Apotnalogolik Lokobal

Tanggal LahirBerumur 37 tahun pada 2003
DakwaanPasal 106 dan 110 KUHP
Tanggal Penahanan10/04/2003
Ringkasan KasusDidakwa dengan pasal mengenai tindakan makar dan konspirasi terkait tuduhan aksi pembobolan gudang senjata KODIM Jayawijaya, dikenal luas dengan kasus ‘ambil senjata’
Vonis20 tahun
KeprihatinanPenahanan sewenang-wenang
Ambil Tindakan
Apotnagolik Enos Lokobal

Apotnalogolik Enos Lokobal  adalah seorang petani dari Desa Pugima dekat Wamena dan berumur 37 tahun pada saat ditangkap pada 2003. Setelah tuduhan pembobolan gudang senjata Komando Militer Daerah Jayawijaya pada 4 April 2003, Lokobal ditangkap dan didakwa dengan pasal mengenai tindakan makar. Menurut laporan tahun 2011 oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua  (ALDP), Lokobal pernah menyatakan bahwa setelah Kongres Masyarakat Papua Kedua tahun 2000, ia ditunjuk menjadi Komandan Satuan TPN/OPM Wamena, yang mengakibatkan ia diikutsertakan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Lokobal percaya bahwa hal inilah yang menjadi alasan mengapa ia menjadi salah satu dari mereka yang pertama ditahan setelah peristiwa pada 4 April 2003.

Setelah tuduhan pembobolan gudang senjata tersebut, Lokobal ditangkap oleh pihak militer pada 10 April 2003, bersama-sama dengan Kimanus Wenda, Kanius Murip, Jefray Murip dan Numbungga Telenggen. Laporan dari sebuah koalisi LSM menyatakan bahwa awalnya Lokobal dan empat orang lain ditahan di Komando Militer Daerah Jayawijaya selama sekitar lima hari, jauh melampaui batas 24 jam untuk penahan militer, sebelum dipindahkan ke Kantor Polisi Jayawijaya pada 15 April 2003. Laporan oleh Sekratariat untuk Keadilan dan Perdamaian (SKP) menyatakan bahwa ketika Lokabal dan tahanan lain tiba di kantor polisi tersebut, polisi mengirimkan mereka ke rumah sakit setempat untuk pemeriksaaan medis. Dokter Berry Wopari mengatakan ia menemukan semua tahanan, kecuali Kanius Murip, mengalami luka serius dan dalam keadaan sakit. Menurut laporan SKP yang dibuat untuk Komite PBB untuk Anti Penyiksaan, selama penahanan Lokobal diikat dan ditendangi hingga pingsan oleh sepuluh anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang memaksanya untuk membuat pengakuan. Setelah sadar, dilaporkan bahwa ia ditendangi lagi, kali ini di bagian kepala. Jempol dan pergelangan kakinya juga terluka dan ia pun mengalami siksaan lainnya. Pada 19 April 2003, selama penahanan di kantor polisi, Lokobal mengaku bahwa ia disiksa kembali, kali ini oleh Brigade Mobil (Brimob). Lagi-lagi ia ditendangi sampai tak sadarkan diri. Mulutnya disumpal botol; dan ketiak, lutut, serta alat kelaminnya disundut dengan puntung rokok.

Laporan dari ALDP (2003) melaporkan banyak hal yang tidak wajar terjadi selama proses pengadilan. Ketidakwajaran ini meliputi ketiadaan penerjemah dan Jaksa Penuntut Umum hampir tidak mengatakan apa-apa sepanjang pengadilan karena tugas mereka diambil alih oleh Majelis Hakim. Dilaporkan bahwa Majelis Hakim tidak menghormati asas praduga tak bersalah dan memaksa para terdakwa untuk menerima susunan kejadian sebagaimana dituturkan oleh pemerintah. Majelis Hakim juga mengulang-ulang prasangka soal masyarakat lokal Wamena, seperti ‘orang-orang di sini [Wamena] malas dan bodoh.’ Menurut sebuah dokumen tanpa tanggal yang ditandatangani Nasruddin Bunas, Kepala Departemen Keadilan dan Hak Asasi Manusia Provinsi Papua, yang diberikan pada 2 November 2011 oleh seorang aktivis asal Papua yang berdomisili di Jayapura, Lokobal dinyatakan bersalah atas dakwaan tindakan makar (pasal 106 KUHP) dan konspirasi (pasal 110 KUHP) dan divonis 20 tahun penjara.

