Ferdinand Pakage

Tanggal LahirBerusia 19 tahun, pada tahun 2006
DakwaanPasal 212 dengan 214 KUHP
Tanggal Penahanan16/03/2006
Ringkasan KasusDitangkap setelah kerusuhan terjadi pada saat demonstrasi menuntut penutupan tambang Freeport di luar kampus Universitas Cenderawasih di Abepura. Dituduh menusuk polisi sampai mati, didalam sebuah persidangan yang tidak adil ditandai oleh meluasnya penyiksaan dan intimidasi.
Vonis15 tahun
Keprihatinan
Ambil Tindakan
Ferdinand Pakage

Ferdinand Pakage adalah petugas parkir di Abepura sebelum ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun sebagai akibat dari kekerasan yang terjadi seputar peristiwa 16 Maret 2006 di Jayapura, Papua Barat. Aksi pemogokan dimulai sehari sebelumnya, menuntut penutupan tambang Freeport di Tembagapura, Timika, dan penarikan polisi serta militer dari wilayah tersebut. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) kemudian menerbitkan kronologi rinci harian tentang peristiwa yang berlangsung, yang kemudian disusun dalam sebuah buku “Memoria Passionis di Papua.” Mereka mencatat bahwa bentrokan dimulai pukul 12:15 pada 16 Maret saat beberapa demonstran melemparkan batu dan botol ke polisi. Konfrontasi intensif mulai terjadi ketika polisi mencoba menyerbu blokade, dan tiga anggota polisi dan satu perwira petugas intelijen Angkatan Udara tewas dalam bentrokan tersebut. Seorang anggota polisi lainnya tewas akibat luka-lukanya beberapa hari kemudian pada tanggal 22 Maret.

Setelah bentrokan, SKP melaporkan bahwa Brimob melakukan operasi sweeping di sepanjang jalan dan menuju ke arah gunung-gunung, memasuki rumah-rumah dan asrama-asrama. Setiap orang Papua yang ditemukan dipukuli dan dibawa ke markas Polda Papua di Kota Jayapura. Hari berikutnya sweeping diteruskan, dimulai pukul 08:00 dengan penembakan membabi buta oleh polisi. Pada penghujung hari, sebanyak 73 orang ditangkap. Berbagai laporan yang diterbitkan kemudian oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia mengklaim bahwa satu atau dua warga sipil telah tewas dalam sweeping tersebut disamping banyak pula yang mengalami cedera.

Sebuah laporan yang telah dikeluarkan oleh Human Rights Watch (HRW) memprofilkan kasus Pakage, dan konsultan HRW Andreas Harsono juga menuliskan tentang pertemuannya dengan Pakage di blog-nya. Kedua laporan tersebut menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Pakage dimulai ketika temannya, Luis Gedi, disiksa dan dipaksa oleh Polisi untuk memberikan sebuah nama. Pakage dituduh telah membunuh polisi Rahman Arizona, meskipun dirinya dan keluarganya menyatakan bahwa ia tidak berpartisipasi dalam kerusuhan tersebut.

Dalam catatan di blog Andreas Harsono, Pakage menjelaskan bahwa ketika itu dia sedang dalam keadaan dipukuli oleh dua puluh orang anggota polisi sehingga ia pun terpaksa harus mengakui bahwa dirinya telah membuang pisau yang dituduhkan sebagai alat untuk membunuh di luar kampus. Polisi kemudian membawanya ke sana untuk mencari pisau tersebut namun tidak dapat ditemukan. Kemudian mereka menembaknya di kaki, pada saat ia mengubah cerita dan mengatakan bahwa pisau itu ada di rumahnya. Polisi kemudian pergi ke rumahnya dan menyita pisau sayur milik ibunya.

Berdasarkan laporan tahun 2008 tentang penyiksaan yang disiapkan oleh Kelompok Kerja Indonesia untuk Advokasi Menentang Penyiksaan, seorang anggota Polisi yang menembak Pakage di kaki, diduga saat itu telah menjadi Wakil Kepala Kepolisian Resort Jayapura (Wakapolresta), yaitu Ajun Komisaris Besar Aris Purbaya.

