dari seorang perempuan yang mengatakan berasal dari Komnas HAM di Jakarta. Penelepon tersebut meminta pertemuan dengan Yohame dan ia menyetujuinya.  Mereka bertemu di depan kantor Walikota dan perempuan itu mengundangnya untuk makan siang. Seorang laki-laki juga hadir, dan dilaporkan merekam pembicaraan mereka. Sebelum berpisah, perempuan tersebut mengatakan kepada Yohame bahwa mereka akan menghubunginya lagi. Para aktivis menduga bahwa Yohame hilang pada tanggal 20 Agustus setelah ia meninggalkan rumah pada pukul 12:00 untuk menjawab panggilan telepon dari perempuan tersebut. Dia diduga diminta oleh penelepon untuk meyeberang jalan dari rumahnya.

Seperti dilaporkan dalam Jubi, pada 26 Agustus, mayat Martinus Yohame ditemukan oleh seorang nelayan dekat pantai pulau Nana, di daerah kepulauan Doom di Sorong. Dia ditemukan dalam karung, dengan kaki dan tangan yang diikat. Menurut laporan otopsi rumah sakit, Yoame ditembak pada dada kirinya dan dipukul keras pada bagian muka sehingga tidak berbentuk lagi. Lubang selebar 1x1cm ditemukan di dada kiri dan lubang selebar 2×3 cm ditemukan di perut kanannya yang menunjukkan luka tembak. Tinggi badannya 1.79 meter dan mempunyai rambut gimbal, sesuai dengan deskripsi Yohame. KNPB telah mengatakan bahwa mereka percaya Yohame diculik dan dibunuh oleh anggota Kopassus.

Yohame sebelumnya telah ditangkap karena keterlibatannya dalam aktivitas politik secara damai. Pada tanggal 26 November 2013, Yohame dan dua aktivis KNPB lainnya ditangkap dan ditahan selama beberapa jam karena keterlibatan mereka dalam demonstrasi mendukung kampanye Sorong ke Samarai, yang bertujuan untuk mengumpulkan tandatangan dari seluruh Papua Nugini dalam mendukung pengajuan keanggotaan Papua Barat ke Melanesian Spearhead Group (MSG).

Pengancara HAM dipanggil dua kali oleh kepolisian Jayapura

Pengacara HAM Papua terkemuka Gustaf Kawer menerima dua panggilan di bawah tuduhan kekerasan atau ancaman kekerasan karena dianggap melawan seorang pejabat berdasarkan Pasal 211 dan 212 KUHP. Pada tanggal 22 Agustus, panggilan pertama menyatakan bahwa Kawer telah dipanggil untuk menjadi saksi dalam kasus terhadap dirinya sendiri. Pada tanggal 25 Agustus, dia dipanggil kedua kalinya yang menyatakan bahwa dia telah dilaporkan oleh seorang hakim dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini berkenaan dengan protes Kawer terhadap hakim di PTUN Jayapura pada saat sidang sengketa tanah adat dengan pemerintah pada tanggal 12 Juni 2014. Kawer protes terhadap keputusan hakim yang mengabaikan permintaanya untuk penundaan dan mengadakan sidang itu tanpa kehadirannya. Pada tahun 2012, Kawer diancam dengan penuntutan ketika ia mendampingi para terdakwa Lima Jayapura yang dituduh makar.

Berita

Filep Karma menolak tawaran remisi Hari Kemerdekaan Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus, Filep Karma menolak remisi enam bulan yang ditawarkan kepadanya sebagai bagian dari remisi yang diberikan kepada tahanan setiap tahun pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Karma menyatakan bahwa menerima remisi sama seperti mengakui kesalahannya yang ia sangkal. Karma sedang menjalani hukuman 15 tahun penjara karena menyelenggarakan upacara pengibaran bendera di Abepura pada tahun 2004. Bulan Desember depan ini merupakan tahun kesepuluh masa tahanannya.