Terdapat sejumlah masalah mengenai perlakuan terhadap para tahanan kasus ini. Menurut salah seorang anggota kuasa hukum mereka, Anum Sirigar, pada 2004, saat berada dalam penjara Wamena, Murib dan para tahanan lain yang terkait kejadian pembobolan gudang senjata dilaporkan berkali-kali “diintimidasi oleh intel dari KODIM dan Bimob, bahkan dalam penjara.” Mereka juga disinyalir tidak mendapat akses ke balai penjara, tempat mereka seharusnya bisa bertemu dengan keluarga mereka atau berolahraga, karena pihak militer sedang menggunakan tempat itu untuk kepentingannya sendiri.

Laporan dari ALDP (2008) menggambarkan pemindahan paksa Lokobal dari penjara Wamena, tempat pertama kali ia ditahan. Pada 15 Desember 2004, ia bersama-sama dengan delapan tahanan lain dibangunkan pada tengah malam, dipukuli hingga memar dan berdarah dan dipaksa masuk ke dalam kendaaraan polisi. Para tahanan tersebut dipindahkan ke penjara Gunung Sari di Makasar, Sulawesi, jauh dari keluarga mereka. Pemindahan mendadak ini tentu menimbulkan rasa takut mengenai keselamatan mereka. Setelah salah satu tahanan, Michael Heselo, meninggal dalam penjara pada tahun 2007, sembilan orang yang tersisa dipindahkan kembali ke Papua. Lokobal meminta untuk ditahan di penjara yang lebih dekat dengan keluarganya di Wamena atau Jayapura, namun ia malah ditempatkan di penjara Biak.

Sebuah LSM lokal, Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), melaporkan bahwa ketika tahanan politik Filep Karma diijinkan untuk mendapatkan operasi medis pada 2010 setelah adanya penggalangan kampanye panjang, ia melaporkan kurangnya perhatian medis yang diberikan pada tahanan politik lainnya, dan menekankan antara lain kasus Lokobal di penjara Biak. Pada Februari 2012, TAPOL menerima sebuah surat bertulis tangan dari Lokobal. Dalam surat tersebut ia menyebutkan secara rinci kondisi kesehatannya, termasuk bengkak di punggung dan lutut, rematik dan didiagnosa dengan beberapa jenis malaria selama bulan November 2011 dan mengatakan “Saya masih berjalan tertatih-tatih.”

Lokobal menulis dalam penjara, dan surat dan puisi-puisinya telah dibacakan dalam beberapa acara yang memusatkan perhatian pada hak-hak asasi manusa, seperti  acara yang mengkampanyekan penolakan terhadap penyiksaan pada tahun 2008 yang diadakan oleh ALDP dan kelompok lainnya.

Sumber-sumber
Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Peristiwa Pembobolan Gudang Senjata KODIM 1702 Jayawijaya, Wamena, 4 April 2003,” [undated], http://www.aldepe.com/2011/04/peristiwa-pembobolan-gudang-senjata_04.html

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Mereka pulang mimpi,” 5 February 2008, http://andawat-papua.blogspot.com/2008/02/mereka-pulang-mimpi.html

Aliansi Demokrasi untuk Papua, “Tiga Napol (Narapidana Politik) Kasus Gudang Senjata Wamena Minta Pindah,” 23 June 2011, http://www.aldepe.com/2011/06/tiga-napol-narapidana-politik-kasus.html

Apotnalogolik Enos Lokobal, Surat, diterima via TAPOL
Bersatu untuk Kebenaran, “Filep Karma,” Papua Blog, 9 August 2010, http://bukpapua.org/?p=19

Muridan S. Widjojo, Kampanye Anti Penyiksaan di Papua, LIPI Pusat Penelitian Politik, [undated], http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/kolom-papua/78-kampanye-anti-penyiksaan-di-papua-
 

Nazarudin Bunas, Head of the Papuan Provincial Department of Justice and Human Rights, “Daftar Naripidana tahanan politik 2008,” [undated], received by TAPOL in November 2011

 

NGO coalition for the protection and upholding of Human Rights in Papua, Jayapura, “Initial report into the 4 April 2003 Wamena case,” 6 May 2003, http://hampapua.org/skp/skp06/var-04i.pdf

 

Office for Justice and Peace of Jayapura, Imparsial Jakarta, Progressio Timor Leste, the Synod of the Christian Evangelical Church in Papua, and Franciscans International, “The practice of torture in Aceh and Papua 1998–2007,”Jayapura and Jakarta, November 2007,  http://www2.ohchr.org/english/bodies/cat/docs/ngos/ShadowReportIndonesia40.pdf

 

Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian, “They still intimidated, even in jail!” Jayapura, 5 June 2004, http://www.hampapua.org/skp/skp05/info04-2004e.pdf

 

Share