Yakonias Womsiwor

Tanggal Lahir
DakwaanPasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12/ Tahun 1951 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 214 ayat (1) KUHP, Pasal 169 ayat (1) KUHP
Tanggal Penahanan15/09/2018
Ringkasan Kasus
Vonis1 tahun dan 6 bulan penjara
Keprihatinan
Ambil Tindakan

Yakonias Womsiwor adalah anggota KNPB wilayah Timika, yang tertangkap pertama kalinya pada 19 Oktober 2012. Sekitar pukul 01:00 WIT, Polres Mimika menyerbu rumah anggota KNPB, Alfret Marsyom, dan menangkap Yakonias, beserta 11 aktivis KNPB lainnya. Tanpa adanya surat pemberitahuan penangkapan dan penahanan, aparat kepolisian kemudian menahan ke 12 aktivis itu dan membawa mereka ke Mile 32 Polres Mimika untuk pemeriksaan lanjutan. Selama penahanan, para aktivis itu dipukul dan dipaksa mengakui kepemilikan panah tradisional Biak dan bahan peledak untuk digunakan dalam aksi demonstrasi yang digelar pada 23 Oktober. Pada malam 22 Oktober, Yakonias diinterogasi oleh beberapa aparat bertopeng. Dengan mata tertutup dan kedua tangan diborgol ke belakang, ia dipaksa masuk ke dalam sebuah kotak, dimana aparat terus menginterogasi sambil memukulnya beberapa kali. Setelah aparat mendesaknya untuk memberitahu tempat penyembunyian senjata dan bahan peledak, kepala Yakonias dipopor pistol dan diancam akan dibunuh.

Pada 24 Oktober, ke enam aktivis KNPB dibebaskan, sementara Yakonias serta ke lima aktivis lainnya, Steven Itlay, Romario Yatipai, Paulus Marsyom, Yanto Awerkion dan Alfret Marsyom, tetap ditahan atas tuduhan makar dan kepemilikan bahan peledak. Selain tuntutan kasus makar sesuai Pasal 106 KUHP, ke 6 aktivis KNPB itu awalnya juga dituntut atas kepemilikan bahan peledak sebagaimana diatur dalam UU Darurat No.12 tahun 1951. Namun, dalam pengembangan penyidikan, hanya Yanto Awerkion yang tetap menghadapi tuntutan terkait UU Darurat No.12/ 1951. Sidang perdana Yakonias digelar pada 7 Februari 2013, dengan dakwaan membuat panah Wayar adat Orang Biak. Kemudian, pada 14 Mei 2013, ia divonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Timika dan dijatuhi hukuman delapan bulan penjara.

Yakonias kembali tertangkap pada 26 November 2013, saat ia bersama aktivis KNPB Wilayah Timika lainnya melakukan demonstrasi yang awalnya berlokasi di makam Kelly Kwalik. Pukul 08:15 WIT, aparat gabungan TNI/ Polri menyerbu lokasi pemakaman dan membubarkan secara paksa aksi damai tersebut. Yakonias, beserta ke 30 aktivis lainnya, ditangkap dan dibawa ke Polres Mimika. Mereka kemudian dibebaskan sore harinya, saat ribuan masyarakat Timika mendatangi Polres Mimika untuk menuntut pembebasan mereka.

Pada 15 September 2018, Yakonias ditahan bersama Erichzon Mandobar oleh gabungan aparat TNI/ POLRI Mimika. Keduanya ditangkap bersama 7 orang aktivis KNPB lainnya, saat aparat, tanpa surat penggeledahan dari pengadilan, melakukan penggerebekan sekretariat KNPB Kota Timika, Kebun Siri pada pukul 07:00 WIT. Penggerebekan itu merupakan kelanjutan perkara Jakob Fabian, turis warga Polandia, yang sebelumnya telah tertangkap pada 26 Agustus. Tanpa surat pemberitahuan penangkapan dan penahanan, ke 9 aktivis KNPB itu lalu dibawa ke Polres Mimika untuk pemeriksaan lanjutan. Aparat kemudian membebaskan ke 7 aktivis KNPB sore harinya, sementara tetap menahan Yakonias dan Erichzon tanpa pendampingan kuasa hukum mereka. Beberapa hari kemudian, status keduanya berubah menjadi tersangka dengan tuduhan kepemilikan senjata tajam tanpa ijin. Penangkapan dan penahanan Yakonias dan Erichzon ini berhubungan dengan pengembangan perkara penangkapan Ruben Wakla yang ditangkap di bandara Moses Kalinggin Timika pada 10 September karena kedapatan membawa ratusan amunisi.

Saat penangkapan, kaki kiri Yakonias ditembak sebanyak enam tembakan; tiga tembakan di paha bagian depan, dua di tulang kering bagian depan, dan satu tembakan di telapak kaki bagian atas. Atas bukti pemeriksaan medis ini, pihak keluarga Yakonias tidak menerima hasil rontgen luka 6 tembakan tersebut. Kondisi luka tembakan Yakonias makin memburuk, setelah lebih dari seminggu ia tidak menerima pengobatan dari petugas medis. Lukanya baru mendapat pengobatan serius, ketika kasusnya menjadi perhatian Komnas HAM RI.

Share