Tahanan politik Papua bulan Agustus 2014

  Tahanan politik Ditangkap Dakwaan Vonis Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/tempat ditahan
1 Abner Bastian Wanma 22 Agustus 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Penangkapan ketua kelompok budaya di Raja Ampat Tidak jelas Tidak jelas Raja Ampat
2 Philemon Yarem 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
3 Loserek Loho 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
4 Sahayu Loho 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
5 Enos Hisage 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
6 Herman Siep 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
7 Nius Alom 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
8 Jhon Lakopa Pigai 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
9 Gad Mabel 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
10 Anton Gobay 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
11 Yos Watei 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
12 Matius Yaung 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
13 Alpi Pahabol 10 Agustus 2014 Pasal 106, 87, 53 Dibawah Penyidikan Penangkapan Nimbokran Tidak jelas Tidak jelas Polres Doyo
14 Areki Wanimbo 6 Agustus 2014 Pasal 106, 110 Dibawah Penyidikan Penangkapan wartawan Perancis di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polda Papua
15 Pendeta Ruten Wakerkwa 1 Agustus 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Penangkapan penyisiran militer Lanny Jaya 2014 Tidak jelas Tidak jelas Polres Lanny Jaya
16 Sudi Wetipo 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
17 Elius Elosak 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
18 Domi Wetipo 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
19 Agus Doga 14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
20 Yosep Siep 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
21 Ibrahim Marian 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
22 Marsel Marian 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
23 Yance Walilo 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena TIdak jelas TIdak jelas Polres Jayawijaya
24 Yosasam Serabut 9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Penyidikan polisi tertunda Boikot  Pilpres 2014 di Wamena TIdak jelas TIdak jelas Polres Jayawijaya
25 Alapia Yalak 4 Juni 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Ya Ya Polda Papua
26 Ferdinandus Blagaize 24 May 2014 Unknown Police investigation pending Merauke KNPB arrests No Uncertain Okaba District police station
27 Selestinus Blagaize 24 Mei 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan KNPB Merauke Tidak Belum jelas Polsek Okaba
28 Lendeng Omu 21 Mei 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Belum jelas Ya Polres Yahukimo
29 Jemi Yermias Kapanai 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
30 Septinus Wonawoai 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
31 Rudi Otis Barangkea 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
32 Kornelius Woniana 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
33 Peneas Reri 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
34 Salmon Windesi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
35 Obeth Kayoi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
36 Yenite Morib 26 Januari 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan di gereja Dondobaga Ya Ya Polres Puncak Jaya
37 Tiragud Enumby 26 Januari 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan di gereja Dondobaga Ya Ya Polres Puncak Jaya
38 Deber Enumby 17 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
39 Soleman Fonataba 13 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
40 Edison Werimon 19 Oktober 2013 106, 110 2 Tahun Penjara Demo memperingati Konggres Papua Ketiga di Biak Tidak Ya Biak
41 Piethein Manggaprouw 17 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
42 Apolos Sewa* 28 Agustus 2013 106, 110 Dibawah Penyidikan Penangkapan Freedom Flotila di Sorong Tidak Ya Penangguhan penahanan
43 Yohanis Goram Gaman* 28 Agustus 2013 106, 110 Dibawah Penyidikan Penangkapan Freedom Flotila di Sorong Tidak Ya Penanggunahan Penahanan
44 Amandus Mirino* 28 Agustus 2013 106, 110 Dibawah Penyidikan Penangkapan Freedom Flotila di Sorong Tidak Ya Penangguhan Penahanan
45 Samuel Klasjok* 28 Agustus 2013 106, 110 Dibawah Penyidikan Penangkapan Freedom Flotila di Sorong Tidak Ya Penangguhan Penahanan
46 Stefanus Banal 19 Mei 2013 170 )1 1 tahun and 7 bulan Penyisiran polisi di Pegunungan Bintang 2013 Ya Ya Abepura
47 Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 5 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
48 Yoseph Arwakon 1 Mei 2013 106, 110,UU Darurat 12/1951 2 tahun and 6 bulan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
49 Markus Sawias 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 2 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
50 George Syors Simyapen 1 Mei2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 4.5 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
51 Jantje Wamaer 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 2.5 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
52 Hengky Mangamis 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 year and 6 months Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
53 Yordan Magablo 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
54 Obaja Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
55 Antonius Saruf 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
56 Obeth Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
57 Klemens Kodimko 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
58 Isak Klaibin 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 3 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
59 Isak Demetouw (alias Alex Makabori) 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
60 Niko Sasomar 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
61 Sileman Teno 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
62 Jefri Wandikbo 7 Juni 2012 340, 56, Law 8/1981 8 tahun Aktivis KNPB disiksa di Jayapura Ya Ya Abepura
63 Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 2.5 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
64 Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
65 Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
66 Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
67 George Ariks 13 Maret 2009 106 5 tahun Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak Manokwari
68 Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ya Abepura
69 Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
70 Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 19 tahun dan 10 bulan Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
71 Kimanus Wenda 12 April 2003 106 19 tahun dan 10 bulan Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
72 Jefrai Murib 12 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Abepura
73 Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak
74 Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak

* Apolos Sewa, Yohanis Goram Gaman, Amandus Mirino dan Samuel Klasjok saat ini menghadapi dakwaan makar. Walaupun mereka dibebas bersyarat sehari setelah penangkapan mereka, mereka masih menjalani pemeriksaan dan rentan untuk ditahan lagi. Pada saat ini mereka dikenakan wajib lapor ke kepolisian dua kali seminggu.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam kerangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah sebuah upaya tentang tahanan politik di Papua Barat. Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Anda dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

Share

November 2014: KNPB tetap kelompok masyarakat sipil Papua yang paling ditargetkan

Ringkasan

Pada akhir bulan November 2014, setidaknya terdapat 65 tahanan politik di penjara Papua.

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) masih merupakan kelompok masyarakat sipil yang paling ditarget di Papua. Sejauh tahun ini, terdapat 101 penangkapan aktivis KNPB atau mereka yang tersangka berafiliasi dengan KNPB. Pola penangkapan massal anggota KNPB berlanjut bulan ini dengan penangkapan 28 anggota KNPB karena berpatisipasi dalam kegiatan peringatan damai perayaan hari ulang tahun keenam pembentukan KNPB pada tahun 2008. Pada bulan Juli lalu, 36 anggota KNPB ditangkap berkaitan dengan rencana boikot damai atas Pemilihan Umum Presiden Indonesia. Nampaknya, tindakan menghukum semena-mena terhadap KNPB tidak akan berakhir, termasuk tindakan penyisiran, penangkapan massal, penahanan sewenang-wenang, penganiayaan dan penyiksaan. Upaya polisi untuk mendelegitimasikan KNPB seperti organisasi ‘ilegal’ dengan menggunakan dalih UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang membatasi ekspresi damai dan merupakan pertanda menyusutnya ruang demokrasi.

Ke-12 tahanan dalam kasus Boikot Pilpres di Nimbokrang dibebaskan melalui penangguhan penahanan tetapi mungkin masih disidang dan sekarang mereka ada di bawah tahanan kota. Keempat tahanan dalam kasus penangkapan Freedom Flotilla di Sorong pada bulan Agustus 2013 dan kedua tahanan dalam kasus makar di Sarmi pada bulan Desember 2013 juga masih dalam keadaan ketidaktentuan hukum. Dalam kasus-kasus ini, kondisi penangguhan penahanan memberi kemungkinan penangkapan kembali bila mereka ditemukan mengulangi ‘pelanggaran’ yang sama, seperti berdemonstrasi atau memboikot pemilu. Kondisi penangguhan penahanan yang ketat ini bersama dengan pengawasan polisi dan pembatasan atas gerakan fisik bertujuan untuk menghalangi aktivis asli Papua dari menggunakan hak mereka untuk melakukan protes secara damai. Dengan jelas, ini melanggar hak kebebasan berkumpul dan berekspresi. Demikian pula, pemasukan aktivis dan pemimpin ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah strategi yang digunakan polisi untuk mengkriminalisasi dan mengintimidasi kelompok masyarakat sipil asli.