Kelompok Kerja Indonesia untuk Advokasi Menentang Penyiksaan merincikan penyiksaan terhadap Pakage yang telah terjadi pada tanggal 16 dan 17 April. Selain penembakan, Pakage diduga telah ditampar, dipukul, ditendang dan dipukul dengan laras senapan, serta ditinggalkan dalam keadaan luka di kepala. Laporan HRW juga menyebutkan bahwa air mendidih telah dilemparkan kepadanya. Tidak ada pengacara atau penasihat hukum yang diijinkan untuk mendampingi selama proses interogasi Pakage, dan keluarganya juga dilarang untuk mengunjunginya.

Dalam kronologi yang dikeluarkan oleh SKP dituliskan bahwa pada tanggal 20 Maret Paulus Waterpauw, Direktur Reserse Kriminal Polda Papua (Reskrim Polda Papua), mengumumkan bahwa tersangka Luis Gedi dan Ferdinand Pakage telah mengaku menyerang polisi.

Berdasarkan update kasus ini yang diterbitkan oleh SKP pada 12 Juni 2006, sebanyak 23 orang didakwa sehubungan dengan kasus ini, akan tetapi Pakage dan Gedi dikenai tuduhan terberat dari semua terdakwa. Mereka didakwa dengan pasal 212 dalam hubungannya dengan pasal 214, ayat 2, yang menunjuk pada melawan aparat keamanan dalam melaksanakan tugasnya, serta mengakibatkan hilangnya nyawa anggota pasukan keamanan.

Setelah persidangan, ‘Tim Advokasi untuk bentrokan Abepura 16 Maret 2006’ telah menerbitkan sebuah laporan mengenai persidangan. Laporan tim menyebutkan bahwa jaksa dan hakim hanya terfokus pada upaya mencapai hasil persidangan agar sesuai dengan apa yang sebenarnya sudah diputuskan. Dilaporkan juga bahwa para jaksa dan hakim telah mendasarkan argumen-argumen mereka pada Berita Acara Pemeriksaan, dan mengabaikan fakta bahwa sebagian besar dari para terdakwa membantah isi berkas tersebut karena pernyataan-pernyataan yang termuat dalam BAP tersebut mereka nyatakan dalam situasi di bawah penyiksaan. Suasana selama persidangan dikatakan mengintimidasi, dengan hadirnya polisi berseragam dan para petugas intelijen yang hadir di setiap sesi. Pada dua sesi tanggal 17 dan 24 Mei, terdakwa terluka atau menerima ancaman kematian dari anggota Brimob, setelah mereka menolak dakwaan. Pada tanggal 12 Juli, para anggota unit Brimob membawa anggota keluarga dari kedua orang anggota polisi yang tewas dalam insiden itu ke ruang tahanan dimana mereka membawa pisau dan mengancam para terdakwa untuk mengakui telah membunuh kerabat mereka.

Sebuah tinjauan yang dikeluarkan oleh Amnesty International menyebutkan bahwa empat orang pengacara dari tim penasehat hukum yang terlibat dalam pembelaan kasus ini serta tiga orang pekerja hak asasi manusia, anggota dari kelompok hak asasi manusia yang bekerja pada kasus ini diikuti dan menerima berbagai pesan intimidasi melalui SMS, termasuk juga ancaman kematian.

Laporan Tim Advokasi juga mencatat bahwa hukuman 15 tahun penjara yang ditetapkan bagi Ferdinand Pakage adalah tiga tahun melebihi tuntutan Jaksa yaitu 12 tahun.

Seperti yang tertulis didalam laporan profil HRW, Pakage dianiaya lagi pada September 2008, kali ini oleh para petugas sipir penjara. Salah seorang petugas sipir diduga telah memukulnya sebanyak enam kali dengan karet mati, sementara para petugas sipir lainnya memukul dan menendangnya. Salah satu petugas sipir meninjunya sambil memegang gembok dan kunci sehingga menusuk bola mata Pakage. Setelah itu, selama beberapa jam dia tidak dilarikan segera ke rumah sakit, karena pada saat itu rumah sakit telah tutup, dan ketika keesokan harinya ia dibawa ke rumah sakit, keadaan sudah terlalu terlambat untuk menyelamatkan penglihatannya.