Linus Hiel Hiluka dan Kimanus Wenda, dua tahanan politik di Nabire yang masing-masing sedang menjalani hukuman penjara 19 tahun dan 10 bulan, mengalami penganiayaan oleh polisi. Sidang untuk Areki Wanimbo, yang ditahan sejak 6 Agustus, diharapkan akan bermula pada bulan Desember. Wanimbo ditangkap bersama dengan dua wartawan Perancis yang mengunjunginya saat  mereka membuat investigasi tetang situasi di Lanny Jaya. Dia menghadapi dakwaan permufakatan jahat untuk melakukan makar yang memberi kemungkinan hukuman penjara maksimal enam tahun.

Penangkapan

Anggota KNPB di Nabire, Dogiyai dan Kaimana menghadapi penganiayaan dan penangkapan sewenang-wenang kerana peringatan hari ulang tahun KNPB

28 anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Nabire, Dogiyai dan Kaimana menjadi sasaran penangkapan dan penganiayaan oleh polisi Indonesia saat kegiatan peringatan perayaan hari ulang tahun keenam pembentukan KNPB.

Nabire

Pada tanggal 19 November sepuluh orang ditangkap di dua pertemuan terpisah di distrik Nabire Kota. Menurut kesaksian satu orang yang ditangkap dan kemudian dilepaskan, Agus Tebay, penyelenggara salah satu pertemuan tersebut dipukul pada saat penangkapan. Kesepuluh tahanan itu dilaporkan ditahan semalam secara terpisah dan tidak diberikan akses sanitasi yang layak, makanan ataupun air. Pada tanggal 23 November, dilaporkan empat orang dibebaskan. Menurut laporan dari situs berita Suara Papua, keenam orang yang masih ditahan, Sadrak Kudiai, kepala umum KNPB Nabire, Agus Tebay, Derius Goo, Yafet Keiya, Hans Edoway dan Aleks Pigai didakwa dengan penghasutan dan makar di bawah Pasal 160, 106 dan 55 KUHP.

Dogiyai

12 orang ditangkap di Kabupaten Dogiyai saat anggota KNPB berkumpul untuk memperingati hari ulang tahun KNPB. Mereka diberhenti oleh polisi Nabire dan anggota Brigade Mobil (Brimob), beberapa di antaranya bersenjata lengkap. Saat anggota KNPB mencoba bernegosiasi dengan aparat keamanan untuk mengizinkan mereka melakukan acara ibadat, polisi dilaporkan menanggapi dengan melepaskan tembakan ke arah kerumunan dan memukul dan menangkap mereka yang mencoba melarikan diri. Empat dari 12 orang yang ditangkap – David Pigai, Oktovianus Tebay, Markus Mote dan Ansalmus Pigay – dilaporkan menderita luka tembakan.

Menurut laporan awal dari Majalah Selangkah, David Pigai dilaporkan dipukul secara parah dan ditikam di daerah belakang kepalanya dengan sangkur saat dalam penahanan. Dia sekarang diyakini tidak mendapatkan akses ke perawatan medis. Para tahanan lain juga dilaporkan tidak mendapatkan makanan dan air bersih. David Pigai, kepala KNPB Dogiyai, Enesa Anouw, Marsel Saul Edowai dan Agus Waine didakwa dengan penghasutan dan makar dibawah Pasal 160, 106 dan 55 KUHP.

Kaimana

Menurut laporan dari Jubi, pada tanggal 24 November, polisi melakukan operasi penyisiran di kantor sektreatriat KNPB di Kabupaten Kaimana dan menangkap enam anggota KNPB. Penangkapan ini mengikut kegiatan tanggal 19 November oleh KNPB Kaimana saat peringatan hari ulang tahun keenam KNPB. Gofur Kuria, Nikolaus Busira, Demianus Waita, Marden Namsau, Kores Namsau dan Dewi Kurita dibebaskan tak lama kemudian.

Pembebasan

Tahanan Nimbokrang mendapat penangguhan penahanan

Pada tanggal 13 and 14 November, ke-12 tahanan dalam kasus Nimbokrang dialihkan jenis tahanannya dan mendapat  penangguhan penahanan ke tahanan kota. Pengacara dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Papua (KontraS Papua) melaporkan bahwa tujuh tahanan, Philemon Yare, Loserek Loho, Sahayu Loho, Alpi Pahabol, Gad Mabel, Enos Hisage dan Herman Siep, yang berasal dari Yalimo, dibebaskan dan diterbangkan kebali ke Yalimo. Kelima tahanan yang lain, Nius Alum, Yos Watei, Jhon Pigai dan Anton Gobay, dibebaskan pada hari berikutnya. Polisi memberitahu pengacara KontraS Papua bahwa putusan untuk membebaskan para tahanan didasarkan karena ada yang di antara mereka yang sudah tua dan beberapa dari mereka adalah kepala suku dari Yalimo, di mana jika penahanan dilanjutkan hal itu mungkin akan memperburuk situasi di daerah itu. Menurut pengacara, saat pemeriksaan polisi, ke-12 tahanan tidak dianggap seperti tersangka utama dalam kasus ini. Namun, mereka ditahan selama tiga bulan, didakwa dengan makar dan sekarang tetap akan dalam situasi ketidaktentuan hukum.

Pada tanggal 10 Agustus 2014, ke-12 tahanan ditangkap bersama dengan delapan orang lain di bawah tuduhan keterlibatan dengan Tentara Papua Nasional/Operasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Penangkapan mereka adalah kelanjutan dari penyisiran polisi berulang kali di desa Berap di distrik Nimbokrang, yang didasarkan atas kiriman infomasi ke aparat kemananan tentang dugaan adanya kamp bersenjata pro-kemerdekaan di desa itu. Menurut pengacara mereka, ke-12 orang tersebut masih beresiko menghadapi sidangan walaupun kemungkinan tersebut tidak tinggi.

Stefanus Banal dibebaskan

Pada tanggal 18 November, Stefanus Banal dibebaskan dari LP Abepura. Informasi dari Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC Jayapura) menyatakan bahwa Banal belum menjalani operasi yang dibutuhkan untuk kakinya akibat ditembak pada saat penangkapan oleh polisi di Oksibil di kabupaten Pegunungan Bintang. Operasi yang dibutuhkan memerlukan pengambilan plat besi yang dipasang di dalam kakinya untuk meluruskan kembali kaki tulangnya yang patah. Perawatan medis yang diterima pada awalnya di Rumah Sakit Polisi Bhayangkara tidak lama setelah penangkapannya pada bulan Mei 2013 dikritik oleh para pembela HAM sebagai tidak cukup. Pihak LP Abepura telah menolak untuk membayar biaya perawatan medisnya, yang sampai saat ini dibayar oleh kelompok masyarakat sipil.

Pengadilan bernuansa politik dan pandangan sekilas tentang kasus-kasus

Tahanan Sasawa dihukum, naik banding untuk dipindahkan ke LP Serui

Pada tanggal 13 November, tujuh tahanan dalam kasus Sasawa dihukum tiga setengah  tahun penjara setelah ditemukan bersalah atas permufakatan jahat untuk melakukan makar, pemberontakan dan kepemilikian senjata tajam. Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini menuntut hukuman penjara empat tahun.

Menurut pengacara pembela, sidang ini tidak dapat dianggap adil karena hanya dua saksi yang dipanggil untuk mengajukan kesaksiaan. Lebih penting, pengacara memberi alasan bahwa pengadilan tidak memperhitungkan fakta bahwa saksi-saksi tersebut mendapatkan intimidasi di Sasawa, di mana seluruh segi kehidupan sosial dikendalikan secara penuh oleh kelompok bersenjata kriminal yang dikepala Fernando Worawoai. Ke-12 tahanan dituduh berafiliasi dengan kelompok ini.

Pengacara menyatakan bahwa ke-7 tahanan telah mengambil putusan untuk tidak mengajukan banding atas hukuman mereka karena takut adanya resiko menerima hukuman yang lebih panjang. Namun ke-7 tahanan meminta izin untuk dipindahkan ke LP Serui supaya dapat berdekat dengan keluarga mereka. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Hukum dan HAM) di Jayapura menyatakan bahwa permintaan ini mungkin tidak dapat dipenuhi karena pemerintah setempat kekurangan dana untuk pemindahan itu dan biaya yang terkait mungkin harus dipenuhi oleh keluarga tahanan. Pengacara diberitahu oleh pihak Jayapura bahwa mereka harus mengajukan banding kepada Kanwil Manokwari karena Sorong adalah bagian dari provinsi Papua Barat dan bukan provinsi Papua.