Meskipun hal ini adalah tanggung jawab dari penjara (Lembaga Pemasyarakatan) untuk menyediakan kebutuhan kesehatan bagi para tahanan, dalam kasus Pakage mereka sejauh ini telah gagal untuk melakukan hal ini, seperti juga terhadap para tahanan politik dan tahanan lainnya. Seperti yang sering terjadi di Papua Barat, kebutuhan ini malah dipenuhi oleh masyarakat sipil. Menurut situs berita Warta Papua Barat, sebuah kelompok yang disebut Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) telah memulai mengumpulkan uang untuk kebutuhan medis Pakage, sebagai akibat dari cedera di matanya.

Artikel di surat kabar lokal Tabloid Jubi selama tahun 2011 menyatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan oleh Pakage tidak tersedia di Papua, berarti dia perlu dirujuk ke Jakarta. Namun pihak Lembaga Pemasyarakatan (LP) menolak memberikan izin untuk pergi bersama dengan sesama tahanan politik Filep Karma, yang juga membutuhkan perhatian medis yang mendesak. Karma, yang biaya medis untuk operasi di Jakarta juga digalang oleh SKPHP, mengatakan bahwa ia bermaksud menolak untuk pergi kecuali Pakage ikut bersamanya, akan tetapi dirinya dipaksa oleh para petugas penjara/LP dan pejabat dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia untuk harus melakukannya.

Pada tanggal 16 Juni, Pakage dibebaskan dari LP Abepura.

Sumber-sumber
Advocacy team for the Abepura clash of 16 March 2006, “The report of the hearing of the case relating to the clash in Abepura on 16 March 2006 in the Abepura state court,” 21 August 2006, http://www.faithbasednetworkonwestpapua.org/userfiles/files/FurtherReading/GFSR(1).pdf

Amnesty International, ASA 21/015/2006, 5 September 2006, http://amnesty.org/en/library/asset/ASA21/015/2006/en/ada1adfd-f9d4-11dd-b1b0-c961f7df9c35/asa210152006en.pdf

Andreas Harsono, “Belajar Dari Filep Karma,” 24 February 2011, http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html

Human Rights Watch, “Prosecuting Political Ambitions,” 22 June 2010 http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0610webwcover_0.pdf

Indonesian Working Group on Advocacy against Torture, “Annex-Shadow Report,” May 2008, http://www.elsam.or.id/downloads/1266673146_Annex_Shadow_Report_CAT.pdf

SKP Jayapura, Imparsial et al, “The practice of torture in Aceh and Papua 1998-2007,” February 2008, http://www.hampapua.org/skp/skp06/var-22e.pdf

SKP Jayapura, “Memoria Passionis di Papua 2006,” 2008, http://www.papuaweb.org/dlib/baru/skp-2008-mp2006.pdf

SKP Jayapura, “Civil rights of Abepura 16 March 2006 suspects
threatened,” 12 June 2006, http://lists.topica.com/lists/indonesia-act@igc.topica.com/read/message.html?sort=d&mid=812195950&start=28650

Tabloid Jubi, “SKPHP: Ferdinand Pakage Harus Berobat,” 16 February 2011, http://tabloidjubi.com/index.php/modules-menu/jayapura/11037-skphp-ferdinand-pakage-harus-berobat

Tabloid Jubi, “Filep Karma Sesali Pengobatan Ferdinand Pakage,” 1 May 2011, http://tabloidjubi.com/index.php/daily-news/jayapura/12025-filep-karma-sesali-pengobatan-ferdinand-pakage.html

Warta Papua Barat, “Pemerintah tidak peduli membiayai pengobatan tahanan politik Filep Karma dan Ferdinand Pakage,” 10 March 2010, http://www.wartapapuabarat.org/index.php/human-rights/154-human-rights/101-pemerintah-tidak-peduli-membiayai-pengobatan-tahanan-politik-filep-karma-dan-ferdinand-pakage

Share