Sidang untuk Areki Wanimbo semakin dekat

Pengacara pembela melaporkan bahwa sidang untuk Areki Wanimbo akan diadakan di Wamena. Wanimbo, yang sekarang ditahan di Polda Papua di Jayapura, diharapkan akan dipindahkan ke Wamena pada awal Desember. Wanimbo ditangkap bersama dua wartawan Perancis yang dibebaskan setelah 11 minggu dalam penahanan. Dia menghadapi dakwaan pemufakatan jahat untuk melakukan makar di bawah Pasal 106 dan 110 KUHP. Dakwaan ini membawa kemungkinan hukuman maksimal enam tahun penjara.

Kimanus dan Linus dianiaya dalam penahanan

Laporan dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menjelaskan penganiayaan yang dihadapi Linus Hiel Hiluka dan Kimanus Wenda di Polres Nabire. Pada tanggal 8 November, Hiluka dan Wenda dipindahkan dari LP Nabire ke ruang tahanan Polres Nabire akibat sebuah kejadian sebelumnya. Mereka berdua diberikan izin untuk membuat pekerjaan sambilan di luar LP Nabire supaya mereka dapat mengirim uang kepada keluarga mereka. Sebagai reaksi atas penoloakan izin untuk meninggalkan LP Nabire agar bisa mengirimkan uang kepada keluarganya, Wenda dilaporkan mengejar seorang petugas LP dengan kapak saat dia membelah kayu di dapur. Tidak lama kemudian, mereka dipindahkan ke sel khusus di Polres Nabire dan izin mereka untuk meninggalkan sel tersebut ditolak. Mereka dilaporkan tidak mendapatkan akses ke kamar kecil dan hanya diberikan botol plastik untuk digunakan memenuhi kebutuhan mereka.

Setelah kejadian itu, Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukam) menyatakan bahwa kedua tahanan mungkin akan dipindahkan ke LP Abepura karena kekhawatrian keamanan. Namun, pengacara ALDP membuat persetujuan dengan pihak Kadiv Pas agar mengizinkan kedua tahanan untuk tetap di LP Nabire supaya mereka dekat dengan keluarga mereka.

Kasus yang menjadi perhatian

Polisi menolak akses ke pengacara hukum dalam kasus amunisi baru

Rincian mengkhawatirkan telah muncul tentang upaya polisi untuk menghindari akses ke pengacara hukum sehubungan dengan penangkapan lima orang di Wamena. Menurut laporan dari Jubi, pada tanggal 26 Oktober, Rambo Wenda ditangkap bersama dengan dua pria dan dua wanita atas dugaan membeli amunisi, di samping dugaan lain. Informasi yang diterima dari penyelidik HAM setempat menyatakan bahwa Polres Jayawijaya melepaskan puluhan tembakan pada saat penangkapan, mengakibatkan semua kelima tahanan menderita luka tembak pada kaki mereka.

Menurut pengacara HAM setempat, polisi Wamena berupaya untuk menghalangi akses para tahanan ke pengacara dengan menyatakan bahwa mereka sudah menerima pendampingan hukum dari Lembaha Bantuan Hukum (LBH Papua), padahal sebenarnya mereka tidak. Pengacara hukum menyatakan bahwa upaya ini adalah cara bagi polisi untuk menghindari akses ke pengacara sampai tahap penyidikan yang paling terakhir sebelum kasus mereka dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kelima tahanan masih belum mendapatkan pendampingan hukum. Belum jelas dakwaan apa yang mereka hadapi.

Berita 

Buku Filep Karma menandakan kepenjaraanya selama 10 tahun

Pada tanggal 1 Desember, ‘Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua’ diterbitkan, menandai hukuman penjara Karma selama 10 tahun. Buku tersebut menceritakan kisah masa kanak-kanak Karma di Wamena dan Jayapura, tragedi Biak Berdarah pada tanggal 6 Juli 1998 dan sikap rasis dari orang Indonesia terhadap orang asli Papua. Karma sedang menjalankan hukuman penjara 15 tahun atas tuduhan makar.

Nota tentang pencabutan George Ariks dari daftar tapol-napol

Dalam update bulan ini, kami telah mencabut George Ariks dari daftar tapol-napol. Orang Papua di Balik Jeruji belum lagi menerima informasi baru tentang Ariks selama satu tahun lebih dan kemungkinan dia sudah dibebaskan karena hukuman penjara lima tahunnya yang diberikan pada tahun 2009 seharusnya sekarang sudah dijalankan. Namun, kami akan terus melaporkan tentang kasusnya jika kami mendapatkan informasi baru.

Tahanan politik Papua bulan November 2014

  Tahanan politik Ditangkap Dakwaan Vonis Kasus Dituduh melakukan kekerasan? Masalah dalam proses persidangan? LP/tempat ditahan
 

 

 

1

 

 

 

Sadrak Kudiai

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangakapan HUT KNPB di Nabire Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

2

 

 

 

 

Agus Tebay

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangakapan HUT KNPB di Nabire Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

3

 

 

 

 

Derius Goo

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangakapan HUT KNPB di Nabire Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

4

 

 

 

 

Yafet Keiya

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangakapan HUT KNPB di Nabire Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

5

 

 

 

 

Hans Edoway

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangakapan HUT KNPB di Nabire Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

6

 

 

 

 

Aleks Pigai

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangakapan HUT KNPB di Nabire Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

7

 

 

 

David Pigai

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangkapan HUT KNPB di Dogiyai Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

8

 

 

 

 

Aneas Anou

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangkapan HUT KNPB di Dogiyai Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

9

 

 

 

 

Marsel Edowai

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangkapan HUT KNPB di Dogiyai Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

 

10

 

 

 

 

Agus Waine

19 November 2014 Pasal 160, 106 dan 55 Menunggu persidangan Penangkapan HUT KNPB di Dogiyai Tidak jelas Ya Polres Nabire
 

 

 

11

 

 

 

Areki Wanimbo

6 Agustus 2014 Pasal 106, 110 Dibawah Penyidikan Penangkapan wartawan Perancis di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polda Papua
 

 

 

12

 

 

Pendeta Ruten Wakerkwa

1 Agustus 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Penangkapan penyisiran militer Lanny Jaya 2014 Tidak jelas Tidak jelas Polres Lanny Jaya
 

 

 

13

 

 

 

Sudi Wetipo

14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

14

 

 

 

Elius Elosak

14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

15

 

 

 

Domi Wetipo

14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

16

 

 

 

Agus Doga

14 Juli 2014 Tidak diketahui Dibawah Penyidikan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

17

 

 

 

Yosep Siep

9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

18

 

 

 

Ibrahim Marian

9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

19

 

 

 

Marsel Marian

9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena Tidak jelas Tidak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

20

 

 

 

Yance Walilo

9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Menunggu persidangan Boikot  Pilpres 2014 di Wamena TIdak jelas TIdak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

21

 

 

 

Yosasam Serabut

9 Juli 2014 Pasal 187, 164 Penyidikan polisi tertunda Boikot  Pilpres 2014 di Wamena TIdak jelas TIdak jelas Polres Jayawijaya
 

 

 

22

 

 

 

Alapia Yalak

4 Juni 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Ya Ya Polda Papua
 

 

 

23

Ferdinandus Blagaize 24 Mei 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan KNPB Merauke Tidak Belum jelas Polsek Okaba
 

 

 

24

Selestinus Blagaize 24 Mei 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan KNPB Merauke Tidak Belum jelas Polsek Okaba
 

 

 

25

 

Lendeng Omu

21 Mei 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan Yahukimo Belum jelas Ya Polres Yahukimo
 

 

 

 

 

26

 

 

Jemi Yermias Kapanai

1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
 

 

 

 

 

27

Septinus Wonawoai 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
 

 

 

 

 

28

Rudi Otis Barangkea 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
 

 

 

 

 

29

Kornelius Woniana 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
 

 

 

 

 

30

Peneas Reri 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
 

 

 

 

 

31

Salmon Windesi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
 

 

 

 

32

Obeth Kayoi 1 Februari 2014 Pasal 106, 108, 110 dan UU Darurat 12/1951 Menunggu persidangan Penangkapan penggerebekan militer di Sasawa Ya Ya Sorong
 

 

 

33

 

 

Yenite Morib

26 Januari 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan di gereja Dondobaga Ya Ya Polres Puncak Jaya
 

 

 

34

 

 

Tiragud Enumby

26 Januari 2014 Tidak diketahui Penyidikan polisi tertunda Penangkapan di gereja Dondobaga Ya Ya Polres Puncak Jaya
 

 

 

35

Deber Enumby 17 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
 

 

 

36

Soleman Fonataba 13 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
 

 

 

37

Edison Werimon 19 Oktober 2013 106, 110 2 Tahun Penjara Demo memperingati Konggres Papua Ketiga di Biak Tidak Ya Biak
 

 

 

38

Piethein Manggaprouw 17 Desember 2013 106, 110)1, 53, 55 Persidangan bermula 6 Agustus Penangkapan bendera Bintang Kejora Sarmi 2013 Tidak / belum jelas Tidak Ditangguh, tida bisa keluar kota
 

 

 

39

Oktovianus Warnares 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 7 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
 

 

 

40

Yoseph Arwakon 1 Mei 2013 106, 110,UU Darurat 12/1951 2 tahun and 6 bulan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
 

 

 

41

Markus Sawias 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 2 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
 

 

42

George Syors Simyapen 1 Mei2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 4.5 tahun Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
 

 

43

Jantje Wamaer 1 Mei 2013 106, 110, UU Darurat 12/1951 2 tahun and 6 bulan Pengibaran bendera di Biak, peringatan 1 Mei Ya Ya Biak
 

 

44

Hengky Mangamis 30 April 2013 106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
 

 

45

Yordan Magablo 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
 

 

46

 

 

Obaja Kamesrar

30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
 

 

47

Antonius Saruf 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
 

 

 

48

Obeth Kamesrar 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
 

 

 

49

Klemens Kodimko 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 1 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
 

 

50

Isak Klaibin 30 April

2013

106, 107, 108, 110, 160 dan 164 3 tahun and 6 bulan Peringatan 1 Mei di Aimas Tidak Ya Sorong
 

 

 

 

51

Isak Demetouw (alias Alex Makabori) 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
 

 

 

 

52

 

 

 

 

Niko Sasomar

3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
 

 

 

 

53

Sileman Teno 3 Maret 2013 110; Pasal 2, UU Darurat 12/1951 2 tahun 2 bulan Makar Sarmi Tidak Ya Sarmi
 

 

54

Jefri Wandikbo 7 Juni 2012 340, 56, Law 8/1981 8 tahun Aktivis KNPB disiksa di Jayapura Ya Ya Abepura
 

 

 

55

Timur Wakerkwa 1 Mei 2012 106 2 tahun and 6 bulan Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
 

 

56

Darius Kogoya 1 Mei 2012 106 3 tahun Demo 1 Mei dan pengibaran bendera tahun 2012 Tidak Tidak Abepura
 

 

57

Wiki Meaga 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
 

 

58

Meki Elosak 20 November 2010 106 8 tahun Pengibaran bendera di Yalengga Tidak Ya Wamena
 

 

 

59

Filep Karma 1 Desember 2004 106 15 tahun Pengibaran bendera di Abepura tahun 2004 Tidak Ya Abepura
 

 

60

Yusanur Wenda 30 April 2004 106 17 tahun Penangkapan Wunin Ya Tidak Wamena
 

 

61

Linus Hiel Hiluka 27 Mei 2003 106 19 tahun dan 10 bulan Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
 

 

62

Kimanus Wenda 12 April 2003 106 19 tahun dan 10 bulan Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Nabire
 

 

63

Jefrai Murib 12 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Abepura
 

 

64

Numbungga Telenggen 11 April 2003 106 Seumur hidup Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak
 

 

65

Apotnalogolik Lokobal 10 April 2003 106 20 tahun Pembobolan gudang Senjata Wamena Ya Ya Biak

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam kerangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah sebuah upaya tentang tahanan politik di Papua Barat. Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.

Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi.  Anda dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org

Share